Malam menggenang dalam arus gelombang
Pagi, siang masih tentang perkawinan silang
Matahari terasa di punggungku…
Keringat riwayat serupa embun pagi tepat di serambi rumahku
Bergelimpangan berita menyusup rahim anak panah di kala itu
Parau….sengau…kacau…
Namaku penuh kemarau….!!!!
Aku ingin menghitung gerimis
Lalu ku campurkan rohnya dengan rohku
Kuhisap wangi lumut di atas batu-batu
Dan kusemaikan basah pada pelukan api laguku
Lalu mengapa amarah senantiasa gelisah…..????!!!
Inginkah aku bercinta di luar angkasa???
Inginkah aku menukar tabir gelap dan berteriak ‘BOSAN’ pada langit????
Tapi…
Bukankah aku seekor elang?
Bukankah aku terbiasa berseru melawan bumi?
Bukankah aku karib dengan pengembara asing di negeri tanpa ruang ini?
Aku tenggelam dalam topan, dalam daun, dalam musim, dalam batu-batu, dalam jenuh, dalam keluh, dalam susuh, dalam air mata dan dalam kerikil bunga kantil…
Aku melawan takdir…!!!!!
Kulubangi batu-batu dengan kepalaku
Kulukis relief kecil dengan tulang-tulangku
AKU rindu…
Namun pagar di taman belukar mencegahku
Menggantung wajahku pada besi-besi listrik
Menyeret leherku hingga aku tercekik
Merobek mataku hingga yang kulihat hanyalah malam..
P e l i k …
Aku ingin memamah pagar itu…
Dan kutukar besi-besi itu dengan jari-jariku
Hingga aku bebas mengais tanpa harus bertanya lagi
Aku ingin menelannya…
Dan kuhancurkan monolog malam…!
Lalu kusilangkan arus pembunuh hingga semuanya mati..
Seperti aku,
Dalam malam, dalam hujan, dalam angan-angan SYMPHONIAN….
Monolog Malam, 10 April 2012
---ANNA---
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI