Pernyataan Prabowo dalam Debat Capres ke-2(15/6), bahwa kekayaan negara telah bocor mencapai angka Rp 1000 trilyun, mengundang tanda tanya dan menimbulkan polemik di ruang publik. Sampai-sampai Presiden SBYmerasa kurang nyaman dan agak terganggu dengan pernyataan itu. Menurut SBY pernyataan Prabowo itu tidak benar dan berlebihan. Benarkah?
Mereka yang pernah belajar ekonomi tentu masih ingat definisi ilmu ekonomi menurut ekonom yang kaya dengan gagasan bagi terbentuknya negara kesejahteraan atau welfare state, peraih Nobel di bidang ekonomi, Paul A.Samuelson, sbb:” Ilmu Ekonomi adalah alokasi sumberdaya ekonomiyang dilakukan secara efektif dan efisian melalui proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian,untuk menghasilkan barang dan jasa serta mendistribusikannya barang dan jasa itukepada pelbagai kelompok di dalam masyarakat”
Alokasi sumber daya ekonomi yang tidak efisien itulah sebenarnya yang dimaksudkan oleh Prabowo dengan kebocoran kekayaan negara, sebagaimana dikatakanya dalam debat tsb:” APBN itu tidak jatuh dari langit, APBN itu dari kekayaan negara dan kekayaan negara kita sekarang bocor, Pak Joko Widodo. Itu esensinya. Itu yang saya perjuangkan kepada seluruh elit Indonesia. Kekayaan kita bocor. Ketua KPK , 7 September 2013, mengatakan bocornya Rp7000 trilyun, tepatnya Rp7.200 trilyun. Itu angka beliau. Angka saya Rp.1.134 trilyun bocornya. Jadi kalau bapak tanya kenapa defisit perdagangan kenapa defisit APBN itu intinya. Harus ada pemerintah yang berani untuk menutup kebocoran itu, baru kita tidak defisit. Bahkan kita bisa surplus, kita nanti bisa menjadi negara macan Asia kembali.”(Kompas,18/6).
Dari teks kalimat yang diucapkan Prabowo itu, sudah jelas dan terang, Prabowo tidak sedang bicara kebocoran dalam penggunaan Anggaran, walapun itu dapat dipastikan terjadi. Tetapi Prabowo sedang bicara kebocoran pengelolaan kekayaan sumber daya alam yang tidak efisien, seperti kekayaan alam kita yang banyak dicuri negara asing baik melalui illegal loging-illegal fishing, maupun adanya lahan-lahan pertanian yang nganggur, dan adanya sumber-sumber kekayaan alam lainnya yang belum dikelola dengan baik. Padahal bila semua kekayaan alam itu dikelola secara profesioanl dan secara bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, tentulah akan bisa menambah sisi pendapatan dari APBN.
Memang ada perbedaan konsep kerugiaan dari sudut Akuntasi dan sudut Ekonomi. Akuntasi menggunakan prinsip historical cost dari sumber daya yang real yang bisa digunakan untuk transaksi pembiayaan. Sedangkan dari sudut ekonomi, kerugian dihitung berdasarkan opportunity cost atau biaya kesempatan.
Dalam Akuntansi digunakan prinsip Historical Cost sebagai dasar untuk mencatat terjadinya pengakuan atas pendapatan dan biaya pada satu periode Akuntansi. Loss akan terjadi bila pada suatu periode biaya lebih besar dari pendapatan. Bila yang terjadi sebaliknya,akan diperoleh profit.
Ada banyak cara curang dan nakal untuk mengakali APBNyang bisa dilacak oleh sistem Akuntansi. Misalnya mark up, proyek fiktif, kuitansi palsu, menggunakan dana nganggur dan lain sebagainya. Kerugian dalam APBN semacam ini yang sering oleh awam disebut sebagai kebocoran anggaran.
Pada waktu BPK melakukan audit penggunaan APBN, juga digunakan prinsip Akuntasi yang berdasarkan konsep historical cost yang dibuktikan dengan adanya bukti-bukti transaksi atau evidence yang valid, sah dan dapat dipertanggung jawabkan. Kerugian APBN secara akuntansi hasil audit BPK itulah yang dapat dilaporkan kepada KPK, untuk diusut, karena mengandung unsur pidana korupsi. Hasil temuan audit akuntasi terhadap kebocoran APBN itu, tidak akan menambah penerimaan APBN. Sebab fungsi audit akuntansi secara gampang tujuannya ialah menemukan anggaran negara yang dicuri oleh birokrat yang nakal.
Berbeda dengan kebocoran dalam mengelola kekayaan negarayang diakibatkan inefisiensi dalam pengelolaan sumber daya ekonomi. Semakin efisien dalam mengeloala sumber daya alam, semakin kecil opportunity cost yang hilang, maka revenu negara akan semakin meningkat dan ini berarti akan memperkuat sisi penerimaan APBN.
Hatta Raja memberi contoh yang baik tentang opportunity cost yang timbul akibat kelemahan dalam negosiasi penjualan kontrak hasil tambang. Nilai pasar produk tadi katakanlah per unit$ 5. Tetapi kita hanya menjualnya perunit $ 3. Dengan demikian telah terjadi kerugian secara ekonomi sebesar$ 2 per unit. Negara telah kehilangan opportunity cost sebesar $ 2/unit. Bayangkan kalau unit yang dijual dalam satu tahun I trilyun unit. Kerugian negara akan mencapai $ 2 trilyun. Dapatkah orang-orang yang melakukan negosiasi itu dipidanakan?. Kerugian secara ekonomi itu susah dibuktikan. Paling-paling kalau birokrat yang melakukan nego tadi tiba-tiba terima hadiah dari pembeli. Baru birokrat tadi bisa dipidanakan.
Kerugian ekonomi akibat lemahnya pengelolaan kekayaan alam itulah yang akan diperjuangkan oleh Prabowo sebagaimana dengan jelas dinyatakannya dalam debat itu. Menutup defisit APBN dan menutup defisit neraca berjalan, dengan meningkatkan produktivitas dan meningkatkan efisiensi pengelolaan kekayaan alam, agar nilai export > nilai import dan Penerimaan APBN > Belanja APBN. Itulah program Prabowo-Hatta, bila terpilih jadi RI-1.
Sebenarnya fakta memang menunjukkan bahwa banyak sekali inefisiensi telah terjadi dalam mengelola kekayaan alam kita. Misalnya lahan-lahan yang dibiarkan menganggur. Itu jelas merupakan kerugian secara ekonomi. Tetapi bukan kerugian secara akuntansi. Demikian pula penjualan sumur-sumur minyak kepada asing, dengan alasan sumur sudah tua. Padahal setelah ditangani asing, minyaknya menyembur lagi. Dan masih banyak lagi.
Pada masa Orde Baru dulu, dalam Konggres ISEI di Surabaya, November 1993, Prof. Dr.Sumitro menjelaskan bahwa pada saat itu kebocoran anggaran pembangunan berdasarkan opportunity cost atau ICOR sudah mencapai angka mencemaskan yakni sebesar 30 %.
Pak Harto saat itu diam saja, tidak protes. Karena tahu yang dimaksud dengan kebocoran 30 % Anggaran Pembangunan memang terjadi di lapangan. Misalnya jembatan ambruk padahal baru diresmikan. Demikian pula bangunan SD Inpres runtuh dan banyak proyek-proyek pembangunan lain yang dikerjakan dibawah standar. Padahal bila pembangunan dilaksanakan secara efisien, bangunan-bangunan itu bisa dinikmati publik untuk jangka waktu yang lama.
Katakanlah sekarang Orde Reformasi, besarnya kebocoran dalam pengelolaan kekayaan alam bisa ditekan sampai 20 % dari PDB. PDB kita pada tahun 2014 sekitar Rp8000 trilyun. Berarti kerugian ekonomi akibat inefisiensi ialah sebesar Rp1.600 trilyun. Pak Prabowo dalam debat Capres tersebut menyebut angka Rp.1000 trilyun. Bukankah angka ini cukup moderat dan realistis?.
Sebenarnya dari sudut ekonomi pembangunan memang angka tersebut bukanya berlebihan dan tidak masuk akal. Angka itu cukup moderat dan realistis. Sebab andaikata bangsa Indonesia mau bekerja dengan giat, tekun, jujur dan memiliki integritas yang tinggi, bukan mustahil memang angka Rp1000 trilyun itu bisa menambah angka-angka penerimaan APBN kita, sehingga target penerimaan APBN bukan hanya tercapai. Tetapi bisa dilampauai, APBN surplus, kita bisa punya banyak devisa. Tentu ujung-ujungnya adalah terwujudnya kesejahteraan bersama yang melimpah bagi seluruh rakyat Indonesia.
Bagi orang yang awam ekonomi pembangunan, memang akan bingung dan menilai pernyataan Prabowo itu tidak benar. Karena mereka mengira angka Rp1000 trilyun itu adalah angka kerugian secara akuntansi dalam APBN kita. Tentu saja orang seperti Jokowi akan langsung berkomentar, total APBN hanya Rp 1.500 trilyun, masak kebocorannya Rp1000 trilyun?. “Jika itu terjadi pastlah ekonomi Indonesia sudah bangkrut,” bisa jadi demikian pikiran yang ada dalam benaknya.
Tentu pernyataan Pak Jokowi dan Johan Budi, jubir KPK, dapat dimengerti. Karena Jokowi memang tidak paham masalah-masalah terminologi dalam ekonomi makro dan ekonomi pembangunan. Demikian pula Johan Budi. Jokowi alumni Fakultas Kehutanan, Johan Budi dari Fakultas Sospol.
Yang agak mengherankan tentu saja komentar SBY dan Jusuf Kalla. SBY pernah belajar Ekonomi Pembangunan di IPB dan meraih gelar Doktor dari sana. Jusuf Kalla juga alumni jurusan Ekonomi Perusahaan Fakultas Ekonomi Universitas Hasanudin,Tetapi sungguh mengherankan bila keduanya menganggap pernyataan Prabowo itutidak benar dan berlebihan.
Bisa jadi keduanya lupa statemen Prof.Dr. Sumitro, Sang Begawan Ekonomi pada tahun 1993 yang mengejutkan publik saat itu.Pak Harto tidak terkejut dengan pernyataan keras dari besannya itu Paling-paling Pak Harto hanya menggerutu, kenapa statemen seperti itu disampaikan kepada publik?. Pak Harto tidak marah, karena tahu,memang faktanya demikian.
Sejarah ekonomi Indonesia mencatat, Pak Harto gagal menangkap peringatan dini Prof.Sumitro. Maka hanya dalam waktu empat tahun sejak keluarnya pernyataan Prof.Sumitro itu, ekonomi Indonesia langsung gonjang-ganjing dihantam badai krisis moneter 1997. Tak lama kemudian Rejim Orde Baru pun jatuh. Wallahu Alam (An.hadja-19/6/2014).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H