“Arak Sunda Kelapa itu juga diolah dari air nira. Orang-orang China yang bermukim di sekitar Bandar Banten dan Sunda Kelapa banyak yang punya kepandaian mengolah air nira menjadi arak,” Raden Silihwarna melanjutkan kata-katanya. Dulu memang dia sering hilir mudik Pakuan-Sunda Kelapa bersama adik tirinya Banyakbelabur.
“Di sini air nira dari pohon kelapa dan pohon aren,” kata Ki Patih memotong pembicaraan Raden Banyakngampar,” diolah jadi gula kelapa dan gula aren. Gunanya untuk penyedap sayuran, pemanis aneka jenis makanan olahan dari ketela dan keperluan lainnya lagi. Bisa juga untuk pemanis minuman, seperti pemanis rebusan jahe ini, Raden.”
“Di Pakuan Pajajaran juga ada orang yang mengolah nira. Di sana disebut lahang. Tetapi tidak banyak. Untuk pemanis minuman lebih sering digunakan gula dari batang tebu. Itu pun harus didatangkan dari Sunda Kelapa, karena kebanyakan orang-orang China juga yang pandai mengolah air tebu jadi gula merah dan gula batu,” kata Raden Silihwarna .
Perbincangan terhenti ketika Kanjeng Adipati mengajak Ki Patih dan Raden Silihwarna minum wedang jahe. Mereka pun minum bersama-sama. Kanjeng Adipati juga mengajak mereka menikmati makanan olahan dari ketela yang disebut kue ciwel, hasil olahan juru masak Dalem Kadipaten Pasirluhur. Raden Silihwarna sangat menikmati kue ciwel yang disantap dengan parudan kelalapa muda itu. Tiba-tiba muncul pikiran Raden Silihwarna kalau kelak kembali ke Pakuan akan membelikan oleh-oleh gula kelapa atau gula aren yang bisa dijadikan bahan pemanis air rebusan jahe itu.
“Hem, pastilah Dinda Ratna Pamekas senang sekali kalau kelak aku bawakan oleh-oleh gula kelapa dan gula aren dari Kadipaten Pasirluhur,” bisiknya di dalam hati. Sepintas kilas bayangan wajah adik tirinya yang cantik jelita itu muncul di depan pelupuk matanya.
“Kanjeng Adipati, lezat benar minuman dengan pemanis gula kelapa. Adakah di pasar Kadipaten Pasirluhur, gula kelapa dan gula aren mudah didapat?,” tanya Raden Silihwarna. Bayangan adik tirinya pun lenyap.
“Di pasar Karanglewas dan pasar Pangebatan banyak dijual orang, Raden. Konon pemasoknya adalah….” Tiba-tiba Ki Patih ingat Nyai Kertisara dan Kamandaka yang mengganti namanya dengan Ki Sulap Pangebatan. Karena itu Ki Patih tidak melanjutkannya. Tetapi Kanjeng Adipati mampu menangkap apa yang tengah berkecamuk dalam pikiran Ki Patih. Kanjeng Adipati segera berkata kepada Raden Silihwarna:
“Itulah Raden, betapa bahayanya Si Kamandaka yang telah mengubah namanya jadi Ki Sulap Pangebatan. Dengan kekayaan yang diperolehnya dari gelanggang sabung ayam, dia mengajari Nyai Kertisara dan adiknya menjadi pengusaha gula kelapa dan gula aren. Ratusan pohon kelapa dan aren yang tumbuh di sepanjang tepi Sungai Ciserayu ke timur sampai Sungai Cingcinggoling yang bermuara di Sungai Ciserayu itu disewanya. Ratusan penyadap dari grumbul di wilayah segitiga Ciserayu-Cingcinggoling, dikerahkannya untuk menderes. Istri-istri mereka juga didorong untuk mengolahnya di rumah masing-masing jadi gula. Hasilnya dibeli oleh Nyai Kertisara dan dipasarkan bukan hanya ke pasar Pangebatan. Tetapi ke semua pasar yang ada di Kadipaten Pasirluhur. Bahkan gula aren dan gula kelapa yang dijual di pasar Karanglewas dan Pangebatan, sebagian besar dipasok Nyai Kertisara.” Kanjeng Adipati berkata dengan nada suara mengandung kecemasan.
Raden Silihwarna langsung memotong,” Apakah gula aren dan gula kelapa yang Kanjeng Adipati beli dari pasar Karanglewas juga hasil olahan mereka?”
“Mungkin saja! Bukankah tidak mudah membedakannya jika sudah berada di pasar?” jawab Kanjeng Adipati.
“Menurut juru masak Kepatihan,” Ki Patih ikut menjelaskan,” Gula kelapa pasokan Ny Kertisara kualitasnya baik, warnanya lebih menarik. Tidak coklat tua, tetapi berwarna kuning seperti warna kuning kulit jahe,sehingga lebih menarik.”