[caption caption="Wakil Ketua MPR, Mahyudin Membuka Seminar Ketatanegaraan Ormas MKGR (Foto koleksi pribadi)"][/caption]Sebagai staf ahlinya, pagi tadi saya harus mendampingi Wakil Ketua MPR, Mahyudin yang membuka Seminar Ketatanegaraan Ormas MKGR dengan tema besar “Evaluasi Sistem Ketenagakerjaan Pemerintah Jokowi-JK dalam Menghadapi Persaingan Global Ekonomi Sesuai dengan UUD RI 1945 Pasal 27”. Seminar ini dilangsungkan hari ini Kamis, 24 Maret 2016 pukul 09.00-16.00 WIB di Gedung Nusantara IV Kompleks MPR/DPR/DPD RI Senayan, Jakarta. Akan hadir sebagai pembicara; Hanif Dakhiri (Menteri Tenaga Kerja), Yorrys Raweyai (Ketua Umum Konfederasi SPSI), Agus Susanto (Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan), Aloysius Uwiyono (Guru Besar Ilmu Perburuhan UI) dengan Keynote Speech dari Ketua Badan Anggaran MPR RI; Idris Laena.
Dalam sambutannya, Mahyudin menyebutkan bahwa visi, misi dan aksi program yang dijanjikan duet Jokowi-JK saat kampanye hingga hari ini masih terbengkalai. Ditambah lagi deretan tuntutan buruh yang seakan-akan tiada habisnya menambah panjang daftar pekerjaan rumah (PR) persoalan perburuhan Indonesia. Dalam sambutannya, Mahyudin menyoroti tiga hal yang perlu diperhatikan pemerintah terkait kesejahteraan buruh. Tiga hal itu adalah kepastian pendapatan, kepastian lapangan pekerjaan dan jaminan sosial. Mari kita kupas satu per satu.
Kepastian Pendapatan
Sebenarnya pemerintah telah menerbitkan beberapa paket kebijakan ekonomi terkait kepastian pendapatan masyarakat. Tapi, tiada satupun yang mendorong pemenuhan kebutuhan dan peningkatan kesejahteraan buruh, lewat penyesuaian upah minimum. Pemerintah justru terkesan lebih mengakomodasi kepentingan pengusaha karena memberikan aneka insentif untuk dunia usaha.
Peraturan Pemerintah (PP) Tentang Pengupahan yang berlaku tahun 2016 ini, dianggap merugikan buruh. Karena acuan yang menjadi dasar kenaikan upah minimum dalam regulasi tersebut hanya inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Apabila menghitung inflasi dan pertumbuhan ekonomi saat ini, jumlahnya hampir 10 persen. Sedangkan kenaikan upah tidak pernah lebih dari 10 persen. Secara tak langsung sebenarnya pemerintah masih menerapkan kebijakan upah murah. Wajar kiranya jika para buruh menolak keras berlakunya kebijakan tersebut, karena dianggap semakin memiskinkan mereka. Upaya menyejahterakan buruh masih jauh api dari panggang, karena upah buruh terlihat naik padahal justru semakin menurun.
Kepastian Lapangan Pekerjaan
Di kala para pengangguran berharap pemerintah bisa menyediakan banyak lapangan pekerjaan, di sisi lain fenomena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) justru sedang masif terjadi.di beberapa daerah. Sampai detik ini tiada tindakan konkret pemerintah untuk melindungi buruh. Pekerja outsourcing BUMN contohnya! Rekomendasi panitia kerja (Panja) Outsourcing DPR RI kepada pemerintah agar mengangkat pekerja outsourching BUMN menjadi pekerja tetap tak pernah direspon positif kalau tak mau dibilang diabaikan. Padahal, sudah semestinya BUMN patuh terhadap aturan hukum yang berlaku, sehingga menjadi contoh perusahaan swasta.
Jaminan Sosial
Pelaksanaan sistem jaminan sosial nasional yang diselenggarakan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan masih amburadul. Pemerintah belum mencakup seluruh masyarakat tidak mampu untuk menjadi peserta BPJS Kesehatan. Dampaknya, hanya sebagian kecil masyarakat yang bisa mengakses jaminan sosial kesehatan. Alih-alih menata untuk lebih baik lagi, BPJS Kesehatan justru fokus pada penaikan biaya premi.
Ditambah lagi program Jaminan Hari Tua (JHT) BPJS Ketenagakerjaan, yang dikenakan pajak progresif. Sehingga manfaat JHT yang diterima buruh jadi jauh lebih kecil. Kebijakan yang aneh, sebab jaminan sosial adalah program negara namun negara yang mengambil manfaatnya bukan buruh. Sepatutnya buruh yang mengambil manfaat JHT itu ketika mengalami PHK atau pensiun. Seharusnya melalui program itu negara hadir memberi dukungan. Rendahnya besaran iuran jaminan pensiun (JP) yang sebesar 3 persen dari upah perbulan pun menjadi perdebatan.
Ketiga hal tersebut; kepastian upah, kepastian lapangan pekerjaan dan jaminan sosial harus menjadi fokus utama Jokowi-JK untuk lebih berupaya maksimal memberikan kesejahteraan bagi buruh. Masih ada 3 tahun, waktu yang cukup untuk pemerintah bekerja memperbaiki rapor merah di bidang ketenagakerjaan. Semoga kesejahteraan buruh bisa diperbaiki dan ditingkatkan. Hidup buruh!