“Ampun sahaya, Yang Mulia Paduka Raja,” kata Nyai Gede Wulansari masih melanjutkan kata-katanya seraya mengingat-ingat kembali malam tanggal empat belas bulan Kartika beberap hari yang lalu. Ketika itu Sang Raja Pulebahas tengah menjalani prosesi ritual persembahan darah perawan suci dengan Dyah Ayu Tunjungbiru.
”Malam itu tidak ada ada perintah dari Yang Mulia Paduka Raja untuk memanggil Yang Suci Raga Pitar,” kata Nyai Gede Wulansari mencoba mengingatkan Sang Raja pada malam prosesi ritual persembahan darah perawan suci di Pondok Tamanbidadari.
“Malam itu sahaya mendapatkan Ananda Dyah Ayu Tunjungbiru antara sadar dan tidak sadar. Sahaya tidak mungkin menunggu terlalu lama, sebab fajar pagi sudah hampir menyingsing. Di depan pintu sanggar ritual utusan Yang Suci Raga Pitar juga sudah tidak sabar menunggu. Ananda Dyah Ayu Tunjungbiru segera sahaya beri minuman ramuan yang membuatnya pingsan. Sahaya memang terkejut, waktu menemukan cangkir emas berisi cairan ramuan khusus untuk Yang Mulia Paduka Raja, sudah habis. Tetapi cangkir perak berisi cairan ramuan khusus untuk Ananda Dyah Ayu Tunjungbiru, masih separuh. Adakah Yang Mulia Paduka Raja ikut minum cairan dari cangkir perak yang membuat Yang Mulia Paduka Raja malam itu tidur pulas dalam pelukan Ananda Dyah Tunjungbiru?”
“Maafkan sahaya Yang Mulia Paduka Raja,” masih kata Nyai Gede Wulansari “Sahaya memang sempat berpikir demikian. Karena petugas di depan pintu bolak-balik mengingatkan bahwa fajar hampir terbit dan ritual terancam gagal, bila Ananda Dyah Ayu Tunjungbiru tidak segera dibawa ke pantai timur dekat Pulau Majeti. Maka terpaksa sahaya minumkan sisa ramuan pelemah tubuh ke mulut Ananda Dyah Ayu Tunjungbiru, yang membuatnya pingsan seketika. Pembantu sahaya Sekarmenur dan Sekarmelati segera memakaikan pakaian putih suci, dan mengangkat tubuh Ananda Dyah Ayu Tunjungbiru keluar dari kamar ritual.
“Tiba di luar pintu sanggar, tubuh Ananda Dyah Tunjungbiru segera diserahkannya kepada tiga petugas yang sudah tidak sabar menunggu. Sahaya menyaksikan dalam keremangan cahaya emas bulan tanggal empat belas yang sudah sangat meredup, Ananda Dyah Ayu Tunjungbiru yang dalam keadaan pingsan itu dibawa dengan kuda yang berlari dengan cepat, melesat menuju pantai timur,” kata Nyai Gede Wulansari mengakhiri penjelasannya kepada Yang Mulia Raja.
Hari masih pagi, tetapi angin laut sudah bertiup cukup kencang menerobos ruang pertemuan, membuat sejumlah daun jendela yang dibuat dari lembaran kayu tipis itu bergoyang-goyang. Bau asin air laut terbawa masuk menyinggahi semua hidung yang hadir di ruangan itu. Nyai Gede Wulansari mengusap ujung hidungnya. Deburan ombak Lautan Selatan samar-samar terdengar dari kejauhan. Gemanya bepantulan pada dinding-dinding ruang pertemuan.
Nyai Gede Wulansari ingat betul, Dyah Ayu Tunjungbiru, memang gadis cantik jelita yang cerdas. Wajahnya lonjong, bibirnya bagaikan delima merekah, kulitnya putih bersih, tubuhnya ramping tinggi semampai. Dalam balutan kain berwarna putih biru, pada malam ritual itu tampak demikian anggun. Wajar jika Yang Mulia Paduka Raja langsung jatuh cinta begitu melihat Dyah Ayu Tunjungbiru tergolek sendirian dengan sikap pasrah, tetapi juga menantang Sang Raja dari atas ranjang ritual.
Tidak seperti gadis lain yang melakukan perlawanan dan sering meronta-ronta pada saat dibawa masuk ke kamar ritual, Dyah Ayu Tunjungbiru malah mengajukan permintaan menjalani ritual persembahan darah perawan suci itu sendiri saja. Dia tidak mau diganggu oleh Nyai Gede Wulansari dan kedua pembantunya, Sekarmenur dan Sekarmelati.
“Biyung, biarkan ananda menjalani ritual berdua saja dengan Yang Mulia Raja,” kata Dyah Ayu Tunjungbiru malam itu mengajukan permintaan kepada Nyai Gede Wulansari, ”Memang ananda penyembah Sang Hyang Syiwa. Tetapi ananda pernah mendengar sepintas kilas ajaran suci yang diamalkan para penyembah Sang Maha Dewa Ditya Kala Rembu Culung. Ananda tidak takut menghadapi maut melalui ritual suci. Karena itu adalah salah satu jalan yang akan mengantarkan takdir ananda mencapai moksa dan hidup abadi yang bahagia. Hidup abadi yang terlepas dari hukum tumimbal lahir atau inkarnasi yang membuat orang hidup menderita dan sengsara di dunia yang fana ini. Ananda siap lahir batin menghadapi ritual suci, Biyung.” Mendengar permintaan seperti itu Nyai Gede Wulansari tidak kuasa menolak. Bahkan dia merasa gembira, karena tugasnya bertambah ringan.
Padahal biasanya, Nyai Gede Wulansari jika membawa gadis yang telah dikarantina ke atas ranjang ritual, harus dibantu dua orang, Sekarmenur dan Sekarmelati. Sebab biasanya gadis calon korban itu meronta-ronta sekuat tenaga. Setelah gadis itu dibaringkan, Nyai Gede Wulansari harus memegangi tangan, dada dan leher gadis itu, sedang Sekarmenur memegangi paha kirinya, Sekarmelati paha kanannya. Dan biasanya gadis yang akan dikorbankan itu tetap meronta-ronta sampai peluhnya mengalir dan semakin lama semakin lemah. Pada saat itulah Sang Paduka Raja Pulebahas masuk dan naik ke atas ranjang ritual. Prosesi persembahan perawan suci pun berlangsung secara mekanis, cepat dan singkat. Setelah darah perawan suci didapat, Sang Raja Pulebahas, turun dari ranjang ritual, kembali ke kamar peristirahatannya. Terkadang Sang Raja sendiri merasa bosan melakukan ritual yang menjemukan itu. Tak ada gairah. Tak ada cinta.
Gadis yang sudah sangat lemah itu, segera diberi minum cairan berisi ramuan yang membuatnya pingsan seketika. Biasanya tugas Nyai Gede Wulansari dan ke dua pembantunya itu selesai, saat telah datang tiga orang penjemput utusan Yang Suci Raga Pitar. Nyai Gede Wulansari dan kedua pembantunya hanya bisa melihat saat tubuh gadis itu dinaikkan ke atas kuda diapit dua orang yang segera melesat menembus malam yang tak lama lagi akan didatangi fajar pagi. Kuda yang satunya lagi, mengikuti dari belakang.