Secara otomatis, kaum "Minoritas" pasti hidup lebih kaya dan sejahtera karena efek hukum matematika pembagian ini.
*2 istri disini tidak harus di waktu bersamaan (poligami), karena adalah fakta juga bahwa tingkat kawin cerai di pedesaan sangat tinggi yang menimbulkan masalah sosial lain lagi karena meninggalkan sang istri sebagai single parent/pencari nafkah.
Hal ini diperparah dengan program Keluarga Berencana yang kurang digalakkan dan diikuti oleh kaum “Mayoritas”.
Kaum “Mayoritas” berkeyakinan anak adalah anugerah Tuhan yang tidak boleh ditolak, jadi penggunaan KB menentang hukum Tuhan. Punya anak berapapun tidak masalah, nanti Tuhan yang akan memelihara anak-anak tersebut.
Kaum “Minoritas” berkeyakinan anak adalah titipan Tuhan yang harus dijaga dan dipelihara dengan tanggung jawab penuh, karena itu jumlah anak harus sesuai dengan kemampuan finansial, tenaga dan waktu yang ada. Mereka beranggapan penggunaan KB tidak menentang hukum Tuhan, karena KB seperti obat-obatan penyakit biasa, tercipta atas kehendak Tuhan.
Apakah bila seseorang sakit = harusnya (kehendak Tuhan) dia meninggal dunia, lalu saat diberi obat menjadi sembuh = menentang kehendak Tuhan?
Justru melahirkan anak tanpa berpikir, tanpa persiapan dan akhirnya menelantarkan = dosa.
Masih ingat cerita Bapak Andun yang memasak “batu” untuk memberi makan 7 anaknya? Dia dengan bangga dan tanpa rasa bersalah mengatakan lupa berKB, wkwkwk...
Sayangnya ada kasus seperti itu, malah ditolong dan diberi rumah. Terus terang kalau penulis, anak-anak boleh ditolong, tapi ortu harus dipidana! Lho kejam amat?
Kejam mana dengan melahirkan 7 anak tapi ditelantarkan tanpa makanan? Anak-anak itu besar tanpa gizi dan pendidikan, kemudian hari kemungkinan besar jadi pengangguran dan miskin, membuat kota, negara, kaumnya miskin, dan kemudian menyalahkan pemerintah?
Atau lebih parahnya lagi menyalahkan kaum “Minoritas”? hahaha