[caption caption="Akbar Tanjung & Budi Harsono, Contoh Duet Sipil-Militer Golkar (foto: Jawapos)"][/caption]Sebagaimana diketahui bersama, sejarah kelahiran Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) adalah untuk membendung instabilitas politik Indonesia sebagai dampak pertumbuhan masif paham komunis di Indonesia. Karenanya Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) sebagai entitas militer manunggal bersama berbagai elemen masyarakat melakukan antisipasi kolektif membendung tumbuh kembangnya ideologi di luar Pancasila, yaitu komunisme. Karenanya elemen buruh dan karyawan (SOKSI), pengusaha (Kosgoro), guru dan pemuka agama (MKGR) memelopori berdirinya Sekber Golkar.
Sejarah mencatat, Soehardiman yang membidani SOKSI, Mas Isman yang membentuk Kosgoro dan Sugandhie yang memimpin MKGR menjadi kelompok induk organisasi (KINO) yang memimpin organisasi sosial politik lainnya bergabung, bersatu dalam Sekber Golkar. Tujuan utamanya, menjaga empat pilar bangsa Indonesia, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika untuk selalu berdiri kokoh menopang Indonesia. Dari sinilah berawal kemitraan strategis para birokrat dan teknokrat sipil dan para purnawirawan militer beserta keluarga besar ABRI (KBA). Sebuah kemesraan yang secara emosional historis tak dapat terpisahkan.
Di era Orde Baru, kohesivitas sipil-militer ini tergambar sejak kepemimpinan Soedharmono (1983-1988) yang menggandeng Sarwono Kusumaatmadja sebagai sekjennya. Dilanjutkan di periode berikutnya (1988-1993) oleh Wahono yang mengangkat Rachmat Witoelar sebagai sekjennya. Di era terakhir (1993-1998) posisinya berbalik saat kader sipil seperti Harmoko menjadi ketua umumnya, sedangkan Sekjennya berasal dari militer; Ary Mardjono. Meski posisi berbalik ini sempat diprotes elemen ABRI, namun kohesivitas ini seakan tak terpisahkan, justru semakin menguat.
Pasca reformasi, meski banyak bermunculan partai-partai politik yang dibidani para purnawirawan TNI tak membuat Golkar merusak sejarah panjangnya. Meski memiliki jargao Golkar baru yang melepas elemen ABRI dan birokrat dalam unsur ABG yang mendukungnya, namun Golkar tetap dipimpin duet sipil-militer. Ini tergambar dalam sosok Akbar Tanjung sebagai ketua umum didampingi Tuswandi, yang dilanjutkan Budi Harsono saat yang bersangkutan meninggal. Saat Jusuf Kalla (JK) menjabat ketua umum, sekjennya pun masih diangkat dari purnawirawan TNI, yaitu Soemarsono.
Konstelasi kepemimpinan ini baru berubah di munas Riau 2009, saat Aburizal Bakrie (ARB) secara mengejutkan mengangkat sesama politisi sipil Idrus Marham sebagai Sekjennya. Duet sipil di pucuk kepemimpinan Golkar ini adalah hal baru, seakan-akan Golkar ingin melupakan sejarah kohesivitas sipil-militer yang sudah dilestarikan dalam waktu panjang. Dan konflik pun mulai muncul kala kedua duet sipil ini ingin kembali memimpin Golkar di munas Bali 2014. Percaya tidak percaya, Golkar seakan-akan mengalami kelumpuhan parsial ketika melupakan karakteristik kepemimpinannya selama ini yang sangat memperhatikan kohesi antara sipil dan militer. Sebuah pengingkaran sejarah panjang Golkar!
Muskil mencerabut akar militer dari Golkar. Mengutip peribahasa Jawa, kohesivitas sipil-militer di dalam Golkar itu loro-loroning atunggal, dua dalam satu. Sebagai calon ketua umum partai Golkar, Mahyudin hendak mengembalikan Golkar kembali ke jalurnya semula. Yaitu, tidak menafikan kohesivitas sipil-militer dalam pucuk kepemimpinan Golkar sebagai sebuah sejarah panjang yang tak bisa ditinggalkan begitu saja. Bahkan dalam sebuah kesempatan safari politik, Mahyudin mengajukan dua (2) nama untuk calon sekjennya, Moeldoko dan Djoko Suyanto. Baik Moeldoko maupun Djoko keduanya adalah mantan panglima TNI.
Dengan kembalinya duet kepemimpinan sipil-militer dalam Golkar, dipercaya akan kembali menyolidkan langkah Golkar ke depan. Konsep ini tak hanya mungkin diterapkan di tingkat nasional, tapi juga hingga tingkat daerah. Kombinasi Intuisi sipil dan naluri militer akan sangat berpengaruh dalam mengembalikan kejayaan partai Golkar ke depan. Rekonsiliasi pihak-pihak yang bertikai pun diyakini akan berjalan mulus, sehingga Golkar kembali menjadi partai yang berkuasa (The Rulling Party). Sebuah ide brilian yang tentu saja sangat sejalan dengan slogan “Mahyudin Untuk Semua”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H