Jelang Pemilu Legislatif 9 April 2014 mendatang elektabilitas Partai Demokrat justru merosot tajam. Sungguh tragis nasib partai penguasa ini. Partai yang melesat dengan cepat dan mencapai kejayaannya di tahun 2009 dengan mengantongi 20,85 persen suara ternyata cepat pula runtuhnya. Kalau orang sono bilang, easy come easy go. Partai ini seakan-akan didirikan untuk tujuan “balas dendam” terhadap partai penguasa saat itu, yaitu PDIP. Setelah 10 tahun berkuasa, tuntas sudah pembalasan dendamnya dan tuntas pula kiprah partainya.
Kemenangan Partai Demokrat tahun 2009 tidak bisa dilepaskan dari sosok Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Jika bukan sosok SBY yang menempatkan isu sentral pemberantasan korupsi dengan mengusung tagline “Katakan Tidak Pada Korupsi” sebagai agenda kampanyenya, mungkin partai yang tergolong baru ini belum tentu dilirik oleh pemilih. Slogan yang menjadikan kunci kemenangan Partai Demokrat ini akhirnya menjadi bumerang. Slogan ini berubah menjadi “Katakan Tidak Pada(hal) Korupsi” seiring dengan badai korupsi yang menerpa kader-kader Demokrat.
Hal ini lebih diperparah lagi karena para elit partai seakan tidak berdaya menghadapi jeratan korupsi yang melilit para kadernya yang setiap waktu makin bertambah. Nyanyian Nazaruddin dan Anas semakin nyaring terdengar dimana-mana. Setiap Nazarudin bernyanyi, tak berapa lama ada korban yang berjatuhan lewat tangan KPK. Mulut Nazaruddin seakan memang ampuh untuk mencongkel keterlibatan kader-kader Demokrat agar mengikuti jejaknya mendekam di rutan KPK.
Masa keemasan Partai Demokrat sebagai partai penguasa sebenarnya terlihat di lima tahun pertama menjabat. SBY yang didampingi wakilnya Jusuf Kalla berhasil mencatatkan diri sebagai pasangan terpopuler dengan pembagian tugas yang jelas. Hanya saja disini memang terlihat bahwa kepemimpinan SBY kurang menonjol dibanding Jusuf Kalla yang berangkat dari kalangan pengusaha. Jusuf Kalla terlihat lebih eksekutor dibanding SBY. Ibarat mobil, remnya tidak sanggup menahan laju gas yang diinjak “pol”, akibatnya mobilpun oleng. Demikian juga dengan pasangan ini yang bubar pada Pemilihan Presiden 2009.
Kalau orang Jawa bilang, Partai Demokrat iku ora kuat derajat, diberi martabat tidak sanggup mempertahankan, diberi amanah tidak sanggup melaksanakan. Ujian datang di tampuk kekuasaan lima tahun kedua. Diuji dengan kekuasaan, maka yang tidak seharusnya berkuasa ikut-ikutan berkuasa. Para “nafsu” terlihat memanfaatkan aji mumpung. Mumpung berkuasa, berarti mumpung bisa mengeruk dana-dana project dan memperkaya diri sendiri. Ditambah lagi suara-suara tidak santun yang keluar dari mulut para kadernya dengan menyerang lawan-lawan politiknya, membuat partai ini diambang kehancuran. Para pemilihpun malas jika setiap hari disuguhkan berita korupsi di televisi, melulu dari Partai Demokrat. Di benaknya pasti sudah muncul bayangan partai apa sebaiknya yang hendak dicoblosnya pada Pileg 2014.
SBY menyadari tidak adanya kader potensial yang bisa diandalkan untuk dimajukan pada Pemilihan Presiden 2014 mendatang. Untuk itulah diadakan “Capres Idol” Partai Demokrat. Tujuannya menjaring capres potensial untuk berkompetisi melawan capres dari partai-partai lain. Diharapkan dengan terpilihnya salah satu kandidat ini bisa mendongkrak elektabilitas Partai Demokrat pada Pileg 2014. Tetapi jika pendeklarasian capres terpilih ini dilakukan setelah Pileg 2014, tujuan semula untuk mendongkrak elektabilitas partai menjadi sia-sia. Sebab pelan-pelan partai ini sudah mulai ditinggalkan publik. Para pemilih yang dulu mencoblos partai ini dipastikan tidak akan memilih lagi karena sudah terlanjur kecewa dengan sepak terjang para kader partai. Maka satu-satunya jalan tinggal bergantung pada para peserta konvensi yang sudah menggelar debat kandidat di beberapa kota besar di Indonesia. Sanggupkah para peserta Konvensi “Capres Idol” ini menarik minat publik untuk menaikkan elektabilitas Partai Demokrat ?
Dari internal partai sendiri merasa pesimis bisa mengusung calon presiden sendiri pada Pilpres 2014 mendatang. Untuk itu Partai Demokrat tetap membuka peluang untuk berkoalisi dengan partai lain. Sebagaimana dikatakan oleh Ruhut Sitompul, “Untuk mencapai kuota 20 persen sangatlah sulit, maka kami akan memilih berkoalisi dengan partai lain untuk pemenangan Pilpres nanti.”
Sementara itu Partai Demokrat kian galau menyikapi hasil survey LSI (Lingkaran Survey Indonesia), dimana elektabilitas partai penguasa itu merosot tajam hingga 4,7 persen. Bisa saja Pemilu 2014 ini merupakan momentum berakhirnya rezim Demokrat setelah 10 tahun berkuasa. Roda memang selalu berputar ada kalanya di atas, ada kalanya di bawah. Demikian juga dengan nasib Demokrat kini.
Untuk itu DPP Partai Demokrat meminta Majelis Tingginya segera mengumumkan capres sebelum Pileg 9 April 2014. Usulan itu didasarkan pada hasil survey dari berbagai lembaga survey bahwa elektabilitas Partai Demokrat saat ini terus merosot. Dengan dideklarasikannya capres sebelum Pileg kemungkinan akan menarik minat publik untuk berbondong-bondong mencoblos partai berlambang mercy ini, setelah mengetahui siapa capres yang diusung oleh Demokrat.
Koordinator Timses Dahlan Iskan, Amal Alghozali menginginkan hal serupa. Hal ini didasarkan pada hasil survey berbagai lembaga dimana elektabilitas Dahlan Iskan unggul 20 persen dibanding peserta konvensi lainnya. Diharapkan dari Dahlan Iskan akan diperoleh suara tertinggi sehingga mampu mendongkrak elektabilitas Partai Demokrat hingga 15 persen. Meskipun harus berkoalisi setidak-tidaknya hasil konvensi yang sudah mengeluarkan dana milyaran tidak sia-sia. Pertanyaannya, Apakah SBY rela melepas kekuasaan tertinggi di tangan orang lain non kader ?
Langkah reformasi memang harus diambil oleh Partai Demokrat agar menjadikannya kembali dilirik oleh publik. Sebelum slogannya berubah “Katakan Tidak Pada Demokrat” pada Pileg 2014 mendatang.
Salam Sukses
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H