Mohon tunggu...
anwar hadja
anwar hadja Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pendidik di Perguruan Tamansiswa Bandung National Certificated Education Teacher Ketua Forum Pamong Penegak Tertib Damai Tamansiswa Bandung Chief of Insitute For Social,Education and Economic Reform Bandung

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Manusia Prasejarah di Tepi Danau Bandung

2 Oktober 2018   00:30 Diperbarui: 3 Oktober 2018   08:48 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

"Bisa dibayangkan di awang-awang, Kota Bandung pada 6 ribu tahun yang lalu. Hilir mudik lalu lalang rakit dan sampan Manusia Prasejarah yang bermukim di tepian Danau Bandung," tulis Haryoto Kunto dalam Wajah Bandung Tempo Doeloe. (Haryoto Kunto, hal 143 )

Imajinasi di atas bukan fiktif, tapi sesuai fakta sejarah geologi dan analisa anthropologi. Dari analisa geografi dan anthropolgi, cukup alasan untuk menyatakan bahwa sebelum terjadi letusan Gunung Tangkubanperahu yang pertama di Dataran Tinggi Bandung yang subur itu, sudah ada penghuninya, yakni Manusia Prasejarah Homo Sapiens yang leluhurnya berasal dari Lembah Sungai Kuning-Yang Tse dan Lembah Sungai Brantas. Hasil perkawinan silang di antara mereka, telah melahirkan Manusia Prasejarah Homo Sapiens Proto Austronesia.

Mereka sudah terbiasa hidup dalam kelompok-kelompok kecil. Pada mulanya mereka tinggal di daerah muara sungai sambil menangkap ikan, berburu rusa di hutan, dan meramu akar tumbuh-tumbuhan.

 Tempat tinggal mereka berupa perkampungan yang terdiri dari sederetan rumah-rumah kecil yang terbuat dari bahan-bahan yang ringan. Ditinjau dari sudut jaman sekarang, rumah mereka sebenarnya hanyalah semacam kemah tadah angin saja, yang didirikan menempel pada dinding karang yang melengkung atau pada dinding dalam gua-gua yang besar.

Kemah tadah angin tadi sebenarnya hanya berfungsi sebagai tempat tidur atau berlindung saja. Untuk memasak, bercanda, ngobrol, mengasuh anak, dan bermain-main anak-anak mereka, digunakan halaman terbuka di depan gua dan kemah tadah angin yang didirikan tidak jauh dari mulut gua. 

Perkampungan bersama di depan gua atau batu karang yang melengkung dengan kemah tadah anging itu, dikenal oleh para ahli prasejarah sebagai perkampungan abris sous roches.  Ada juga di antara perkampungan itu yang memiliki tempat pembuangan sampah  dapur yang sebagian besar berupa kulit kerang yang disebut oleh ahli prasejarah sebagai kjokkenmoddinger. 

Rupanya Manusia Prasejarah sudah tahu cara menjaga kebersihan, sehingga disiapkan tempat pembuangan sampah bersama. Kjokkenmoddinger hakekatnya adalah tempat pembuangan sampah bersama Manusia Prasejarah. Juga sebelum kita mengenal seafoods, mereka sudah lebih dulu menjadikannya kerang-kerangan sebagai bagian dari menu harian mereka.

Manusia Prasejarah berburu burung, kelinci, rusa, kijang di hutan dan ikan di sungai dengan menggunkan tombak dan panah dengan mata panah dari batu yang ditajamkan yang disebut toala. 

Alat untuk menebang pohon, bambu, rotan, dan memotong,  digunakan kapak batu yang ditajamkan salah satu ujungnya dengan diasah, dan diikatkan pada tangkai kayu dengan menggunakan tali rotan. Ada dua jenis kapak batu, yang berebentuk lonjong, disebut Walzenbeil. Dan kapak batu yang berbentuk persegi dengan salah satu ujungnya diruncingkan disebut Vierkanbeil.

Untuk alat serpih, disamping digunakan batu yang ditajamkan, juga digunakan tulang dan tanduk rusa. Alat serpih penting untuk menguliti binatang buruan dan mengambil kulit binatang guna dibuat baju penutup aorat dan juga untuk membuat tenda angin. 

Rupanya ketrampilan menyamak kulit binatang, merupakan ketrampilan yang sudah sangat tua yang kita warisi dari Manusia Prasejarah. Kulit binatang buruan sangat diperlukan manusia Prasejarah untuk mengusir dingin, untuk alas kaki, dan penutup aurat. Karena jika kulit kering, tidak lentur, susah diolah, dan berbau busuk jika basah. 

Maka kulit harus diolah lebih lanjut agar menjadi lentur dan dapat dimanfaatkan melalui proses penyamakan kulit.  Dengan disamak, kulit menjadi barang yang berguna bagi  manusia, lebih-lebih bagi Manusia Prasejarah yang tinggal di Dataran Tinggi Bandung yang dingin.

Perlakuan terhadap kulit binatang hasil buruan untuk disamak ialah dengan menggunakan asap, lemak binatang, dan bahan-bahan dari kulit tumbuh-tumbuhan hutan yang menghasikan senyawa kimia yang disebut tanin. 

Tanin diperoleh dengan merendam bagian dari tanaman seperti gambir, katechu, dan tumbuhan hutan lainnya yang banyak tumbuh di sekitar Sungai Citarum maupun anak-anak sungainya. 

Jika sekarang di Bandung banyak industri kecil berbahan kulit seperti sentra sepatu Cibaduyut, jaket kulit Ciampelas, dompet dan tas kulit di daerah Cicadas, bisa jadi mereka meneruskan ketrampilan Manusia Prasejarah Dataran Tinggi Bandung yang sudah memiliki ketrampilan menyamak kulit binatang untuk membuat alas kaki dan pakaian dengan bahan kulit binatang. Demikianlah, keberadaan komunitas Manusia Prasejarah yang tinggal di Dataran Tinggi Bandung, sebelum Danau Bandung terbentuk.

Dalam legenda Sangkuriang-Dayang Sumbi juga disebutkan, bahwa sebelum Danau Bandung terbentuk  sudah ada penduduknya. Bukan hanya Danyang Sumbi,  dan Sangkuriang saja, yang merupakan Manusia Prasejarah penghuni awal Dataran Tinggi Bandung. Tetapi juga kepala suku dengan anak buahnya yang cukup banyak. 

Mereka hidup dari berburu dan berladang. Mereka juga sudah mampu membuat rumah panggung yang dalam bahasa Sunda disebut ranggon. Kepala suku itulah yang dalam imajinasi penggubah legenda Sangkuriang- Dayang Sumbi, dinobatkan jadi seorang raja, Sungging Prabangkara.

Ketika terjadi bencana hebat letusan Gunung Tangkubanperahu, pastilah timbul banyak kurban. Tetapi ada juga sebagian kecil penghuni Dataran Tinggi Bandung yang berhasil menyelamatkan diri. Salah satu penghuni yang berhasil menyelamatkan diri dari Sungai Citarum yang meluap adalah Danyang Sumbi dan Sangkuriang. Tapi akhirnya keduanya juga tewas. Bukan oleh Sungai Citarum yang lagi meluap. Tapi tertimbun material vulkanik yang dimuntahkan Gunung Tangkubanperahu.

Jadi, pada masa Prasejarah, Sungai Citarum pernah banjir juga.  Bukan karena hujan lebat. Tapi disebabkan letusan Gunung Tangkubanperahu pada 6 ribu SM. 

Letusan itu begitu hebatnya, sehingga muntahan erupsi  material vukanik sebagian jatuh di utara Bandung, sebagian besar lagi jatuh di daerah Padalarang. Entah berapa ton material vulkanik yang dimuntahkan, sehingga yang jatuh di Padalarang mampu menyumbat aliran Sungai Citarum. Akibatnya pelan-pelan Sungai Citarum meluap dan terus meluap, sampai akhirnya menjelma menjadi Danau Bandung yang tidak pernah surut selama 3 ribu tahun.

Danau Bandung berada pada ketinggian 700 mdpl,  dengan kedalaman 30 meter. Jadi, kedalaman Danau Bandung seperlimapuluhnya Danau Toba yang dalamnya mencapi 1600 meter. Tetapi kedalaman Danau Bandung hanya terpaut 16 m dari Laut Jawa yang dalamnya 46 meter. Sekalipun begitu, ke dalaman Danau Bandung menurut ahli geologi dari Musium Geologi Bandung, sebagaimana dikutip Haryoto Kunto, mampu dilayari kapal dengan bobot 50 ribu ton. Berapa luas Danau Bandung? Kurang lebih 1500 km persegi. 

Batas timur danau di Cicalengka, dan batas barat di Padalarang. Batas utara Bukit Dago, dan batas selatan di Soreang. Jadi, pada jaman sekarang, bekas Danau Bandung itu mencakup suatu wilayah calon megapolitan, Bandung Raya. Mencakup empat admministrasi birokrasi, yakni Kota Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Sumedang.

Seiring dengan perjalanan waktu, di tepi danau muncul komunitas penduduk yang leluhurnya berhasil menyelamatkan diri dari bencana besar letusan Gunung Tangkubanperahu. 

Mereka adalah Manusia Prasejarah generasi penerus yang mampu beradaptasi dengan lingkungan baru, yaitu dari lingkungan Sungai Citarum dan anak-anak sungainya yang telah lenyap, menjadi lingkungan Danau Bandung. 

Kebudayaan lingkungan sungai tidak banyak berbeda dengan kebudayaan lingkungan danau. Mereka tetap membangun pemukiman di depan gua, atau batu karang yang melengkung. Atau bisa jadi mereka mulai memikirkan untuk membangun rumah panggung yang oleh orang Sunda disebut ranggon.

Disamping untuk mencegah jadi mangsa binatang buas pada malam hari, juga untuk menyelamatkan diri bila air danau sewaktu-waktu meluap. Ketrampilan lain yang dikembangkan mereka adalah membuat alat transportasi danau, selain perahu lesung bercadik untuk menangkap ikan. Antara lain rakit dan perahu bercadik. Rakit dan perahu untuk alat transportasi danau rupanya diperlukan karena komunitas pemukiman Manusia Prasejarah sekitar Danau Bandung sudah tersebar di bagian utara, selatan, timur, dan barat. 

Kebudayaan Neolthicum Manusia Prasejarah di sekitar Danau Bandung, lenyap setelah berjalan 3 ribu tahun akibat terjadi letusan Gunung Tangkubanperahu yang kedua kalinya.  Letusan kali ini mampu menjebol sumbat di dasar Danau Bandung, yang membuat air danau pada ketinggian 700 meter dari permukaan laut itu surut seketika. Yang tersisa kemudian, muncul kembali Sungai Citarum dan anak-anak sungainya yang sempat terkubur di dasar  danau selama 3 ribu tahun. 

Munculnya kembali Sungai Citarum, baik di hulu, tengah, dan hilir, bersamaan pula dengan mulai munculnya peradaban besar di pusat-pusat peradaban dunia, yakni peradaban di Lembah Sungai Nil Mesir, Lembah Sungai Tigris-Eufrat Mesopatamia, Lembah Sungai Indus India, dan Lembah Sungai Kuning-Yang Tse di Tiongkok.

 Di pusat peradaban dunia saat itu sudah muncul peradaban baru, yakni peradaban budaya bercocok tanam dan ditemukanna alat-alat dari bahan besi. Budaya berburu telah ditinggalkan, digantikan dengan budaya bercook tanam dan membangun pemukiman  permanen. Maka mulalah muncul desa dan kota dengan birokrasinya.

 Zaman batu Neolithicum di pusat peradaban dunia itu telah berakhir, digantikan zaman Perunggu. Tetapi di Lembah Sungai Citarum, penduduk masih harus bersabar menunggu sampai datangnya migrasi Manusia Prasejarah baru dari Lembah Sungai Menam dan Mekong di Vientam yang membawa peradaban perunggu. 

Ahli-ahli anthropologi menyebut mereka sebagai suku Austronesia Muda atau Melayu Muda. Tetapi ahli Prasejarah Belanda, van der Meulen, menyebut   gelombang migrasi dari utara itu sebagai migrasi bangsa Galuh yang mendarat di Pulau Jawa dengan membawa kebudayaan Zaman Perunggu untuk  menggantikan kebudayaan lama Zaman Neolthicum.[02-10-2018]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun