Jembatan Pedamaran adalah ikon kebanggaan warga kota Bagansiapiapi. Sebagai anak Bagan, saya merasa bangga, meskipun sejauh ini belum pernah melihatnya secara langsung.
Diresmikan pada tanggal 21 Juni 2016, Jembatan Pedamaran membentang di atas Sungai Rokan. Ikon Kabupaten Rokan Hilir (Rohil) ini merangkai  Pulau Pedamaran I dan II dengan Kecamatan Pekaitan melalui ibu kota Rohil, Bagansiapiapi.
Kehadiran jembatan Pedamaran telah membuka jalur darat ke daerah-daerah yang sebelumnya terisolasi. Dahulu, masyarakat dari daerah-daerah tersebut yang ingin ke Bagansiapiapi harus melalui jalur laut.
Kini, jalur darat telah menghubungkan Sungai Pakning, Dumai, Sinaboi, Bagansiapiapi, Jembatan Pedamaran I, Pulau Pedamaran, Jembatan Pedamaran II, Pekaitan, Kubu, Pasir Limau Kapas hingga Kota Tanjungbalai di Sumatera Utara.
Selain digunakan sebagai jalan penghubung, jembatan kembar itu juga dijadikan salah satu objek wisata karena pemandangan yang indah. Ya, cerita-cerita yang saya dengar tentang jembatan Pedamaran, menggugah saya untuk mencari tahu tentang desainer yang merancangnya.
Tahukah Anda bahwa desainer jembatan Pedamaran adalah seorang perempuan? Tahukah Anda bahwa srikandi ini juga berada di balik jembatan lengkung LRT Jakarta? Tahukah Anda bahwa dirinya pernah punya cita-cita menjadi ibu rumah tangga? Tahukah Anda bahwa perempuan hebat ini juga pernah mengalami perundungan di masa kecilnya?
Mari kita simak fakta unik tentang Arvila Delitriana, perempuan insinyur yang berada di balik jembatan kembar Pedamaran.
Meraih dua penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI)
Konstruksi jembatan lengkung bentang panjang (long span) rancangan Dina, panggilan akrab Arvila Delitriana, untuk proyek LRT di Jakarta meraih dua penghargaan dari MURI. Sebagai jembatan kereta box beton lengkung dengan bentang terpanjang, dan sebagai jembatan dengan pembebanan axial static loading test terbesar di Indonesia.
Menyenangi jembatan Pedamaran
Dalam wawancara dengan sebuah media daring awal tahun 2020, Dina ditanya apakah jembatan Pedamaran merupakan salah satu masterpiece karyanya. Meskipun tidak secara tegas menjawab "ya", Dina berkata:
"Yang jelas saya senang dengan jembatan itu. Karena orang Bagansiapiapi memangkas waktu banyak sekali untuk ke Sumatera lewat jembatan itu. Sebelumnya perlu waktu lima jam, sekarang hanya 30 menit untuk sampai Sumatera."
Terbiasa sendiri di bidang yang masih didominasi laki-laki
Dina menyadari bahwa bidang yang digelutinya masih didominasi laki-laki. Saat kuliah, dari seangkatan 120 orang di teknik sipil, mahasiswinya kurang dari 20 orang. Angkatan sebelum Dina, hanya delapan orang.
Saat di Bagansiapiapi, Dina perempuan sendiri. Tidak ada toilet untuk perempuan.