[caption caption="Bus DAMRI tiba di bandara Soekarno-Hatta (foto koleksi portal jakartakini.com)"][/caption]Buat kebanyakan orang yang frekuensi bepergian dengan pesawatnya cukup sering, pastilah memperhitungkan biaya transportasi yang lumayan tinggi dari dan ke Bandara Soekarno-Hatta. Mengingat, layanan transportasi yang tersedia hanya taksi argo konvensional dan bus DAMRI. Belum tersedia bus umum, komuter, monorail apalagi MRT. Alternatif terbaru hanya mobil rental dan taksi online. Jadilah bus DAMRI yang memonopoli layanan massal bertarif terhitung efisien Rp. 40.000,- - Rp. 65.000,- menjadi satu-satunya pilihan paling masuk akal.
Sayangnya, keberadaan bus DAMRI yang memonopoli layanan transportasi dari dan ke Bandara Soekarno-Hatta itu nyaris tanpa persaingan sehingga membuat manajemennya berada di comfort zone. Perusahaan negara ini sesukanya menaikkan tarif dan seenaknya memberikan pelayanan minim.Â
Harga yang harus dibayar semakin mahal, namun kualitas pelayanannya semakin dibawah standar. Ini terjadi karena tidak ada standar acuan penilaian pelayanan dan perusahaan serupa yang bisa dikomparasi. Mari kita kupas layanan-layanan setengah hati bus bandara yang dikelola perusahaan negara bernama DAMRI ini.
Pertama, jadwal yang tidak tertata baik kedatangan maupun keberangkatan. Akhirnya pelanggan yang dirugikan karena tidak bisa menghitung estimasi waktu yang dibutuhkan untuk perjalanan. Selain karena keterbatasan armada yang dimiliki, macet juga membuat jadwal kacau.
Pengemudi juga masih bermental sopir transportasi umum, baru mau memberangkatkan bus bila sudah penumpang sudah penuh. Untuk apa? Padahal mereka tak mengejar setoran, melainkan pelayanan tepat waktu.
Kedua, kondisi kabin yang memprihatinkan. Kalau tak mau dibilang bagian interior bis sudah usang dimakan zaman, bau asap rokok dan kotor seperti jarang dibersihkan sehingga terkesan kumuh. Belum lagi kursi yang sudah tidak nyaman untuk diduduki. Akses internet wifi pun palsu karena tidak pernah ada sinyal, mungkin dimatikan.
Ketiga, dualisme sistem pembayaran. Bila naik bus DAMRI dari bandara Soekarno-Hatta atau dari checkpoint biasanya kita membeli tiket di loket. Tapi ternyata, di tengah perjalanan pun masih banyak menaikkan/ menurunkan penumpang. Mereka membeli tiket pada supir atau kondektur. Entah bagaimana transparansi pengelolaan pemasukan negara dari tiket yang dibeli masyarakat ini. Kecurigaan jadi besar, mayoritas penjualan tiket masuk ke kantong awak bus.
Keempat, profesionalitas pengemudi. Pengemudi terkesan arogan, karena merasa diperlukan oleh penumpang. Mengendarai bus kadang dengan ugal-ugalan, tak pakai seragam dan kadang sambil merokok, dengan membuka jendela di sisi kanannya. Saat sedang menurunkan penumpang di halte bandara pun terkadang dengan instruksi yang kasar.
Kelima, Lambatnya respons pengaduan. Sedikit banyak, sebagai penumpang/ pelanggan pasti ada keluhan atau kejadian yang diadukan. Misalnya, ketidak puasan pelayanan, kekecewaan terhadap fasilitas hingga aduan terkait barang hilang atau tertukar. Tapi, bila kita coba menghubungi nomor telpon pengaduan yang tertera di bus ternyata tiada yang menjawab. Lalu bagaimana DAMRI mau merespon untuk dijadikan evaluasi peningkatan pelayanan?
Sebagai perusahaan pemerintah yang berorientasi pelayanan masyarakat dan kepuasan pelanggan, hendaknya DAMRI tidak lagi melayani setengah hati. DAMRI harus merevitalisasi manajemennya untuk merubah diri dan menampilkan citra pelayanan yang selalu lebih baik dari hari ke hari.
Jangan ada lagi berbagai keluhan pelanggan apalagi sampai kecelakaan hingga jatuhnya korban. Agar suatu saat nanti, ketika alternatif layanan transportasi semakin banyak dan tiada lagi monopoli, DAMRI tak perlu takut ditinggal pelanggannya.