Mohon tunggu...
anwar hadja
anwar hadja Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pendidik di Perguruan Tamansiswa Bandung National Certificated Education Teacher Ketua Forum Pamong Penegak Tertib Damai Tamansiswa Bandung Chief of Insitute For Social,Education and Economic Reform Bandung

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pengaruh Babad Tanah Jawi Dalam Naskah Kalibening(06)

4 Januari 2016   06:53 Diperbarui: 27 Januari 2016   07:08 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seri Tinjauan Kritis Buku Hari Jadi Kabupaten Banyumas 22 Pebruari 1571(06)

Naskah Babad Kalibening merupakan naskah yang ditemukan Sugeng Priyadi dari koleksi juru kunci makam Kalibening, Desa Dawuhan, Kecamatan Banyumas. Penampilan fisik naskah dilukiskan sebagai dibuat dari kertas dluwang, warna kuning, ukuran 11X 16 cm, berbentuk prosa dari huruf Jawa abad ke-17 M. Ada beberapa halaman naskah yang hilang. Peneliti menyimpulkan bahwa jika dibandingkan dengan naskah lainnya, Babad Banyumas Kalibening merupakan naskah tertua dengan kandungan teks tertua juga.

Tidak ada penjelasan dari mana Sanmuhadi, juru kunci makam Kalibening memperoleh naskah tersebut. Seorang juru kunci makam memang sering bisa menceriterakan riwayat tokoh yang dimakamkan yang biasanya ditambahi dengan berbagai ceritera mitos dan legenda. Memang agak mengherankan, Sanmuhadi yang juru makam Kalibening, tetapi menyimpan naskah lama yang berisi kisah Jaka Kahiman yang tidak dikubur di makam Kalibening.

Bisa jadi Sanmuhadi punya kerabat yang menjadi jurukunci makam Adipati Mrapat di Desa Dawuhan dan dari sana Sanmuhadi memperoleh naskah yang kemudian sampai ke tangan peneliti. Yang jelas naskah Kalibening, memang tidak ditemukan di komplek makam Adipati Mrapat, tetapi ditemukan di rumah Sanmuhadi yang rupanya gemar mengoleksi naskah kuno juga.

Dalam artikelnya yang dipublikasikan media massa,”Sejarah Harus Ada Sumbernya”, Sugeng Priyadi memperjelas deskripsi naskah Kalibening dengan menyebutkan bahwa huruf Jawa yang dipakai merupakan tipe huruf dari abad ke-16 Masehi. Jenis bahan yang dipakai untuk ditulisi adalah kulit kayu.

Ada perubahan deskripsi penampilan fisik Naskah Kalibening. Sebelumnya disebutkan dari kertas dluwang, belakangan disebutkan dari kulit kayu. Tipe huruf sebelumnya disebutkan dari abad ke-17 M, belakangan dari abad ke -16 M. Dalam artikel itu dijelaskan pula bahwa naskah Kalibening tidak memuat unsur-unsur mitologi, legendaris dan dongeng, sehingga lebih tepat dikatakan sebagai buku catatan sejarah dari pada babad.

Benarkah Naskah Kalibening tidak mengandung unsur-unsur mitologi dan Legenda?

Jika benar demikian lalu untuk apa Sanmuhadi mengoleksinya? Biasanya juru kunci mengoleksi naskah kuno, justru karena isinya mengandung mitos dan legenda, karena dia berharap dapat berkah dari kisah-kisah dalam naskah kuno tersebut. Naskah kuno dikeramatkan pertama-tama bukan karena penampilan fisiknya.Tetapi karena isinya adalah tokoh-tokoh yang dia mitoskan untuk mengharapkan berkahnya, auranya dan wibawaannya, bahkan kadang-kadang kesaktiannya.

Mungkin karena ini, konon Adipati Wirasaba I dalam naskah Kalibening disebut Ki Kepaguhan. Sugeng Priyadi menduga Ki Kepaguhan ada hubungannya dengan Brhee Paguhan yang disebut dalam Pararaton sebagai salah seorang raja bawahan pada masa Majapahit. Karena itu Sugeng Priyadi menduga Naskah Kalibening sejaman dengan Pararaton, sebuah kronik sejarah raja-raja Singasari dan Majapahit yang ditulis pada abad 16 M.

Padahal kata Ki Kepaguhan bisa saja berasal dari bahasa Sunda pageuh yang berarti tegar dan kuat, mendapat awalan ke dan an hingga menjadi kepaguhan yang berarti kuat, perkasa, mantap dan berwibawa. Atau bisa jadi berasal dari kata puguh, yang dalam bahasa Sunda dan Banyumas berarti dapat dipegang kata-katanya dan dapat dipercaya. Dari kata puguh mendapat awalan ke dan an menjadi Kepuguhan. Lama-lama berubah jadi Kepaguhan. Dengan demikian sebutan Ki Kepaguhan tak ada hubungan dengan Bhree Paguhan, tetapi gelar kehormatan dalam rangka memuja dan menghormati para leluhur Adipati Wirasaba VI yang merupakan mertua Jaka Kahiman atau Adipati Mrapat, tokoh yang hendak dipuja melalui penulisan Babad Kalibening.

Sesuai dengan prosedur metode penelitian, tentu Naskah Kalibening yang ditulis di atas kulit kayu itu harus lulus verifikasi ektern terlebih dulu untuk menentukan otentitas Naskah Kalibening.. Verifikasi ektern, tidak cukup bila hanya ditempuh secara sambil lalu melalui konfirmasi kepada seorang ahli manuskrip Museum Nasional Bagian Naskah. Seorang ahli epigrafi dan ahli manuskrip lebih bisa memberikan analisa kualitas fisik dan usia yang sesungguhnya melalui uji laboratorium, sehingga dapat ditetapkan dari abad ke berapa kulit kayu yang digunakan untuk menulisi Naskah Kalibening itu. Setelah itu baru dilakukan verifkasi intern untuk menilai tingkat kredibilitas naskah Kalibening itu sebagai dokumen sumber.

Pada halaman 25-26, Sugeng Priyadi selaku penemu naskah Kalibening mengutip berturut-turut hal 42, 43, baru hal 41. Kutipan itu disalin kembali di sini dengan urutan hal 41, 42 dan 43 sbb :

“pun. Dipun remeni putra sampeyan, anak kula, Kyai Tolih paturanipun, botena yen putra sampeyan remen sayektos, kajengipun duhung nele sarunga kemawon, kula teda, kula bade dateng Kaleng lan nu(n)ten kepanggih kalih Dipati Kaleng. Putranipun Kyai To…..(hal 41).

“…penget gen kula nyanggi suguh tuwan. Tuwan rencangipun, awit bulan(?) denyangi…Pajang sebert(y)angga 3 di(n)ten ta ingkang rama 27 wulan Puasa di(n)ten Rebo sonten. Pajang mingak-minguk ling wong ngarunge sapucung. Wataking nagara, manungsa kabektan name. Raning sala(?) pratela yen me-“(halaman 42)

“peget gen kula imah-imah ing wulan Rejep tanggal kaping 15….”(halaman 43).

Dari naskah yang dikutip di atas, sebenarnya nama Jaka Kahiman tidak disebut, demikian pula apakah dia pergi ke Pajang membawa upeti apa tidak, juga tidak disebutkan.

Sugeng Priyadi sendiri sebagai peneliti hanya menyebutkan “mungkin” dan interpretasi yang diberikannya sbb :

“Dua halaman yang hilang antara halam 41 dan 42 mungkin menyebut tokoh Adipati Mrapat (Bagus Mangun atau Jaka Kaiman) mengirim upeti ke Pajang pada tanggal 27 bulan Ramadhan (Rabu Sore) dan kemudian diangkat sebagai Adipati Wirasaba, sedangkan tanggal 15 Rajab mungkin berkaitan dengan perkawinan Bagus Mangun dengan putri Wirasaba. Tampaknya, kedua peristiwa tersebut sedang dikenang oleh tokoh utama kula(=Adipati Mrapat).”

Interpretasi Sugeng Priyadi masih kurang meyakinkan karena menggunakan dua kali kata mungkin! Berarti diangkatnya Jaka Kahiman sebagai Adipati Wirasaba VII, masih bersifat hipotesis dari Penemu Naskah Kalibening, yaitu Sugeng Priyadi.

Analisa Filologi teks hal 41 Naskah Kalibening.

Memang kutipan hal 1 berisi potongan kisah tentang rencana perkawinan Jaka Kahiman dengan Rr.Sukartimah, Putri Sulung Adipati Wirasaba VI. Kutipan hal 1 itu berisi pembicaraan antara Kyai Tolih dengan Kyai Mranggi, ayah angkat Jaka Kahiman yang minta keikhlasan sahabatnya, Kyai Tolih memberikan keris yang namanya keris Kyai Gajah Hendra. Keris itu belum punya sarung, tetapi karena akan dipakai dalam acara perkawinan Jaka Kahiman dengan Rr.Sukartimah, Kyai Mranggi akan meminjam sarung keris lain kepada Adipati Kaleng.

Kisah Kyai Tolih sudah sangat terkenal dalam Babad Banyumas, Babad Wirasaba dan juga dalam ceritera lisan, sebagai tokoh legenda dan mitos. Buku Sejarah Banyumas (2014) karangan Bambang S.Purwoko, terbitan Yayasan Sendang Mas, menceriterakan agak panjang lebar Kisah Kyai Tolih yang mengandung unsur mitos dan legenda. Memang ciri khas kitab babad ialah mengandung mitos dan legenda, karena kitab babad sebenarnya ditulis oleh si penyusun dengan maksud sebagai puja sastra dan magik sastra untuk meningkatkan kewibawaan, kesaktian, keagungan dan hak atas tahta yang diwarisi Sang Tokoh karena perkenan wahyu.

Sang Tokoh yang dipuja dalam Babad Banyumas adalah Jaka Kahiman, Adipati Mrapat. Oleh karena itu, dengan mengutip adanya tokoh Kyai Tolih saja, sudah dapat diidentifikasi, bahwa Naskah Kalibening, bukan catatan sejarah. Tetapi memang ditulis sebagai sastra babad oleh si penulis yang biasanya anonim.

Kiyai Tolih dalam berbagai versi Babad Banyumas, diceriterakan sebagai seorang Patih Kerajaan Banakeling. Suatu ketika Penguasa Banakeling ingin menguji kesaktian Raja Brawijaya V, dengan cara menyuruh Kyai Tolih untuk membunuh Brawijaya V dengan keris pusaka Banakeling. Kyai Tolih segera berangkat dengan membawa keris pusaka Banakeling yang terhunus tanpa sarung dengan mengendarai burung Mahendra.

Usaha Kiyai Tolih gagal. Burung Mahendra berhasil dibunuh oleh putra Ki Patih yang bernama Raden Aryo Gajah dengan keris pusaka Majapahit Kyai Jangkung Pacar. Kyai Tolih bahkan dijebloskan ke penjara, keris pusaka Banakeling dirampas dan disimpan Brawijaya V.

Suatu ketika Brawijaya V memanggil Kyai Tolih untuk diperiksa. Tiba-tiba kuda Brawijaya V, Kyai Joyotopo terlepas, menjadi liar dan mengamuk. Para punggawa Majapahit langsung geger dan mencoba menangkap Kyai Joyotopo yang ngadat alias mbegod sambil ngamuk seperti kesurupan. Karena tak ada seorang pun yang berhasil menangkap kuda yang sedang ngamuk itu, padahal Kyai Joyotopo adalah kuda kesayangan Sang Raja, maka Kyai Tolih pun menawarkan diri. Sang Raja tak keberatan.

Dengan menggunakan tali kekang burung Mahendra yang telah almarhum, dengan mudah Kyai Tolih sukses menjinakkan Kyai Joyotopo. Rupanya kuda Sang Raja itu sedang mabuk karena kemasukan ruh burung Mahendra yang dibunuh Raden Aryo Gajah, putra Ki Patih. Setelah melihat tali kekang, ruh burung Mahendra keluar dari badan kuda Sang Raja. Kuda Sang Raja Brawijaya V, Kyai Joyo Topo pun langsung jinak.

Sang Raja Brawijaya V sangat gembira, Kyai Tolih diampuni bahkan ditawari jabatan di Kraton Majapahit, serta akan dicarikan istri yang cantik. Tapi Kyai Tolih menolak. Dia hanya minta sebagai upahnya, agar keris pusaka Banakeling yang disimpan Sang Raja, dikembalikan. Brawijaya V mengabulkan, keris pusaka Banakeling dikembalikan oleh Brawijaya V setelah diberi nama Kyai Gajah Hendra. Keris yang tanpa sarung itu diterima dan Kyai Tolih pun segera mohon pamit akan pulang ke Banakeling. Tetapi di tengah jalan, pikirannya berubah. Kyai Tolih berpikir untuk membuatkan sarung keris pusaka Kyai Gajah Hendra. Teringatlah Kyai Tolih kepada sahabatnya Kyai Sambarta yang ahli membuat sarung keris yang tinggal di Kejawar. Kyai Sambarta yang ahli membuat sarung keris itu terkenal dengan julukan Kyai Mranggi Semu.

Tibalah Kyai Tolih di tempat kediaman Kyai Mranggi Semu, dan diutarakan maksudnya. Tentu saja Kyai Mranggi menerima pesanan sahabatnya itu dengan senang hati. Tetapi ketika keris Kyai Gajah Hendra yang tidak punya sarung itu diserahkan kepada Kyai Mranggi, keris itu tiba-tiba lenyap.

Betapa terkejutnya dua Kyai yang saling bersahabat itu. Sekalipun kecewa berat, akhirnya Kyai Tolih pasrah kepada musibah yang menimpa dirinya. Kyai Tolih berpendapat, keris itu memang bukan haknya. Keris itu pusaka Banakeling, tentunya adalah milik Penguasa Banakeling. Kyai Tolih mengira keris pusaka itu pergi karena ingin kembali kepada tuannya, Penguasa Banakeling.

Tetapi ketika sedang berbincang bincang, tiba-tiba datang Jaka Kahiman, anak angkat Kyai Mranggi Semu yang sudah dijadikan anak angkat Adipati Wirasaba VI, bahkan dalam proses mengurus rencana pernikahannya dengan putri sulung Sang Adipati. Kyai Mranggi dan Kyai Tolih, gembira disamping heran, karena tiba-tiba Jaka Kahiman datang sambil menyerahkan keris Kyai Gajah Hendra yang baru saja menghilang.

Jaka Kahiman berceritera bahwa ketika dalam perjalanan pulang dari Wirasaba ke Kejawar, tiba-tiba di tengah jalan, ia merasa ada keris yang tahu-tahu sudah terselip di pinggangnya. Jaka Kahiman mengaku, sebenarnya dia senang dengan keris itu. Tetapi karena merasa bukan miliknya, dia ingin mengembalikan kepada yang punya.

Singkat ceritera keris pusaka Kyai Gajah Hendra diterima kembali oleh Kyai Tolih. Tetapi karena Kyai Tolih tahu Jaka Kahiman akan menikah dan akan menjadi menantu Adipati Wirasaba, Kyai Tolih memberikan keris yang belum punya sarung itu kepada Jaka Kahiman dengan pesan agar keris dipakai pada hari pernikahan Jaka Kahiman dengan Rr.Sukartimah, Putri Sulung Adipati Wirasaba VI.

Demikian kisah Kiyai Tolih, yang dalam teks Naskah Kalibening sebagian adegan percakapan antara Kyai Mranggi Semu dan Kyai Tolih tentang keris pusaka Kyai Gajah Hendra itu dimuat pada halaman 41.

Kiyai Tolih, Kiyai Mranggi dan Jaka Kahiman, jelas adalah tokoh sejarah. Demikian pula jalan ceriteranya. Tetapi sejumlah peristiwa yang mengandung logika mistik, dengan tujuan memuja tokoh-tokohnya, seperti burung Mahendra  yang bisa terbang, Kiyai Tolih yang bisa naik burung Mahendra dan Joko Kahiman yang sakti, semua itu merupakan imajinasi penulis naskah saja, yang menyebabkan dengan mudah naskah Kalibening itu harus diklasifikasikan bukan kitab yang mirip-mirip sejarah, seperti babad Sangkala, misalnya. Naskah Kalibening lebih tepat disebt sastra sejarah atau babad. Untuk menjadi kitab sejarah, masih perlu proses, antara lain menyingkirkan aspek-aspek yang mengandung logika irasional dan mistik dan mengembalikan tokoh dan peristiwanya ke dalam dimensi ruang dan waktu yang tepat pada masa yang telah lama berlalu.

Pengaruh Babad Tanah Jawi

Dengan disebutnya Kyai Tolih pada naskah Kalibening, dengan mudah sebenarnya bisa ditetapkan bahwa si penulis naskah Kalibening, siapa pun orangnya, pernah membaca Babad Tanah Jawi atau setidak-tidaknya pernah mendengar nama Brawijaya V dari orang yang pernah membaca Babad Tanah Jawi. Sebab salah satu ciri kitab babad dipengaruhi oleh Babad Tanah Jawi ialah disebutnya nama Brawijaya. Nama Brawijaya adalah nama raja-raja Majapahit ciptaan penggubah Babad Tanah Jawi, yakni Pangeran Adilangu II dan Carik Bajra. Keduanya pujangga kraton Kartosuro, hidup antara tahun 1680- 1746 M.

 Kitab Babad Tanah Jawi ditulis atas perintah Sunan Pakubuwono I ( 1703 – 1719). Isinya meliputi Babad Pajajaran, Babad Majapahit, Babad Pajang, Babad Mataram sampai jaman Kraton Kartosura- Surokarto tahun 1746. Pada masa Pakubuono III( 1749 – 1788), Sunan mengijinkan Kitab Babad Tanah Jawi dibuka untuk umum, dan sejak itu Babad Tanah Jawi tersebar kemana-mana dan menjadi sumber penulisan hampir semua kitab babad di tanah Jawa.

Sebelum jaman Pakubuwono III, Babad Tanah Jawi hanya dibaca oleh kalangan bangsawan terbatas dari para bangsawan kraton. Penulisan Babad Tanah Jawi berakhir, setelah muncul pujangga kraton Surakarta Yasadipura yang ditugaskan oleh Sunan Pakubuwono III untuk menulis Babad Giyanti. Nama Brawijaya sendiri tidak pernah ditemukan pada kronik yang lebih tua, seperti Pararaton dan Nagarakretagama. Karena itu, nama Brawijaya adalah khas dari Babad Tanah Jawi.

Karena Naskah Kalibening, menyebut Kyai Tolih yang pasti ada hubungannya dengan Majapahit dan nama Brawijaya, dapat dipastikan bahwa usia Naskah Babad Kalibening, tidak mungkin lebih tua dari Babad Tanah Jawi.

Sekalipun didiskripsikan oleh Sugeng Priyadi, penemu naskah Babad Kalibening, sebagai naskah dari abad ke-16, naskah Babad Kalibening tidak mungkin lebih tua dari Babad Tanah Jawi yang berasal dari awal abad ke-18. Paling jauh, naskah Kalibening berasal dari pertengahan abad ke-19. Memang lebih tua dari Naskah Kranji-Kedungwoeloeh yang berasal dari akhir abad ke-19 ( 1889 M) dan juga lebih tua dari Babad Banyumas Aria Wiryaatmaja yang juga berasal dari akhir abad ke-19 (1898 M ).

Demikianlah hal 41 Naskah Kalibening menceriterakan persiapan perkawinan Jaka Kahiman dengan Rr.Sukartimah, putri sulung Adipati Wirasaba VI.Wallahualam(anhadja-04-01-2016)[]

Baca artikel berkaitan dan lanjutannya:

http://www.kompasiana.com/anklbrat/joko-kahiman-sowan-raja-pajang-dalam-naskah-kalibening-07_568a15c7c7afbdef04f26e78

Selamat membaca.Terimakasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun