Pada halaman 25-26, Sugeng Priyadi selaku penemu naskah Kalibening mengutip berturut-turut hal 42, 43, baru hal 41. Kutipan itu disalin kembali di sini dengan urutan hal 41, 42 dan 43 sbb :
“pun. Dipun remeni putra sampeyan, anak kula, Kyai Tolih paturanipun, botena yen putra sampeyan remen sayektos, kajengipun duhung nele sarunga kemawon, kula teda, kula bade dateng Kaleng lan nu(n)ten kepanggih kalih Dipati Kaleng. Putranipun Kyai To…..(hal 41).
“…penget gen kula nyanggi suguh tuwan. Tuwan rencangipun, awit bulan(?) denyangi…Pajang sebert(y)angga 3 di(n)ten ta ingkang rama 27 wulan Puasa di(n)ten Rebo sonten. Pajang mingak-minguk ling wong ngarunge sapucung. Wataking nagara, manungsa kabektan name. Raning sala(?) pratela yen me-“(halaman 42)
“peget gen kula imah-imah ing wulan Rejep tanggal kaping 15….”(halaman 43).
Dari naskah yang dikutip di atas, sebenarnya nama Jaka Kahiman tidak disebut, demikian pula apakah dia pergi ke Pajang membawa upeti apa tidak, juga tidak disebutkan.
Sugeng Priyadi sendiri sebagai peneliti hanya menyebutkan “mungkin” dan interpretasi yang diberikannya sbb :
“Dua halaman yang hilang antara halam 41 dan 42 mungkin menyebut tokoh Adipati Mrapat (Bagus Mangun atau Jaka Kaiman) mengirim upeti ke Pajang pada tanggal 27 bulan Ramadhan (Rabu Sore) dan kemudian diangkat sebagai Adipati Wirasaba, sedangkan tanggal 15 Rajab mungkin berkaitan dengan perkawinan Bagus Mangun dengan putri Wirasaba. Tampaknya, kedua peristiwa tersebut sedang dikenang oleh tokoh utama kula(=Adipati Mrapat).”
Interpretasi Sugeng Priyadi masih kurang meyakinkan karena menggunakan dua kali kata mungkin! Berarti diangkatnya Jaka Kahiman sebagai Adipati Wirasaba VII, masih bersifat hipotesis dari Penemu Naskah Kalibening, yaitu Sugeng Priyadi.
Analisa Filologi teks hal 41 Naskah Kalibening.
Memang kutipan hal 1 berisi potongan kisah tentang rencana perkawinan Jaka Kahiman dengan Rr.Sukartimah, Putri Sulung Adipati Wirasaba VI. Kutipan hal 1 itu berisi pembicaraan antara Kyai Tolih dengan Kyai Mranggi, ayah angkat Jaka Kahiman yang minta keikhlasan sahabatnya, Kyai Tolih memberikan keris yang namanya keris Kyai Gajah Hendra. Keris itu belum punya sarung, tetapi karena akan dipakai dalam acara perkawinan Jaka Kahiman dengan Rr.Sukartimah, Kyai Mranggi akan meminjam sarung keris lain kepada Adipati Kaleng.
Kisah Kyai Tolih sudah sangat terkenal dalam Babad Banyumas, Babad Wirasaba dan juga dalam ceritera lisan, sebagai tokoh legenda dan mitos. Buku Sejarah Banyumas (2014) karangan Bambang S.Purwoko, terbitan Yayasan Sendang Mas, menceriterakan agak panjang lebar Kisah Kyai Tolih yang mengandung unsur mitos dan legenda. Memang ciri khas kitab babad ialah mengandung mitos dan legenda, karena kitab babad sebenarnya ditulis oleh si penyusun dengan maksud sebagai puja sastra dan magik sastra untuk meningkatkan kewibawaan, kesaktian, keagungan dan hak atas tahta yang diwarisi Sang Tokoh karena perkenan wahyu.