Berasal dari Bagansiapi-api, Mardi kecil bercita-cita menjadi guru. Kegagalan meraih beasiswa S2 membuatnya terpuruk. Â Permenungan panjang pada malam menjelang Peringatan Wafat Isa Almasih di tahun 1995 membawanya bangkit dari keterpurukan. Mardi menyadari bahwa mungkin Tuhan sedang membelokkan jalannya.
Kini, Mardi dikenal sebagai CEO sebuah perusahaan yang menginspirasi gaya hidup sehat, sekaligus musafir yang hobi mengeksplorasi jalur-jalur yang jarang dilalui orang lain. Ikuti kisah suksesnya di bawah ini.
Aku Ingin Jadi Guru           Â
Mardi lahir di Bagansiapi-api, sebagai anak tengah dari tiga bersaudara. Ayahnya memiliki UMKM produsen mie dan toko kelontong. Di masa mudanya, ayah Mardi menjadi relawan guru, mengajar di "sekolah malam".
Sebelum menikah, ibu Mardi adalah guru di Sinaboi, sebuah desa nelayan yang terletak sekitar 16,5 Km di sebelah utara Bagansiapi-api. Sekolah tersebut adalah satu-satunya sekolah di desa itu. Karena transportasi sangat terbatas, beliau tinggal di asrama guru dekat sekolah.
Lahir dalam keluarga guru, menginspirasi Mardi kecil memupuk cita-cita menjadi guru. Baginya, pengetahuan adalah mutiara-mutiara berharga. Ia ingin membagikan mutiara-mutiara yang dimilikinya kepada anak-anak di kota kecilnya, juga anak-anak dari desa-desa tetangga.
Mardi (kanan) bersama kakak dan adik (dokpri)
Juara Umum SMA Kolese Loyola, Semarang
Mardi bersekolah di "Bintang Laut". Pada tahun 1980-an, mayoritas sekolah di Bagansiapi-api hanya sampai SMP. Untuk meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi, harus pergi merantau.
Mardi memilih SMA Kolese Loyola di Semarang. Alasannya sangat sederhana. Sekolah ini terkesan bagus dan menghargai kebebasan, cocok dengan jiwanya yang bebas.
Pertama kali menginjakkan kaki di Loyola, ia sedikit gentar. Rata-rata NEM SMP teman-teman seangkatannya berkisar 54, sementara NEM-nya hanya 52. Selain itu, sebagai anak yang baru datang dari kampung, Bahasa Indonesianya masih terbata-bata.
Mardi bercerita bahwa di awal masuk SMA, catatan Kimianya selalu kosong. Bukan karena ia tidak memperhatikan pelajaran, tetapi karena gurunya mengajar dalam Bahasa Jawa. Agar dapat mengikuti pelajaran, ia membuat kamus saku Bahasa Jawa - Indonesia.
Setiap hari, ia meminta teman-temannya menulis kosakata Bahasa Jawa dalam kamus saku dan menghafalnya. Dalam beberapa minggu, ia sudah dapat mengikuti pelajaran Kimia dan berkomunikasi dengan Bahasa Jawa Ngoko.
Mardi juga bercerita tentang guru Sejarah yang suka memberi ulangan mendadak. Ulangan pertama, ia dapat nilai 4. Suatu pukulan besar baginya yang selalu juara dari SD hingga SMP. Mardi berjanji akan belajar lebih sungguh-sungguh.