Mohon tunggu...
Herlianiz
Herlianiz Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Penggemar berat Dan Brown yang juga menyenangi Jostein Gaarder dan Linda Christanty serta terobsesi pada pahlawan super Iron Man.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Menyibak Selimut Malam (FFK)

18 Maret 2011   13:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:40 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1300453867920622704

Perempuan tua itu berhasil menegakkan kepalanya. Perlahan, malam kembali kepada bentuknya semula; bisu, dingin, dan menyembunyikan segala sesuatunya dalam kepekatan, kecuali kesedihan.

Perempuan tua itu membalikkan badan. Dia menatap aquarium persegi yang menempel pada dinding. Saat air di dalam kaca memantulkan cahaya lampu yang kabur, sebulir air matanya menetes. Dia tidak menyekanya. Matanya tajam menyorot sosok ikan louhan yang berenang sendirian. Sifatnya yang keras membuat ikan ini tak bisa hidup bersama, bahkan dengan jenisnya sendiri. Dia berpikir, sungguh beruntung ikan louhan piaraannya yang tak pernah memiliki anak.

Annisa, anak perempuan satu-satunya itu telah berdiri di pintu. Langkah kaki si anak bungsu itu telah mengambil keputusan. Namun toh dia tetap merasa perlu berbalik sekali lagi untuk menegaskan pilihannya.

"Aku akan meninggalkan rumah ini, seperti keinginan ibu. Tapi...," Annisa menatap punggung ibunya. " Aku tak akan pernah meninggalkan hati ibu."

Perempuan tua itu bergeming. Tubuhnya seolah terpaku ke bumi. Telinganya menangkap suara pintu ditutup penuh kelembutan. Dia menunggu deru mobil Annisa tak terdengar lagi saat memutuskan untuk menyerah pada keletihan. Saat dia menjatuhkan dirinya ke atas sofa, satu persatu rekaman pertengkarannya dengan Annisa berebutan meloncat kembali, keluar dari benaknya.

"Bila hatimu bersikeras ingin menikahi lelaki itu, kamu boleh meninggalkan ibu sendiri di rumah ini," katanya, " Sekarang juga."

"Bu, itu bukan pilihan." Kata Annisa bersimpuh di kaki ibunya, "tidak adil membandingkan cinta seorang anak kepada ibunya dengan cinta seorang gadis pada kekasihnya."

"Jangan ceramahi aku tentang cinta." Kata sang ibu, " lelaki itu, atau tinggalkan rumah ini."

Saat itu mereka sudah di puncak kelelahan. Mendadak muncul rasa lega yang ganjil, ketika dua anak beranak itu menyadari telah sampai di ujung pertengkaran. Namun sang ibu tak menyangka sama sekali, kalau anak perempuannya hanya butuh waktu beberapa menit untuk bangkit berdiri.

Annisa meraih tangan ibunya, mengecupnya lembut. Lalu sejenak, mata birunya menatap penuh kasih pada wajah tirus sang ibu. Sekilas, sang ibu mengenali sosok mantan suaminya pada wajah Annisa. Yah, Annisa mewarisi semua segi-segi terbaik dari wajah ayahnya. Perempuan itu tak pernah sanggup menatap wajah anak kesayangannya terlalu lama. Karena di saat yang sama wajah itu mengingatkan dia pada lelaki berambut pirang yang tega meninggalkan dia, dan memilih hidup bersama kawanan orang utan di rimba Kalimantan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun