Mohon tunggu...
anwar hadja
anwar hadja Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pendidik di Perguruan Tamansiswa Bandung National Certificated Education Teacher Ketua Forum Pamong Penegak Tertib Damai Tamansiswa Bandung Chief of Insitute For Social,Education and Economic Reform Bandung

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel: Kisah Cinta Dewi Ciptarasa - Raden Kamandaka(72)

10 Maret 2015   05:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:55 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14259189571526447967

SERI 72

Kanjeng Adipati hanya tersenyum mendengar sindiran Kanjeng Ayu Adipati.

”Soalnya bukan boleh atau tidak boleh. Memang kalau menurut tuntunan kitab suci, sepanjang Ananda Kamandaka dan Nduk Dewi sudah saling setia, apalagi sudah mendapat restu dari kedua orang tua gadis, sebagai keturunan para ksatria, diperkenankan melakukan ritual perkawinan secara mandiri,” kata Kanjeng Adipati menanggapi permintaan Sang Dewi. “Dan itu sudah sah sebagai sepasang suami istri. Tetapi tentu lebih utama apabila kesucian tetap dijaga sampai tibanya pengesahan ritual perkawinan yang disaksikan seorang brahmana yang memiliki tugas mengesahkan perkawinan. Tetapi masalahnya, dimana harga diri Kanjeng Ramamu? Ananda Kamandaka belum melakukan lamaran secara resmi pada Kanjeng Rama. Lain halnya kalau dia sudah melakukan lamaran resmi.”

“Percayalah kepada Dewi, Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu. Kanda Kamandaka pasti akan melakukan lamaran secara resmi pada saat yang dianggapnya tepat. Besok soal ini bisa dibicarakan. Termasuk sikap Dewi menerima lamaran dari Nusakambangan.Tujuannya selain agar Kanda Kamandaka menyadari kelalaiannya selama ini, sekaligus agar Kanda Kamandaka punya tanggung jawab menyelesaikan lamaran dari Nusakambangan yang disertai ancaman itu. Bukankah kalau lamaran dari Nusakambangan itu langsung ditolak, situasi akan berkembang menjadi gawat. Toh masih ada celah untuk membatalkan lamaran dari Nusakambangan.” kata Sang Dewi.

“Tujuan yang lainnya adalah Dewi ingin menguji Kanda Kamandaka agar kelak hanya menjadi seorang suami yang setia kepada Dewi seorang diri. Kanda Kamandaka harus menjadikan Dewi hanya sebagai satu-satunya istri sampai akhir hayat,” kata Sang Dewi melanjutkan. “Yaitu sampai saat salah satu di antara kami dijemput oleh maut. Tujuan yang berikutnya, Ananda Dewi memang ingin menghukum Kanda Kamandaka, karena telah berbohong kepada Dewi dan tidak jujur. Bukankah menurut ajaran Kanjeng Ibu, suami yang tidak jujur harus dihukum?”

“Pokoknya soal satu suami satu istri itu, Kanjeng Ibu setuju banget. Jangan seperti Kanjeng Ramamu, tidak tahan lihat wanita cantik. Sampai-sampai Kanjeng Ibu tidak hapal semua nama-nama mbakyu tirimu. Apalagi cucu-cucu tiriku. Tetapi ya sudahlah adat memang demikian. Tidak bisa Ibu bayangkan jika banyak istri dan banyak anak dilakukan oleh orang kebanyakan. Mereka ini untuk memenuhi kebutuhan satu istri saja susahnya bukan main. Tetapi jika Nduk Dewi dan Suamimu Raden Kamandaka kelak bisa menjadi suri tauladan, tentu akan banyak punggawa yang mengikutinya. Lama-kelamaan rakyat biasa juga akan mengikutinya. Lebih baik satu istri, tapi bahagia karena bisa mewujudkan rumah tangga yang salam bahagia dan sejahtera, ketimbang rumah tangga banyak istri dan banyak anak, tetapi tiap saat dibelit oleh seribu macam persoalan rumah tangga,” kata Kanjeng Ayu Adipati menanggapi permohonan Sang Dewi.

“Nah, kalau soal menghukum suami yang tidak jujur, asal proporsional dan jangan terlalu sering, boleh kok Nduk Dewi,” kata Kanjeng Ayu Adipati pula, tentu saja sambil menyindir Kanjeng Adipati.

Kanjeng Adipati hanya senyum-senyum saja mendengar sindiran istrinya. Soalnya bertengkar melawan istrinya, apalagi di depan putri kesayangannya yang selalu kompak dengan ibunya, tentu saja hanya membuang-buang tenaga saja. Sementara Kanjeng Adipati sendiri sudah rindu kepada belaian Kanjeng Ayu Adipati yang sesungguhnya memang pandai menggembirakan suami di atas ranjang peraduannya.

“Nduk Dewi masih ada tugas malam ini membuat balasan surat lamaran, bukan?,” kata Kanjeng Ayu melanjutkan. “Kanjeng Ibu pun sudah ngantuk. Kasihan Biyung Emban yang harus membereskan meja makan, mereka sudah dari tadi menunggu kita. Kanda Adipati,masih betah di meja makan? Diajeng tunggu di kamar tidur. Jika Kanda Adipati tidak segera menyusul pintu kamar akan ditutup dari dalam,” kata Kanjeng Ayu mengancam suaminya sambil bangkit dari tempat duduknya. Sebelum berpisah, Sang Dewi memeluk ibundanya dan ayahandanya. Mereka berdua, ibu dan anak itu kembali ke kamarnya masing-masing. Kanjeng Adipati bergegas bangkit meninggalkan meja makan cepat-cepat menyusul Kanjeng Ayu Adipati yang sudah mendahului menuju kamar peraduan.

Malam itu, Sang Dewi membuat surat balasan lamaran kepada Raja Nusakambangan ditemani Emban Khandeg Wilis dan si Lutung yang duduk manisdi atas kursi yang ada di dalam kamar Sang Dewi.

“Biyung Emban, Rekajaya sudah makan malam?”

“Sudah Ndara Putri”

“Sudah dibuatkan minuman dan disediakan makanan kecil teman minum? Wedang jae apa air nira?”

“Air nira katanya bosan, Ndara Putri. Jadi Biyung Emban buatkan wedang jahe dengan pemanis gula aren. Makanan kecilnyacimplung pepaya.”

“Sudah ngobrol apa saja dengan Rekajaya?” tanya Sang Dewi sambil menulis di atas meja menyelesaikan surat balasan yang besok pagi harus siap.

“Ya, bercakap-cakap apa saja kian kemari, Ndara Putri”

“Berapa anak Rekajaya?”

“He..he..he..masih bujangan Ndara Ayu.”

“Bujangan? Ada tiga puluh tahun usinya?”

“Sepertinya tiga puluh tahun lebih, tetapi belum empat puluh tahun. Bisa jadi sebaya dengan Biyung Emban.”

“O, ya? Dengan Jigjayuda?”

“Ah, Ndara Putri ini ada-ada saja,” jawab Emban Khandeg Wilis.

“Kakang Jigyayudha sudah punyaistri dan beberapa anak.”

“O, begitu ya?” kata Sang Dewi sambil tersenyum.

Malam pun semakin larut, surat balasan sudah selesai dibuat. Sang Dewi segera naik ke peraduan. Disusul Emban Khandeg Wilis yang tidur di atas tilam yang digelar di lantai dekat ranjang Sang Dewi. Si Lutung terkantuk-kantuk di kursi tamu yang dulu pernah diduduki Raden Kamandaka. Kandang untuk si Lutung memang belum siap.

***

Halimun pekat yang menyelimuti hutan dan padang ilalang pelan-pelan mulai menipis. Sinar matahari masih kesulitan menembus hutan yang lebat dengan pohon-pohon raksasa yang menjulang tinggi ke angkasa. Dua malamsudah Raden Kamandaka bertahan di dalam hutan. Demikian pula pasukan Kadipaten Pasirluhur yang tengah melakukan pengepungan.

Tumenggung Silihwarna tidak berani mengerahkan pasukannya memasuki hutan yang lebat itu, karena khawatir Raden Kamandaka memasang banyak perangkap dan jebakan. Lebih-lebih Tumenggung Maresi yang penakut itu. Begitu anjing pelacaknya lenyap setelah masuk ke dalam hutan, nyali Tumenggung Maresi langsung ciut.

Bagi Tumenggung Silihwarna, lebih baik bertempur satu lawan satu dengan Raden Kamandaka, dari pada mengerahkan pasukan untuk menangkap Raden Kamandaka. Karena berdasarkan pengalaman, tidak mudah menangkap Raden Kamandaka yang menguasai seni bela diri tingkat tinggi. Jika pengepungnya hanya memiliki ketrampilan pas-pasan, risko jatuhnya banyak korban di pihak prajurit pengepung akan sangat besar.

Satu-satunya cara untuk mengalahkan Raden Kamandaka adalah melanjutkan menantang duel satu-satu yang sempat tertunda dua hari yang lalu. Ketika itu malam telah turun menyelimuti bumi dan esok paginya Raden Kamandaka ternyata sudah melarikan diri.

Pagi itu Tumenggung Silihwarna berdiri di depan kemahnya sambil menatap hutan lebat tempat Raden Kamandaka bersembunyi. Dia masih penasaran siapa sebenarnya Raden Kamandaka itu?

“Dia menyamar sebagai Ki Sulap Pangebatan, pastilah untuk menutupi bahwa sebenarnya nama dia Kamandaka. Siapa Kamandaka? Kanda Banyakcatrakah dia? Hem, jurus harimau putih, jurus monyet putih? Jumlah jurus harimau putih, persis seperti yang diterima para siswa yang pernah berguru di Padepokan Sangkuriang asuhan Ki Ajar Wirangrong,” kata Tumenggung Silihwarna di dalam hati. “Berarti Kamandaka pernah belajar dari seorang guru didikan Padepokan Sangkuriang. Kanda Banyakcatrakah Kamandaka? Jurus monyet putih hampir saja membuat diriku tewas. Hem, itu berasal dari PadepokanCiungwanara asuhan para penerus pendekar Sampakwaja. Kanda Banyakcatrakah Kamandaka? Hanya ada satu jalan untuk menguji teka-teki Kamandaka yang mencurigakan, yaitu melanjutkan duel satu-satu dengan Kamandaka.”

“Ya, aku ingin kepastian, apakah Kamandaka juga menguasai jurus bangau putih dari Megamendung? Jika Kamandaka benar adalah Kanda Banyakcatra, untuk apa dia berpetualang begitu lama? Bukankah tujuan semula untuk mencari gadis idamannya? Aku sendiri belum pernah melihat seperti apa wajah Dyah Ayu Ciptarasa itu?Oh, ada satu lagi kunci rahasia Kamandaka. Jika dia punya senjata rahasia Kujang Kancana Shakti seperti yang aku miliki, tidak salah lagi, Kamandaka adalah Kanda Banyakcatra yang sedang menyamar. Oh, Kanda Banyakcatra polahmu membikin repot dan cemas Ayahanda Sri Baginda Prabu Siliwangi.”Demikian sejumlah pikiran yang berkecamuk di kepala Tumenggung Silihwarna, ketika pada pagi yang pekat itu dia berdiri di depan tendanya. Pandangan matanya yang tajam mengamati kemah-kemah prajurit yang sudah dua malam mengepung Raden Kamandaka.

Sementara itu, sesuai dengan rencana semula, Raden Kamandaka juga penasaran dengan identitas Tumenggung Silihwarna. Dia ingin melanjutkan duel berdua saja sebagai satu-satunya cara untuk mengetahui siapakah Tumenggung Silihwarna itu.

Raden Kamandaka segera berkemas-kemas keluar dari tempat perlindungannya. Dia bergerak ke arah barat yang memang tidak dijaga. Dengan mudah Raden Kamandaka melintasi padang ilalang yang masih diselimuti kabut yang pekat. Begitu pekatnya sehingga jarak pandang ke depan hanya beberapa meter.

Tentu saja para prajurit pengepung dan pemantau tidak bisa melihat ketika Raden Kamandaka diam-diam melintasi padang ilalang dan terus bergerak ke arah barat. Akhirnya dia tiba di tepi Sungai Banjaran. Raden Kamandaka cepat bergerak menyeberangi sungai dan kini sudah ada di seberang barat. Sementara itu kemah-kemah pengepung yang ada di sisi utara maupun selatan sudah bisa dilihat dengan jelas. Memang pelan-pelan cahaya matahari pagi mulai berhasil mengusir kabut putih yang tebal itu.

Pada kesempatan itulah, Raden Kamandak berteriak keras-keras memanggil Tumenggung Silihwarna untuk menyusulnya ke seberang sisi barat sungai Banjaran.

“Hai, Silihwarna! Aku Kamandaka sudah berada di sisi barat sungai. Jika engkau memang seorang ksatria sejati dan bukan pengecut, ayo kejarlah aku dan ayobertanding satu lawan satu!”

Tentu saja Tumenggung Silihwarna terkejut mendengar tantangan dari Raden Kamandaka yang tahu-tahu sudah berhasil meloloskan diri dari kepungan itu.

“Kakang Maresi! Aku akan kejar Kamandaka ke seberang sungai! Pimpinan prajurit yang ada di padang ilalang seluruhnya aku serahkan kepada Kakang Maresi. Susul aku, hanya jika aku lama tidak kembali. Aku tidak ingin kehilangan jejak sehingga Kamandaka bisa menghilang dari kejaranku,” kata Tumenggung Silihwarna menyampaikan pesan kepada Tumenggung Maresi.(bersambung)


Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun