Mohon tunggu...
Anna Armeini Rangkuti
Anna Armeini Rangkuti Mohon Tunggu... -

Membersamai anak-anakku yang semakin berkembang, menakjubkan...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kecurangan Akademik Pada Mahasiswa Kependidikan

30 Mei 2012   15:53 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:35 735
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia, calon guru akan menjalani proses pendidikan di universitas yang disebut sebagai Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Tujuan penyelenggaraan LPTK antara lain adalah untuk menghasilkan individu yang berprofesi sebagai guru di lembaga-lembaga persekolahan dan non-persekolahan. Setiap guru yang merupakan output LPTK diharapkan memiliki integritas akademik yang baik sehingga mampu mempertanggungjawabkan setiap sikap dan tindakannya di tengah masyarakat khususnya di lingkungan persekolahan tempat guru bekerja. Namun, kondisi di LPTK terkait dengan kecurangan akademik mahasiswa calon guru cukup memprihatinkan. Survei yang dilakukan terhadap 298 mahasiswa kependidikan di salah satu LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) menggambarkan kondisi tersebut (Rangkuti & Deasyanti, 2010). Hasil survei menunjukkan kecurangan akademik yang dilakukan mahasiswa saat ujian dan tergolong sering (lebih dari dua kali) selama setahun terakhir antara lain: 1) Menyalin hasil jawaban dari mahasiswa yang posisinya berdekatan selama ujian tanpa disadari mahasiswa lain tersebut (16,8%); 2) Membawa dan menggunakan bahan yang tidak diijinkan/contekan ke dalam ruang ujian (14,1%); dan 3) Kolusi yang terencana antara dua atau lebih mahasiswa untuk mengkomunikasikan jawabannya selama ujian berlangsung (24,5%). Sementara itu, kecurangan akademik yang dilakukan saat mengerjakan tugas antara lain: 1) Menyajikan data palsu (2,7%); 2) Mengijinkan karyanya dijiplak orang lain (10,1%); 3) Menyalin bahan untuk karya tulis dari buku atau terbitan lain tanpa mencantumkan sumbernya (10,4%); dan 4) Mengubah/memanipulasi data penelitian (4%).

Penelitian kualitatif yang dilakukan terhadap 3 orang mahasiswa (Rangkuti, 2009) menyimpulkan bahwa kecurangan akademik yang dilakukan terutama dipengaruhi oleh kesempatan yang ada pada saat ujian dan tugas akademik. Ketiga responden mengakui berani melakukan kecurangan karena didukung oleh situasi dan kondisi saat ujian. Sebagian pengajar hanya menegur pelaku kecurangan, sebagian pengajar lainnya bahkan tidak mempedulikan kecurangan yang dilakukan mahasiswa. Hal inilah yang menyebabkan terbukanya peluang mahasiswa melakukan kecurangan.

Selanjutnya, penelitian kuantitatif pada 507 responden mahasiswa kependidikan (Rangkuti, 2010) bertujuan untuk menguji model terjadinya kecurangan akademik. Model yang diuji adalah model fraud triangle, di mana kecurangan dipengaruhi oleh kesempatan, tekanan, dan rasionalisasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor kesempatan berpengaruh langsung dan signifikan terhadap terjadinya kecurangan akademik. Selain itu, menurut responden, salah satu hal yang paling mempengaruhi ketika melakukan kecurangan adalah situasi atau kondisi saat ujian atau saat mengerjakan tugas.

Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut dapat ditarik benang merah bahwa kecurangan akademik yang terjadi terutama disebabkan adanya kesempatan untuk melakukannya. Kesempatan yang dimaksud adalah suatu peluang yang memungkinkan mahasiswa melakukan kecurangan akademik tanpa terdeteksi. Kesempatan juga dapat dikarenakan ketidakpedulian institusi pendidikan dan staf pengajar.

Mahasiswa pelaku kecurangan dikhawatirkan akan meneruskan kondisi tersebut di lingkungan tempat bekerja. Menurut Becker et.al. (2006), mahasiswa yang cenderung melakukan ketidakjujuran dalam bidang akademik maka akan cenderung melakukan beragam ketidakjujuran di dunia kerja.

Berkaitan dengan kecurangan yang terjadi pada dunia kerja termasuk dalam bidang pendidikan, terdapat hasil penelitian yang menunjukkan keterlibatan pendidik atau guru dalam melakukan kecurangan akademik dalam rangka meningkatkan pencapaian nilai peserta didiknya pada suatu sistem ujian (Kane & Staiger, 2002, dalam Anderman & Murdock, 2007). Demikian juga yang terjadi di Indonesia pada saat pelaksanaan ujian nasional beberapa tahun belakangan ini. Modus kecurangan akademik yang dilakukan oleh guru saat pelaksanaan ujian nasional antara lain adalah membocorkan soal ujian nasional dan membuat jawaban soal untuk siswa (Ade Irawan, Divisi Monitoring Pelayanan Umum Indonesia Corruption Watch pada www.forum.unnes.ac.id). Tujuan guru yang melakukan kecurangan akademik tersebut adalah untuk meningkatkan pencapaian nilai peserta didik sehingga dapat lulus ujian nasional. Terkait dengan pelaksanaan ujian nasional tahun 2009, kecurangan terindikasi dengan adanya peran pelaksana Ujian Nasional seperti guru, kepala sekolah, dinas pendidikan dan Pemerintah Daerah setempat. Mereka memiliki kecenderungan untuk mencapai tingkat kelulusan setinggi-tingginya secara instan (Bambang Sudibyo, Mendiknas periode 2004-2009 pada www.tempointeraktif.com). Kasus kecurangan lainnya yang dilakukan oleh guru dan bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri adalah sebanyak 1.082 guru di Riau menggunakan dokumen palsu agar dapat lolos sertifikasi guru (Buchori, dalam Harian Kompas, 2010).

Bagaimanapun juga, kondisi di mana guru melakukan kecurangan akademik seperti itu sangat memprihatinkan. Profesi sebagai guru merupakan profesi yang banyak dikaitkan dengan kemuliaan sikap dan perilaku. Sosok guru sebagai panutan, khususnya bagi para peserta didik, semestinya bersikap dan berperilaku jujur sesuai norma dalam keseharian di lingkungan pendidikan atau bahkan di mana saja berada. Sikap dan perilaku jujur seharusnya tertanam sejak dini sehingga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sosok seorang guru. Kondisi ini akan tercermin dalam kepribadian seorang guru yang kemudian akan dinilai sebagai aspek kompetensi kepribadian sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen. Kompetensi guru sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 8 Undang-Undang Republik Indonesia tersebut meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Khusus pada kompetensi kepribadian seorang guru, hal-hal yang tercakup di dalamnya antara lain: berakhlak mulia, jujur, dan mampu menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun