Mohon tunggu...
anwar hadja
anwar hadja Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pendidik di Perguruan Tamansiswa Bandung National Certificated Education Teacher Ketua Forum Pamong Penegak Tertib Damai Tamansiswa Bandung Chief of Insitute For Social,Education and Economic Reform Bandung

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jaka Kahiman Sowan Raja Pajang dalam Naskah Kalibening (07)

6 Januari 2016   07:02 Diperbarui: 27 Januari 2016   07:17 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seri Tinjauan Kritis Buku Hari Jadi Banyumas 22 Pebruari 1571(07)

Hal 42-43 teks Naskah Kalibening berbunyi sbb :

“…penget gen kula nyanggi suguh tuwan. Tuwan rencangipun, awit bulan(?) denyangi…Pajang sebert(y)angga 3 di(n)ten ta ingkang rama 27 wulan Puasa di(n)ten Rebo sonten. Pajang mingak-minguk ling wong ngarunge sapucung. Wataking nagara, manungsa kabektan name. Raning sala(?) pratela yen me-“(halaman 42)

“peget gen kula imah-imah ing wulan Rejep tanggal kaping 15….”(halaman 43).

Dengan menggunakan analisa filologi, teks hal 42 dan 43 dapat diinterpretasikan, ditafsirkan dan dibayangkan sebagai satu kesatuan kisah dengan teks yang mendahuluinya, yakni teks hal 41. Jika teks hal 41 menceriterakan persiapan perkawinanan Jaka Kahiman yang baru saja mendapat anugerah Tuhan berupa keris pusaka Kyai Gajah Hendra, maka hal 43 menceriterkan hari pernikahan Bagus Mangun Jaka Kahiman dengan Rr.Sukartimah yang berlangsung pada bulan Rejeb tanggal 15.

Sedangkah hal 42 mengisahkan perjalanan Sang Pengantin, Jaka Kahiman yang dalam teks itu disebut tuwan oleh penceritera yang menyebut dirinya dengan tokoh”kula”. Pada hal 42 itu diceriterakan bahwa tokoh “kula” sudah menyanggupi kepada Sang Pengantin, jika harus menemani pergi ke Pajang. Bahkan janjinya sudah lama, tetapi tokoh “ kula”, lupa kapan bulannya. Siapakah tokoh “kula” halaman 42 dan 43?

Rupanya dia adalah salah satu abdi kesayangan Sang Pengantin. Bisa jadi dia adalah salah satu anak buah kepercayaan Ki Mranggi Kejawar, sehingga dia menyebut kata “rama” yang tidak lain adalah Kyai Mranggi Semu yang rupanya ikut mengantarkan Sang Pengantin ke Pajang. Kyai Mranggi Semu rupanya ditugaskan Adipati Wirasaba VI mengantarkan anak angkatnya Bagus Mangun Jaka Kahiman mewakili besannya sekaligus mertua Sang Pengantin. Tokoh “kula” menceriterakan bahwa perjalanan ke Pajang perlu waktu 3 hari, pada Hari Rabu sore, tanggal 27 bulan Puasa mereka tiba di Pajang. Tokoh kula rupanya baru menginjakkan kakinya di Pajang, sehingga dia kagum, bingung dan terpesona dengan kemegahan Kraton Pajang yang tengah besiap-siap menyambut Garabeg Syawal yang akan berlangsung hanya tinggal menunggu 4 malam lagi.

Tokoh “kula” dengan jelas meceriterakan dalam teks hal 42 tersebut, kekaguman, kebingungan dan keheranan suasana Kraton Pajang yang baru dilihatnya dengan ungkapan khas orang kagum, ” mingak-minguk ling wong ngrunge sapucung”. Kata pucung itu lambang kebingungan bagaikan orang menebak teka-teki silang alias cangkriman.

Karena tanggal 27 Puasa jatuh pada hari Rabu sore, maka malam-malam yang harus dilewatinya adalah malem Kamis(28), malem Jum’at(29), malem Sabtu(30). Dengan demikian malam takbiran akan jatuh pada malem Ahad dan 1 Syawal akan jatuh pada Hari Ahad. Perlu diketahui, lama Puasa pada Jaman Pajang-Mataram selalu diistikmalkan jadi 30 hari. Dan pergantian hari kalender hijriyah terjadi mendekati Magrib. Orang Jawa membedakan pergantian waktu dengan menyebut “Rebo sonten” sebelum bergantian tanggal dan “malem Kamis” untuk tanggal yang baru. Jelas dari teks tersebut Rabu sonten adalah masih hari Rabu, masih tanggal 27 Puasa, belum masuk hari Kamis tanggal 28 Puasa.

Namun bisa jadi tokoh kula lupa sehingga dia mencampuradukan antara waktu Rebo sonten yang masih tanggal 26 Puasa dengan malem Kamis yang sudah masuk tanggal 27 Puasa. Rabu sonten diingat sebagai hari waktu rombongan Jaka Kahiman tiba di Pajang, tetapi tanggalnya lupa. Sedangkan tanggl 27 Puasa diingat oleh tokoh kula, tetapi harinya lupa. Tanggal 27 Puasa dapat dipastikan mudah diingat karena malam itu adalah malam ganjil bulan Puasa yang dipercaya sebagai salah satu dari malam-malam ganjil lailatul qodar di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.

Suasana malem Kamis atau Rabu malam, Masjid Pajang dapat dipastikan ramai bukan hanya oleh jamaah yang shalat taraweh di Masjid. Tetapi bisa juga Raja Pajang berkenan hadir sekalipun hanya menengok setelah shalat taraweh selesai. Dan makanan jaburan dapat dipastikan pada malem Kamis tanggal 27 Ramadhan itu sangat melimpah ruah, karena Kerajaan Pajang pasti akan menyediakannya sebagai bagian dari ibadah meramaiakan malam-malam ganjil tanggl 27 Ramadhan yang memiliki kedudukan istimewa dalam Mashab Syafii yang dianut Kerajaan Demak-Pajang. Menurut Imam Syafii, malam laitul qodar terjadi pada malam ganjil tanggal 27 Ramadhan.

Demikianlah tokoh kula mengingat tanggal 27 Ramadhan, tetapi lupa harinya. Sedangkan kedatangannya saat tiba di Pajang, Rabu Sonten diingat, tetapi tanggalnya lupa. Jadilah muncul kalimat 27 wulan Puasa dinten Rebo Sonten.

Ternyata jika setelah dilakukan koreksi tanggal 26 Puasa jatuh pada hari Rabu Sonten. Maka malam-malam yang harus dilewati tokoh kula dan rombongan Jaka Kahiman adalah malem Kamis (27), malem Jum’at (28), malem Sabtu (29) dan malem Minggu (30). Dengan demikian puasa terakhir pada hari Minggu dan malem takbiran akan jatuh pada malem Senin dan 1 Syawal akan jatuh pada Hari Senin.

Karena waktu itu bulan Puasa, mustahil sesuai tradisi Kraton Pajang, rombongan Jaka Kahiman itu akan bisa diterima Raja Pajang pada malem Kamis. Paling banter rombongan dari Wirasaba itu hanya bisa ikut menikmati hidangan berbuka puasa di Masjid Kraton Pajang. Tradisi kraton Islam Jawa setelah Demak, tidak sama dengan tradisi kraton Islam Sunda dan Melayu, seperti Cirebon, Banten, Samudra Pasai, Malaka dan Aceh. Raja Kraton Islam Jawa seperti Pajang dan Mataram, jarang melakukan buka puasa dan shalat taraweh di masjid. Bahkan tradisi iktikaf belum mereka kenal. Hanya hari-hari besar istimewa seperti Garebeg Mulud, Syawal dan Besar-Dzul Hijjah raja-raja Pajang dan Mataram tampil di Masjid.

Karena itu pertemuan Jaka Kahiman dengan Raja Pajang, mustahil terjadi pada Rabu sore atau pun malem Kamis. Sebab hal ini bertentangan dengan adat dan tradisi. Secara filologi, juga tidak mungkin. Satu-satunya kesempatan rombongan Jaka Kahiman menghadap Sultan Pajang ialah melalui cara “seba” dan “sowan “ yang sesuai tradisi. Seba diadakan tiap hari Senin dan Kamis. Dari kata seba, muncul kata Paseban, yakni ruangan Sang Raja menerima kehadiran para punggawa dan juga para tamu penguasa bawahan maupun tamu dari kerajaan sahabat. Acara seba, dilaksanakan setiap hari Senin dan Kamis. Tradisi seba setiap Senin dan Kamis ini jelas berawal dari jaman Demak dan meneladani tradisi Islam yang menganggap hari Senin dan Kamis adalah hari baik. Nabi saw pun menyambut kedua hari itu dengan puasa atau shaum.

Dengan demikian ada 2 alternatif tanggal Jaka Kahiman seba menghadap Raja Pajang. Alternatif pertama yaitu rombongan Jaka Kahiman diterima seba pada Hari Kamis tanggal 28 Puasa, jika tokoh kula tidak lupa bahwa dia tiba di Pajang para tanggal 27 Puasa Rabu sonten. Berarti malam Kamisnya tanggal 28 Puasa yang agak sepi suasana di Masjid Pajang, karena bukan malam-malam ganjil.

Alternatif kedua ialah Jaka Kahiman dan rombongan diterima seba Hari Kamis tanggal 27 Puasa. Dan malem Kamisnya adalah malam tanggal 27 Ramadhan yang merupakan malam ganjil akhir bulan Ramadhan yang dapat dipastikan lebih meriah. Hari Kamis tanggal 27 Ramadhan pun dianggap hari yang sangat baik untuk sowan menghadap Sang Raja.

Besar kemungkinan alternatif ke dua, lebih mendekati fakta sejarah, yaitu rombongan Jaka Kahiman, tiba di Pajang Rabu sonten tanggal 26 Puasa. Esok harinya hari Kamis 27 Puasa rombongan Jaka Kahiman seba menghadap Raja Pajang.

Acara tradisi lain di Kraton Pajang yang kelak diteruskan Mataram adalah acara Setuan atau Seton. Seton adalah acara yang menarik sebagai hiburan rakyat dan para tamu yang diselenggarakan setiap hari Sabtu. Dalam acara Seton, para tamu diajak untuk menyaksikan adu ketrampilan para prajurit dan para punggawa dalam ketrampilan menunggang kuda dengan menggunakan senjata yakni tombak yang dihilangkan mata tombaknya.

Biasanya acara Seton dihadiri para tamu yang selesai seba menghadap Raja Pajang pada hari Kamis. Sebelum pulang ke daerahnya masing-masing mereka bertahan dua malam lagi untuk bisa menyaksikan acara hiburan seton yang kadang-kadang disebut sodoran. Karena Jaka Kahiman dan rombongan datang pada bulan Puasa, mereka tidak mungkin bisa menyaksikan pesta Seton yang menghibur itu. Tetapi karena 1 Syawal jatuh pada hari Ahad atau Senin, rombongan Jaka Kahiman dapat dipastikan menghadiri Pasowanan Agung Garebeg Syawal, bersama-sama dengan tamu-tamu yang lain.

Hal ini bisa dilihat pada catatan tokoh kula pada halaman 42 Naskah Kalibening itu yang berbunyi sbb: ”Wataking nagara, manungsa kabektan name….”

Kalimat tersebut menunjukkan tokoh kula sebagai anggota rombongan Bagus Mangun Jaka Kahiman yang kemungkinan besar berpangkat Carik Kadipaten Wirasaba, ikut hadir dalam pasowanan Garebeg Syawal yang pasti dilaksanakan setelah salat Idul Fitri di Masjid Kraton Pajang. Pasowanan agung Garebeg Syawal itu dihadiri Raja Pajang, para punggawa, para narapraja dan para tamu rombongan Adipati dari kadipaten bawahan Kraton Pajang. Pada acara pasowanan garebeg, memang pengawal dan pengikut Adipati bawahan dari sejumlah daerah yang hadir boleh ikut dalam pasowanan agung.

Ada dua pranata penting yang digunakan oleh para raja kraton Jawa, khususnya Demak-Pajang-Mataram, untuk mengontrol kesetiaan para adipati atau bupati bawahan Sang Raja. Kedua pranata itu adalah seba dan sowan. Seba dilaksanakan pada setiap hari Senin dan Kamis di suatu ruang yang disebut Paseban. Sedang sowan dilaksanakan di dalam ruangan yang lebih luas yang disebut Pasowanan.

Jika seba dilaksanakan pada hari Senin dan Kamis, maka pasowanan dilaksanakan 3 kali setahun yang dikenal dengan Garebeg Syawal, Garebeg Besar dan Garebeg Maulud. Seorang raja bawahan seperti adipati atau bupati, wajib hadir setahun sekali dalam acara garebeg. Tetapi karena Garebeg Maulud merupakan garebeg yang paling besar, maka para raja bawahan lebih suka sowan menghadap raja atasan pada Garebeg Maulud yang dilaksanakan setiap tanggal 12 Rabiul Awal yang merupakan hari kelahiran Nabi Muhammad saw. Sekalipun begitu ada pula adipati dan bupati yang menghadiri pasowana lebih dari satu kali.

Seorang adipati atau bupati sebagai raja bawahan, disamping mempunyai kewajiban hadir menghadap Sang Raja setahun sekali, juga memiliki kewajiban mengirim upeti kepada Sang Raja. Upeti ini bisa dikirim kapan saja, tidak harus bersamaan dengan hari-hari pasowanan, boleh diwakilkan dan tidak harus diantarkan sendiri oleh raja bawahan. Rupanya dalam posisi seperti itulah Bagus Mangun Jaka Kahiman beserta rombongan tiba di Kraton Pajang pada Rebo Sore, 26 atau 27- Puasa/Ramadhan. Di samping mengirimkan upeti Kadipaten Wirasaba, Jaka Kahiman juga mewakili mertuanya untuk sowan. Maksud Adipati Wirasaba VI mengutus Jaka Kahiman sebenarnya ada dua yaitu:

  1. Memperkenalkan Jaka Kahiman kepada Raja Pajang, bahwa Jaka Kahiman adalah menantu Sang Adipati dari putri pertama Adipati Wirasaba VI .
  2. Mohon restu kepada Raja Pajang agar menantu dari putri pertamanya itu sukses membangun rumah tangga.

Dengan mengutus menantu dari putri pertamanya menghadap Raja Pajang itu, sebenarnya Adipati Wirasaba VI secara tidak langsung, hendak memberitahu kepada Raja Pajang, bahwa Adipati Wirasaba VI, telah menunjuk Jaka Kahiman sebagai putra mahkota pewaris Kadipaten Wirasaba. Sebab memang konsep kekuasaan Kraton Jawa, pewarisan tahta baik pada raja pusat maupun raja bawahan mengikuti model pewarisan tahta siapa yang harus didahulukan sbb :

  1. Putra tertua, didahulukan dari putra tertua istri pertama.
  2. Putri tertua, yang akan diwakili oleh suaminya.
  3. Saudara laki-laki, saudara laki-laki ayah, kemenakan menurut garis keluarga ayah, saudara-saudara misan menurut garis keluarga ayah.(Soemarsaid Moertono; 1964 : 129).

Karena Adipati Wirasaba VI punya maksud untuk mengenalkan menantunya itu sebagai putra mahkota kadipaten calon pengganti dirinya kelak, maka kehadiran Jaka Kahiman di Kraton Pajang didampingi ayah angkatnya, Kyai Mranggi Semu.

Memang menurut ceritera rakyat, Kyai Mranggi Semu juga bukan tokoh sembarangan. Konon nasabnya berasal dari Sunan Ampel, lewat Sunan Modang, salah seorang putra Sunan Ampel. Kyai Sambarta atau Kyai Mranggi Semu, konon ketutunan ke-6 Sunan Modang. Jika melihat garis nasabnya, memang Kyai Mranggi Semu layak ditunjuk Adipati Wirasaba VI untuk mendamping Jaka Kahiman menghadap Adipati Pajang.

Pada hakekatnya upacara garebeg yang didahului pasowanan agung pada kraton Islam Jawa merupakan arena untuk membangun kultus kemegahan dan kewibawaan Sang Raja terhadap para raja bawahan dan rakyat kerajaan. Karena itu para raja bawahan diwajibkan untuk hadir. Raja bawahan yang tidak hadir, akan segera dicurigai sebagai tanda memudarnya kesetiaan raja bawahan. Dan raja bawahan itu dengan mudah akan dicurigai sebagai melakukan persiapan pemberontakan.

Sebagai suatu kultus kemegahan, ukuran kemewahan dan kesemarakan menjadi penting. Dalam hal ini banyaknya pengunjung yang terdiri dari para adipati bawahan dengan pengiringnya menjadi perlu, karena banyaknya adipati yang hadir bisa dijadikan bukti nyata kebesaran kekuasaan Raja. Para adipati bawahan dan pengikutnya juga senang bisa hadir dalam pasowanan agung itu, karena mereka juga diperlakukan secara terhormat. Mereka duduk ditempat yang telah diatur menurut kepangkatan mereka, baju yang dikenakan juga menjadi ciri-ciri kedudukan mereka. Demikian juga jumlah pengiring para adipati bawahan, bisa menjadi ukuran kemegahan para adipati bawahan dibandingkan dengan adipati bawahan yang lain.

Rupanya posisi penempatan tempat duduk Jaka Kahiman, Kiyai Mranggi Semu dan para pengiringnya dari Kadipaten Wirasaba dalam pasowanan agung Garebeg Syawal itulah yang dilukiskan oleh tokoh “kula” pada halam 42 Naskah Kalibening dengan kalimat pendek,” Wataking nagara, manungsa kabektan name….. “ Artinya kurang lebih adalah,” telah menjadi adat kerajaan, tiap-tiap orang dalam pasowanan agung itu menempati posisinya sesuai dengan nama pangkat dan derajatnya masing-masing” . Maksudnya bisa jadi, para adipati dan orang kepercayaannya duduk bekumpul dengan para adipati. Para carik, punggawa dan para pengiring para adipati, juga ditempatkan pada tempat tersendiri yang lain lagi. Demikianlah tokoh kula telah merekam pengalamannya menghadiri pasowanan agung garebeg 1 Syawal di Kraton Pajang pada kalimat halaman 42.

Halama 43, menceriterakan tokoh kula yang sedang mengingat-ingat kembali hari perkawinan Jaka Kahiman dengan putri pertama Adipati Wirasaba yang berlangsung pada tanggal 15 Rajab.

Kalimat,” “peget gen kula imah-imah ing wulan Rejep tanggal kaping 15..”, dengan jelas tokoh kula perlu mengingat hari pernikahan Bagus Mangun Jaka Kahiman yang telah menikah pada bulan Rejeb, karena tokoh kula rupanya hendak menceriterakan kejadian empat belas tahun kemudian, yaitu tragedi Sabtu Pahing yang menyebabkan tewasnya Adipati Wirasaba VI dan pengangkatan Jaka Kahiman yang sudah dikenal Raja Pajang itu menjadi Adipati Wirasaba VII.

Naskah Kalibening dilaporkan setebal 60 halaman. Bisa jadi sisa halaman yang ada itulah yang digunakan sang penulis naskah yang berperan sebagai tokoh kula itu, melanjutkan proses penulisan kisah tokoh yang sedang dipujanya, Sang Adipati Mrapat.

Tokoh “kula” hal 42 dan 43 itu berbeda dengan tokoh kula halaman 41. Sebab tokoh “kula” halaman 41 adalah tokoh Kyai Mranggi yang sedang dilukiskan oleh sang penceritera atau sang penutur sedang bercakap-cakap dengan Kyai Tolih.

Secara filologi kita tentu bisa menggunakan imajinasi kita untuk membayangkan betapa meriahnya Pendopo Kadipaten Wirasaba pada saat terjadi resepsi pernikahan Jaka Kahiman dengan Rr.Sukartimah yang merupakan putri sulung Sang Adipati.

Kita bisa membayangkan, Jaka Kahiman Bagus Mangun tampil gagah, cakap dan percaya diri, karena sekalipun hanya anak angkat Kyai Sambarta, tetapi dalam dirinya mengalir darah Pajajaran dan Majapahit. Hal itu dibuktikan dengan keris yang terselip di pinggangnya pada hari perkawinan yang berbahagia itu. Keris yang terselip dipinggangnya saat duduk di pelaminan didampingi istrinya adalah keris pusaka Kyai Gajah Hendra yang sempat dimiliki Brawijaya V sekalipun hanya beberapa hari. Bahkan nama Gajah Hendra juga adalah nama pemberian Raja Agung Majapahit Sang Brawijaya V.

Di panggung pelaminan, duduk mendampingi kedua mempelai yang berbahagia, adalah pasangan Sang Adipati Wirasaba VI dan istrinya Kanjeng Ayu Adipati (RAy.Srini) yang duduk disebelah kanan kedua mempelai. Sedang pasangan orang tua kedua mempelai yang duduk disebelah kiri tidak lain adalah Kyai Mranggi Sambarta dan istrinya Nyi.Aisah Pandita Putra Haryo Baribin.

Menurut ceritera tutur rakyat Banyumas, Jaka Kahiman yang sering disebut Bagus Mangun adalah putra dari Raden Banyak Sasra yang menikahi Putri Kadipaten Pasir.Tetapi ketika masih kecil, ayahnya meninggal, sehingga Bagus Mangun diambil anak angkat oleh bibinya, Nyi Aisah yang menjadi istri Kyai Sambarta dari Kademangan Kejawar. Adapun Raden Banyak Sasra dan Nyi Aisah adalah kakak beradik putra dan putri Raden Haryo Baribin Pandita Putra, seorang bangsawan Majapahit yang terpaksa mengungsi ke Pajajaran menjelang terjadinya huru-hara perebutan tahta Majapahit dengan Kadipaten Keling. Kadipaten Keling yang berada di Pare, dekat Kediri inilah yang oleh ceritera tutur Banyumas dirubah jadi Kerajaan Banakeling. Menurut ceritera tutur Galuh, Kadipaten Banakeling ini letaknya tidak jauh dari Adireja dan Adipala.

Mungkin toponim Arja Binangun menginspirasi rakyat Banyumas, menempatkan Kerajaan Banakeling di sana. Atau bisa jadi Kyai Tolih yang digambarkan punya kekerabatan dengan Kadipaten Kaleng Kebumen, pada mulanya adalah rombongan dari Kadipaten Keling Pare yang mengungsi ke barat. Sampai daerah Banyumas, mereka mendirikan Kadipaten Kaleng di Kebumen dan Kadipaten Banakeling di dekat Adireja-Adipala. Raden Haryo Baribin sendiri menikah dengan Putri Pajajaran Dyah Ayu Ratna Kirana Pamekas. Dengan demikian menurut ceritera rakyat Banyumas, Bagus Mangun Jaka Kahiman adalah cucu dari Haryo Baribin-Ratna Kirana Pamekas.

Pernikahan R.Jaka Kahiman dan Rr.Sukartimah sebagaimana dilukiskan dengan baik oleh Naskah Kalibening itu, sekaligus merupakan proses alamiyah penyatuan secara kultural Kadipaten Pasir yang berada di utara Sungai Serayu dengan Kadipaten Wirasaba yang berada di sisi selatan Sungai Serayu. Dua wilayah yang sempat terpisah dan pada jaman pra Islam saling intai mengintai itu, menyatu dengan damai melalui perkawinan R.Jaka Kahiman, Sang Ksatria turunan dari Kadipaten Pasir dan Rr.Sukartimah dari Kadipaten Wirasaba. Perkawinan agung itu, menjadi simbol bersatunya dua trah kerajaan besar yang sempat terlibat konflik Jawa-Sunda akibat Perang Bubat (1357 M), yang menimbulkan luka mendalam di kalangan rakyat Sunda.

Trah Pajajaran yang diwakili R.Jaka Kahiman menyatu dengan trah Majapahit yang diwakili Rr.Sukartimah. Rakyat Lembah Serayu sebelah utara dan sebelah selatan menyatu kembali menjadi satu keluarga melalui simbol perkawinan agung itu. Perkawinan R.Jaka Kahiman dan Rr.Sukartimah, mengingatkan kepada perkawinan agung R.Kamandaka dengan Dewi Ciptarasa dari Kadipaten Pasir.

Bisa jadi kisah perkawinan agung Jaka Kahiman dan Rr.Sukartimah itulah yang menginspirasi seniman pedalangan wayang kulit Banyumas Gagrag Lor Gunung, untuk menciptakan tokoh Bawor, sebagai pengganti tokoh Bagong.

Bagong dalam kultur Sunda menimbulkan asosiasi kurang baik, karena bagong adalah nama binatang hutan, yakni babi hutan bin celeng. Sedang bagong dalam bahasa Jawa adalah nama ikatan rambut, seperti kuncung, kucir dan bagong. Bawor jika dikiratabasakan merupakan perpaduan dari kata (Ba)nyumas dan a(wor), atau dari kemiripan bunyi (Ba)gus Mangun dan a(wor). Awor dalam bahasa Sunda, mengandung arti persatuan kembali dua orang yang sempat terpisah karena pernah bertengkar.

Dalam Kamus Sunda, kata awor diartikan sebagai ngahiji atanapi patepung tingal. Artinya menjadi satu atau saling mendekat. Awor juga diartikan bersatu sebagaimana bunyi kalimat dalam bahasa Sunda,”sora angin awor jeung guruhna curug”. Artinya suara angin menyatu dengan suara air terjun. Jelaslah bahwa kata awor dalam bahasa Sunda, bahasa leluhur Jaka Kahiman dari pihak Eyang Putri, mengandung arti persatuan. Dalam kamus Bahasa Banyumas kata awor juga mengandung arti bercampur. Contoh, berase kaworan gabah. Artinya, berasnya tercampur gabah. Dengan demikian tokoh wayang punakawan Bawor merupakan simbol persatuan rakyat Kadipaten Wirasaba dan Kadipaten Pasir. Wallhualam[] 

Catatan:Sumber Gambar Musium Wayang Banyumas.

Artikel berkaitan dan lanjutan :

http://www.kompasiana.com/anklbrat/perkawinan-jaka-kahiman-rr-sukartimah-simbol-persatuan-jawa-sunda-08_568a1b53d57a617d057ed854

Selamat membaca.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun