Seorang ibu yang mendekati usia enampuluh tahunan( tapi masih kuat tulang2 nya untuk berjalan cepat), Â malam2 menghampiri kami (saya dan beberapa keluarga ) yang sedang duduk di taman depan rumah.
Dia tiba dengan buru-buru lalu menerobos ke depan kami, rumah tanpa gerbang.
 Ia menjelaskan sebuah keadaan yg ia rasakan tanpa kami bertanya sebelumnya. Belum kami berucap sepatah katapun, ia menangis yg menyebabkan hati ini terasa tercabik2. Mengingatkan memoar seorang ibu yg sudah pergi lama dr tengah2 kami, ya benar.
Kebiadaban seorang anak yg tega membuatnya seperti ini,kurang ajar, bangs*t. Kami tidak sekali dua kali melihat pemandangan Seperti ini yg disebebabkan anak nya yg sama.
Sorry, aku kasar.
Tak lama dari peristiwa yg ia ceritakan, salah satu kakak saya menenangkan hatinya dg meringankan bebannya, akan ke sana menemui anaknya dirumah.
"Kalau nggak saya, Â pasti sudah stress gila merasakan hal ini, punya anak kok begini" gerutunya sambil meneteskan air mata.
Pecah suasana, begitu juga jiwa ini.
Mendengar kakak ku yg telah sedikit meringankan bebannya, ia pulang dg langkah kaki yg gemetaran.
Kaki yg telanjang melaju cepat tak kenal gelap yang entah ada duri, kerikil, setiap saat bisa melukainya.
Wahai ibu, bagaimanapun anak2 mu membuatmu luka, namun engkau tetap dan selalu menganggap itu anak mu, bagaimana mungkin Allah tidak menjunnung kedudukan yg amat mulia nan agung itu.
Oh tuhan ku.....
Engkau menciptakan seorang ibu yang sifat tak jauh dari sifat2 mu.
Meski tuhan tidak boleh disifati seperti makhluknya, namun inilah ungkapan yg tak bisa dilukiskan tangan penuh dosa ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H