[caption caption="Kantong Sampah Berbayar (foto milik mudaindonesia.com)"][/caption]Saya dan istri saya bukanlah orang yang fanatik berbelanja di minimarket, apapun namanya. Kami lebih memilih berbelanja di pasar tradisional, agen jajanan/ sembako, agen susu/ popok dan hypermarket (dengan catatan, bila ada diskon). Di pasar tradisional yang dibeli adalah sayur-mayur dan buah-buahan segar, mereka masih dengan senang hati mengemas barang-barang yang kami beli dengan kantong plastik; hitam, merah atau putih. Sementara di 3 tempat lainnya kami berbelanja dalam jumlah besar, jadi barang-barang belanjaan biasanya dikemas dengan kardus lalu diikat dengan rapi.
Peraturan kantong plastik berbayar baru saya ketahui ketika terjadi pro-kontra (jauh lebih banyak yang kontra) oleh netizen di sosial media. Menurut saya kebijakan dalam bentuk surat edaran (bukan peraturan yang berkekuatan hukum) apalagi diterbitkan oleh kementrian lingkungan hidup (yang tidak jelas apakah sudah berkoordinasi dengan menteri perdagagan atau belum) sebagai sebuah lawakan yang tak lucu. Kenapa?
Pertama, Bila tujuannya adalah mengurangi penggunaan kantong plastik, sebaiknya dicarikan alternatifnya dengan kantong atau kemasan berbahan lain yang lebih ramah lingkungan. Sebut saja kantong kertas! Bukan justru membebani konsumen dengan biaya tambahan. Karena logikanya upaya mengurangi penggunaan kantong plastik itu dengan mencari solusi alternatif bukan justru mengenakan tarif.
Kedua, peraturan yang diterapkan tanpa sosialisasi ini takkan berhasil karena masyarakat yang berbelanja pasti enggan merepotkan diri sendiri dan akan memilih membayar. Sehingga surat edaran (bukan peraturan pemerintah maupun peraturan daerah) ini sudah pasti akan menjadi kontra produktif. Lalu, bagaimana tolak ukur menilai keberhasilan kampanye ini? Sedikit yang membayar kantong plastik karena membawa kemasan sendiri atau justru semakin banyak yang rela membayar lalu karena merasa sudah membayar seenaknya membuang plastik-plastik tersebut tidak pada tempatnya.
Ketiga, Padahal kantong plastik itu sudah masuk dalam hitungan modal tiap pedagang. Pedagang sudah memperhitungkan masak-masak tiap pengeluarannya dan membebankannya ke konsumen secara merata. Sejatinya, kantong plastik itu tidak gratis dan tidak ada yang cuma-cuma dalam bisnis. Konyol! Nah, penghasilan tambahan Rp. 200,- (per plastik, bukan per konsumen) itu apakah masuk ke pemerintah cq Kementrian Lingkungan Hidup atau tetap masuk ke pengusaha untuk pemasukan tambahan dan memproduksi lebih banyak kantong plastik? Lebih absurd!
Keempat, kantong-kantong plastik tersebut biasanya memuat logo minimarket yang menyediakannya. Karena, selain sebagai bentuk layanan kepada pelanggan juga untuk sarana promosi. Tentu saja nilai produksinya sudah diperhitungkan masak-masak. Lalu sekarang, biaya promosi tersebut dibebankan ke konsumen dengan dalih lingkungan hidup. Dimana relevansinya?
Bila minimarket-minimarket tersebut bersikukuh menerapkan surat edaran (biasanya, surat edaran itu berlaku internal kementrian yang bersangkutan) kantong plastik berbayar, boikot saja. Selama mereka tak menyediakan kantong ramah lingkungan yang diberikan gratis sebagai alternatif. Saran saya, kita kembali berbelanja ke pasar tradisional dan warung-warung kelontong. Barang-barangnya lebih segar, lebih murah dan tiap sen yang kita keluarkan ikut mendukung pedangan mikro, kecil dan menengah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H