Lalu dia melamarku, mengajak aku memulai kehidupan baru bersamanya di Christchurch, Selandia Baru. Rasanya seperti mimpi.
Bagi Ria dan Lilan, memutuskan untuk tinggal jauh dari keluarga adalah keputusan yang berat. Namun tidak demikian halnya dengan Sita dan Ron (keduanya nama samaran).
Sita bercerita bahwa dia sudah 3 tahun bekerja di Jakarta ketika memutuskan untuk menikah. Pada ulang tahun pernikahannya yang ke-5, Sita memutuskan untuk melepas kewarganegaraan Malaysia.
Tak terasa, sudah 25 tahun saya menjadi WNI. Hingga 3 tahun yang lalu, setiap tahun saya masih mengunjungi ayah saya di Kuala Lumpur. Setelah beliau berpulang, disusul dengan hadirnya pandemi COVID-19, hal itu tidak saya lakukan lagi.
Saat menikah dengan pujaan hatinya, Ron juga sudah bekerja di Duri, Riau, selama 5 tahun. Kini, pasutri Ron dan Hani (bukan nama sebenarnya) telah dikaruniai seorang putri.
Sampai saat ini, saya masih mempertahankan kewarganegaraan Kanada. Izin kerja dan izin tinggal saya di Indonesia diurus oleh perusahaan tempat saya bekerja.Â
Putri kami sekarang masih kelas 10 dan masih berkewarganegaraan ganda. Kami akan biarkan dia memilih jika sudah cukup umur nanti.
Kerikil-kerikil kecil, bagaimana mengatasinya?
Dalam pernikahan campuran, ada kerikil-kerikil kecil yang terbentuk dari hal-hal sepele. Ria menyebut perbedaan menu sarapan sebagai tantangan tersendiri baginya.
Menu sarapan Turki itu rasanya hambar. Beda jauh dengan nasi goreng atau bubur ayam yang biasa disiapkan mama di rumah.
Aku berusaha mengambil positifnya saja. Menyiapkan menu sarapan ala Turki jauh lebih mudah dibanding menyiapkan menu sarapan ala Indonesia.
Perbedaan ini membuat aku dan suami belajar open minded dan belajar toleransi. Aku berusaha menyukai makanan Turki dan dia belajar menikmati nasi goreng.