Dalam sekolah pastilah kita bakal menerima yang namanya tugas sekolah, ada perasaan jenuh ketika mengerjakannya apalagi ketika tugas itu banyak. Namun ada beberapa anak yang mengambil jalan enak dengan mencontek tugas dari temannya yang sudah selesai, jujur aku tak menyalahkan anak mencontek itu karena aku pun pernah mencontek, yang kusesalkan adalah kenapa baru sekarang ku sadari bila tugas-tugas sekolah itu adalah untuk kebaikan sendiri.
Baiklah, barangkali ada benarnya lebih baik terlambat daripada terlambat banget untuk menyadari hal ini, kesadaran ini kudapat ketika aku sendiri dalam keadaan tertekan karena kebutuhan biaya untuk melanjutkan sekolahku. Dengan gaji seorang perawat honor pastilah kurang untuk biaya akomodasi tes dan lainnya yang dilakukan langsung dan tidak dapat diwakilkan, kuputarlah otakku sambil membaca peluang apa yang bisa aku lakukan untuk menambah pundi tabunganku. Dan ingat walaupun orang tuaku mampu aku tak ingin merepotkannya bukan karena idealis, tapi ingin mencoba usaha maksimal apa yang bisa kulakukan untuk diriku sendiri.
Beberapa hari kemudian ada seorang teman yang menghubungiku, dengan panik dia meminta tolong agar aku mengerjakan skripsinya, waduh, ini bukan pertama kalinya aku membantu temanku untuk mengerjakan skripsi, karena sebelumnya aku pernah mengerjakan dua skripsi pada saat yang bersamaan, punyaku sendiri dan punya seniorku yang memang menawarkan support yang luar biasa, tapi itupun dengan lelah yang sangatttt banget capeknya. Sumpah....! Rasanya bila aku menerima tawaran temanku untuk membantunya sama saja aku membuka luka lama sebagai pekerja rodi skripsi, ingin kutolak tapi apa daya keterpaksaan akan biaya membuatku harus melakukannya.
Awalnya hanya seorang teman saja, tidak taunya karena menyebar dari mulut ke mulut jadinya banyak juga yang meminta tolong. Lelah pasti terasa, hanya saja lelah itu tak dirasa seperti di awal, pastilah karena sudah menjadi kebiasaan yang berawal dari keterpaksaan butuh uang. Tak apalah kupikir ini pekerjaan halal karena membantu sesama. Dalam masa transisi dari terpaksa ke biasa ada perenungan dalam lelahku, dengan terpaksa kadang kita baru mulai bergerak, bahkan dalam kehidupan sehari-hari. Masih ingat aku rasa sapu itu pada lenganku, ketika bocah ayahku sering memaksaku untuk shalat, dan aku merasakan manfaatnya sekarang, barangkali dulu bila ayahku tak memaksaku untuk shalat, bisa saja saat ini aku menjadi orang yang tak pernah shalat, walaupun hingga saat ini rasa malas itu tetap ada.
Keterpaksaan membuat kita berpikir lebih keras tentang peluang, dan yang membentengi tentang peluang baik dan buruk hanya "hati". Di luar dari peluang yang kukerjakan di atas, kupikir itu masih lebih baik daripada aku mencoba peluang lain yang lebih buruk. Aku menikmati setiap keterpaksaan yang Tuhan berikan untukku dalam bentuk apapun itu. Karena dengan keterpaksaan membuat kita menjadi biasa dalam menghadapi paksaan yang dengannya kita menjadi terbiasa untuk melakukannya hingga menjadi seseorang yang luar biasa.
Bagi yang merasa terpaksa dalam melaksanakan tugas hari, dinikmati saja dulu. Semoga kau tak kalah dengan rasa bosan dan lelahmu, nanti juga kau akan biasa dengan tugasmu....yakin saja......karena ku yakin kita semua adalah orang-orang yang luar biasa......
Semoga menginspirasi pagi....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H