Di manapun tempatnya, perihal yang menyangkut keuangan itu sifatnya sensitif, kayak pantat bayi. Hal ini saya alami sekarang. Waktu pembayaran yang sudah kami tetapkan di masa rapat kemarin adalah per tanggal tiga puluh akhir bulan.
Sampai saat ini baru dua orangtua yang menyetorkan kewajibabnnya kepada saya, apa kabar dengan yang lain? Apakah lupa? Saya rasa enggak sih, soalnya baru saja minggu kemarin diingtakan.Â
Udah bayarnya tidak mulus seperti jalan tol, tapi complain dan permintaan kepada pengajar luar biasa banyaknya. Kalau saya yang mengingatkan langsung, meski dengan bahasa sehalus apapun, maka dampak negatif akan saya terima, dan itu tidak mungkin juga saya lakukan. Orangtua lah yang seharusnya sadar akan hal ini.
Maksud saya gini, seorang guru itu kan dahulunya juga perlu biaya, tenaga, waktu untuk mencapai sekarang ini, jadi kalau untuk mencari ilmu atau mendapatkan ilmu kemudian tidak sadar akan tiga poin itu sama saja tidak menghargai seorang guru.
Bukan nggak sabaran begitu, harus nunggu sampai orangtua memberikan hak seorang guru, namun kesadaran sebagai sesama manusia yang bekerja itu harus diutamakan. Orangtua juga kan kalau kerja berharap mendapat bayaran, bukan?
Nah, itu sama halnya dengan saya, Pak, Bu! Mohon dipikirkan, jangan cuma bilang kita yang nggak sabaran.
Tenaga yang Dikelaurkan Lebih Ekstra
Kerja apapun itu pasti melelakan, walaupun kerjanya di dalam ruangan sambil duduk dan dikelilingi ruangan ber-ac, semua menguras tenaga dan pikiran.
Begitu juga seorang guru, yang dengan khasnya, kerjanya ya pakai bicara, tidak ada cara lain, kecuali dosen yang hanya ngisi absen dan gemar menydorkan tugas. Tingkatan pengajar paling ekstra mengeluarkan tenaga menurut saya adalah guru anak-anak seperti TK dan SD.Â
Menjelaskan materi dengan keadaan kelas yang penuh suara dan keramaan suara san sini merupakan uji kesabaran tingkat tinggi. Ini saya rasakan ketika mengajajar di depan anak-anak TK dan MI.Â
Meski hanya dalam sebuah ruangan yang berisi tidak lebih dari sepuluh orang, tapi tetap saja terjadi keributan, pastinya volumenya lebih rendah, tidak seperti kelas formal sekolah pagi. Tetap saja, saya menjelaskan dengan mempreteli satu satu murid yang belum paham hingga benar-benar paham. Namanya juga les gabungan, bukan privat yang hanya mengajar satu anak. Walhasil melelahkan, bicara satu jam serasa tiga jam.