SERI 54
Tetapi Sang Raja Pulebahas masih diam saja. Sang Raja duduk semakin gelisah di atas kursi singgasananya. Beberapa kali dia menarik nafas dalam-dalam. Dan beberapa kali pula menyandarkan kepalanya kebelakang ke arah sandaran kursi singgasananya.
“Sahaya Nyai Gede Wulansari, Yang Mulia Paduka Raja. Sungguh sahaya sangat cemas kalau-kalau akan menerima murka Yang Mulia Paduka Raja. Ananda Dyah Tunjungbiru, beberapa waktu yang lalu telah melaksanakan ritual persembahan darah perawan suci dengan tegar, tabah dan kerelaan berkorban yang amat tinggi. Oleh karenanya malam itu dia tidak memerlukan bantuan sahaya dan dua pembantu setia sahaya, Sekarmenur dan Sekarmelati. Sahaya menjadi saksi, Ananda Dyah Tunjungbiru, masih perawan suci tidak tercela. Kapas darah perawan suci Ananda Dyah Tunjungbiru, sahaya simpan dalam guci porselin di sanggar ritual Pondok Tamanbidadari, setelah diberi mantra oleh Yang Suci Bapa Raga Pitar.
“Yang Mulia Paduka Raja dapat menyaksikannya. Sahaya telah menaruh bejana porselin bersisi darah perawan suci itu berdampingan dengan pusaka Kerajaan Nusakambangan, bejana gelas berisi Kembang Wijaya Kusumah. Bejana kaca itu nampak semakin cemerlang cahayanya. Semoga kekuasaan, keagungan dan kebesaran Yang Mulia Paduka Raja, juga semakin cemerlang, ” kata Nyai Gede Wulan Sari, Ibu asuh para gadis di Pondok Tamanbidadari, ikut mencoba menghibur Sang Raja.
Nyai Gede Wulansari menyebut semua gadis asuhannya di Pondok Tamanbidadari dengan panggilan kesayangan, ananda. Anak-anak asuhnya itu memang dipilih dari gadis-gadis hasil culikan yang memiliki postur tubuh yang seimbang. Mereka semua diberi pakaian, potongan rambut dan rias wajah yang persis sama, sehingga sepintas kilas mereka bagaikan gadis-gadis yang kembar. Bahkan nama mereka pun sama semua, Tunjungbiru, yang berarti bunga samudra. Yang membedakan hanya nama asli yang jadi penanda identitas mereka. Mereka semua memiliki status terhormat, karena dipandang sebagai adik Yang Mulia Paduka Raja. Dengan demikian, Sang Raja seakan-akan mempunyai adik lebih dari 40 gadis kembar.
Nyai Gede Wulansari sendiri adalah seorang wanita berusia separuh baya, berbadan bulat, gemuk, tinggi besar dengan lengan-lengan tangannya yang sangat kuat bagaikan tangkai penjepit, mirip seorang pegulat wanita. Dia punya lengan tangan tangkai penjepit yang siap mematahkan tulang-tulang rusuk siapa saja yang berhasil dipilinnya. Semua gadis anak asuhnya yang ada di Pondok Tamanbidadari, takut kepada Nyai Gede Wulansari.
Bagi gadis anak-anak asuhnya yang tak berdosa itu, sikap lemah lembut Nyai Gede Wulansari sebagai seorang pengasuh hanyalah sebuah kepura-puraan saja. Mereka tahu di balik wajah ramah Nyai Gede Wulansari, sejatinya tersimpan nafsu membunuh yang tidak kenal rasa belas kasihan. Tentu saja Nyai Gede Wulansari yang telah dididik dengan baik oleh Yang Suci Raga Pitar, tidak pernah merasa berdosa. Dia malah merasa bangga telah berbakti menjadi pelayan Sang Maha Dewa Ditya Kala Rembu Culung. Untuk itu, dia pun berharap, sebagaimana harapan para penyembah Sang Maha Dewa Ditya Kala Rembu Culung lainnya, akan mendapat anugerah panjang usia, awet muda, serta hidup berkelimpahan dan jaya.
Mendengar nama Dyah Tunjungbiru disebut oleh Nyai Gede Wulansari, Sang Raja meluruskan punggungnya, kepalanya pun segera ditegakkan, dan mulailah terdengar suaranya.
“Nyai Gede Wulansari, apakah engkau lupa perintahku malam itu? Aku memerintahkanmu memanggil Yang Suci Raga Pitar untuk menjadi saksi ritual perkawaninanku malam itu juga dengan Adinda Dyah Ayu Niken Gambirarum Tunjungbiru. Celaka engkau Nyai Gede Wulansari, berani melanggar perintahku. Malam itu aku telah melakukan perkawinan secara gandarwa dengan Adinda Dyah Ayu Niken Gambirarum. Engkau tahu arti perkawinan secara gandarwa yang dibolehkan dalam ajaran kitab suci, bukan? Itu adalah ritual meresmikan hubungan suami istri berdasarkan kesepakatan berdua saja, disaksikan para dewa. Sedangkan upacara pengesahan perkawinan dilakukan secara menyusul. Bukankah begitu tata cara perkawinana secara gandarwa, Yang Suci Bapa Raga Pitar?“ tanya Sang Raja menghadapkan wajahnya kepada Pendeta Raga Pitar. Raga Pitar hanya menganggguk pelan.
“Ampun sahaya, Yang Mulia Paduka Raja. Tak ada perintah kepada sahaya. Ketika sahaya dan pembantu sahaya, Sekarmenur dan Sekarmelati menjelang fajar malam itu masuk ke dalam kamar ritual, sahaya menemukan Yang Mulia Paduka Raja tertidur pulas dalam pelukan Ananda Dyah Ayu Tunjungbiru di atas tilam peraduan. Ritual persembahan perawan suci telah berjalan mulus sesuai petunjuk Yang Suci Raga Pitar. Sebagai bukti bahwa ritual berjalan mulus, Sekarmenur dan Sekarmelati berhasil mendapatkan darah perawan suci Ananda Dyah Ayu Tunjungbiru. Semua sudah ada dalam guci porselin,” kata Nyai Gede Wulansari.