Itu semua sangat mudah dilakukan dengan era digital seperti sekarang, kalau perlu pakai sidik jari, bukan tandatangan lagi. Dengan sistem seperti itu, maka pengadaan barang hanya dilakukan oleh segelintir orang di Kemendikbud yang sangat mudah diawasi, kalau perlu suruh ngantor di KPK saja, hahaha...
Lalu kenapa tidak diberlakukan? Bukankah menurut Pak Jokowi hanya perlu 2 minggu untuk membuat aplikasi seperti itu? Kenapa hayo???
Yang ada malah bagi-bagi duit baik melalui transfer dana pendidikan ke daerah dst, dan juga melalui Kartu Indonesia Pintar, yang diberikan dengan pesan sakti "nak, jangan dibuat beli rokok dan pulsa ya", wkwkwk.... so cute...
Ya, cute banget memberikan uang tunai ke jutaan orang sambil berpesan seperti itu dan mengharapkan akan digunakan dengan bijak, dengan kata lain, meski sudah sadar kalau pasti diselewengkan, kenapa program tetap diteruskan? Benarkah niatnya untuk pendidikan?
Bila niatnya untuk pendidikan, sudah jelas memotong jalur, pengaturan dan pembatasan adalah jalan terpendek agar korupsi semakin sulit terjadi.
Kartu Indonesia Pintar dan semua bantuan langsung tunai lainnya pun bisa memakai sistem e-katalog nasional yang sama:
- distribusi terbatas perlengkapan sekolah, bisa lewat koperasi sekolah, lewat kantor pos (bumn)
- Mal Indonesia Pintar yang isinya khusus perlengkapan/kebutuhan sekolah, penjual boleh dari seluruh indonesia, bila tidak ada penjual karena wilayah terpencil, maka koperasi sekolahpun bisa mendaftar jadi penjual.
- Murid bisa memilih sesukanya = dana tunai tidak mungkin untuk pulsa, rokok dll = tepat sasaran (bila tidak ada internet, maka bisa sekolah/desa yang order untuk murid2 tersebut)
Dengan teknologi, sebenarnya semua birokrasi dan korupsi bisa terpotong habis, tetapi sayang meski software 2 minggu selesai, tetapi resistensi dari "para tikus" tinggi sekali.
Satu-satunya pembasmi tikus justru dengan sentralisasi anggaran, bukan desentralisasi. Dengan sentralisasi, kita hanya perlu mengawasi "1 kue lezat", bukan membagi2 "kue lezat besar" itu ke seluruh kota, terus kebingungan mengawasinya.
Yang dibagi dan desentralisasi seharusnya adalah kewenangan memakai dan memutuskan apa yang dibeli, bukan duit tunai!
Di setiap kota sudah ada "kue" sendiri (anggaran daerah untuk pendidikan), karena yang didaerah sudah sulit diawasi dan banyak tikusnya, setidaknya dana yang dari pusat ke daerah harus benar-benar dijaga transparansi dan tepat gunanya.
Mudah-mudah e-katalog nasional (Mal Indonesia Pintar) segera dipaksakan untuk terwujud, karena tanpa dipaksa, penolakan para birokrat akan terus terjadi, dan budaya proyek serta bagi-bagi duit tunai semakin merajalela.