Kepanitiaan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Golkar belum juga disahkan dan waktu-tempat pelaksanaan belum juga ditentukan, tapi tensi persaingan antara caketum semakin memanas. Gesekan-gesekan kecil mulai muncul, bahkan tak jarang ada tim sukses calon ketua umum (caketum) yang menghalalkan segala cara dengan melakukan black campaign yang bertujuan pembunuhan karakter dan pembentukan opini. Tentu saja ini sangat disayangkan, mengingat tujuan diadakannya Munaslub ini bukan sekedar memilih pemimpin baru Golkar tapi juga untuk rekonsiliasi pihak-pihak yang bertikai selama ini.
Kemarin saya melihat ada sebuah ulasan menarik di kompasiana yang ditulis oleh Reza Suhendar berjudul “Keunggulan Ade Komarudin (Akom) Dibanding Caketum Golkar Lainnya”. Dari judulnya sebenarnya tiada masalah. Tapi, ketika kita melihat isinya penulis melakukan komparasi terhadap 4 caketum lain dengan subyektif semata untuk meningkatkan keunggulan caketum yang didukungnya. Tentu saja tulisan itu tendensius dan saya yakin penulis bukanlah kader Golkar maupun SOKSI, sekedar buzzer (mungkin bayaran) yang membabi buta melakukan politik belah bambu; mengangkat yang membayar dan menginjak pihak yang berlawanan.
Saya tidak tertarik menanggapi tuduhan-tuduhannya terhadap Setya Novanto, Syahrul Yasin Limpo ataupun Idrus Marham. Tapi, saya ingin menanggapi fitnah yang dibuat sang penulis terkait Mahyudin, salah satu caketum yang dibahas dalam artikel yang jauh dari ilmiah tersebut. Karena saya sebagai Wakil Ketua Depidar SOKSI DKI Jakarta punya kedekatan emosional dengan Mahyudin (Dewan Pembina Depinas SOKSI) maupun Ade Komarudin (Ketua Umum Depinas SOKSI). Sayangnya Kompasiana mengangkat tulisan tersebut sebagai “pilihan”, entah apa alasannya. Tulisan ini juga saya anggap sebagai hak jawab terhadap tudingan yang tak beralasan tersebut.
[caption caption="Screenshot tulisan Fitnah Reza Suhendar - Tuduhan Suap Pilkada"][/caption]Untuk Fitnah Pertama, saya cuplik tulisannya; “Idrus bersama politikus Golkar, Mahyudin, diduga memberikan 2 Miliar kepada Akil yang diduga untuk pemenangan pasangan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Palangkaraya, Riban Satria dan Mofit Saftono Subagio.” Pertanyaan saya, siapa yang menduga? Apakah dugaan ini pernah dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD)?
Kalau tidak pernah ada, tentu saja tak elok menuduh berdasarkan dugaan tak beralasan. Lagipula, jabatan Mahyudin di Golkar adalah Ketua Bidang Organisasi dan Daerah (Orda) tak ada kaitannya dengan pilkada yang kewenangannya dipegang oleh Bidang Pemenangan Pemilu (Nanglu).
Justru berbeda dengan Ade Komarudin (Akom), yang menjabat Ketua Bidang Nanglu wilayah Jawa I (DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat). Beliau pernah diperiksa terkait kasus dugaan suap pilkada Lebak pada tahun 2013 yang melibatkan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar, Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah dan adiknya, Tubagus Chaeri Wardana. Akom diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Amir Hamzah, mantan calon bupati Lebak yang diusung Partai Golkar.
Silakan baca sumber-sumbernya berikut ini; sumber 1, sumber 2, sumber 3. Dengan demikian, fitnah terhadap Mahyudin terkait pilkada Palangkaraya terbantahkan, karena jangankan jadi saksi, kasus ini pun tak pernah masuk ke pengadilan. Media meliput hanya berdasar celotehan Chairunnisaa berdasarkan rumor yang tak bisa dibuktikan. Bahkan walikota Riban Satria telah membantah isu miring tersebut dan masih menjabat hingga saat ini.
[caption caption="Screenshot tulisan Fitnah Reza Suhendar - Tuduhan Diperiksa KPK"]
Jadi, Mahyudin yang diperiksa oleh KPK adalah politisi Demokrat dari daerah pemilihan (dapil) Sumatera Selatan (Sumsel), seorang profesor dan ahli kandungan yang sudah berumur. Sedangkan Mahyudin yang menjadi caketum Golkar adalah politisi muda Golkar dari dapil Kalimantan Timur (Kaltim), seorang insinyur yang pernah menjadi bupati Kutai Timur.
Jika penulis ingin menjadi pengamat politik sebaiknya lebih banyak membaca dengan pilihan referensi yang lebih terpercaya. Saat ini anda tak lebih dari seorang buzzer (mungkin bayaran) yang membuat tulisan berdasarkan pesanan saja. Saran saya, sebaiknya kedua fitnah anda terhadap Mahyudin dalam artikel anda yang memuja-muji Ade Komarudin itu dihapus saja. Jika tidak, fitnah tersebut dapat dilaporkan sebagai upaya menyebar kebencian (hate speech) dan pembunuhan karakter. Demikian, Mahyudin untuk Semua!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H