Mohon tunggu...
Ankiq Taofiqurohman
Ankiq Taofiqurohman Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Orang gunung penyuka laut dan penganut teori konspirasi. Mencoba menulis untuk terapi kegamangan.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Corona dan Keserakahan Lingkungan

10 April 2020   14:21 Diperbarui: 10 April 2020   14:27 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://fx14au.com/

Sudah hampir lebih dari 1 bulan sejak di umumkannya status bencana Covid-19 atau virus corona, dan sejak itu pula terjadi perubahan perilaku masyarakat Indonesia. Dari mulai social distancing hingga mencuci tangan menjadi keharusan untuk kita semua. Bencana corona mengajarkan kita sebuah perubahan, bukan lagi evolusi tetapi revolusi bagi kehidupan kita.

Kebijakan work from home dan penutupan tempat-tempat keramaian berefek pada perekonomian sebagian masyarakat. Merumahkan atau meliburkan para pekerja, hingga melarang orang berjualan merupakan solusi pencegahan virus corona tetapi dampak lainnya banyak masyarakat yang kehilangan mata pencaharian.

Masyarakat yang memiliki uang berlebih tentu tidak sepanik pekerja yang upahnya untuk harian atau mingguan.

Banyak masyarakat yang mata pencaharian atau usahanya terganggu dengan semua keadaan ini. Ojol semakin berkurang orderannya, pedagang mengeluhkan susahnya mencari bahan baku untuk produksi atau untuk dijual lagi, bahkan hingga ibu rumah tangga pun kesulitan mencari bahan-bahan untuk dapurnya semisal gula atau telur, dan jika ada harganya menjadi tinggi. Itu baru di level masyarakat umum, di level lebih tinggi kita tentu sudah dengar harga emas dan dolar yang terus naik sedangkan harga saham-saham dalam negeri yang menurun.

Sebenarnya sebagai orang awam kita tidak ikut pusing tentang harga dolar dan IHSG biar para ekonom negeri ini yang pikirkan. Kita tentu ingin simpel saja, barang yang kita butuhkan ada dan terbeli. Dan jika melihat diawal-awal wabah ini mulai marak, banyak dari masyarakat melakukan panic buying karena takut kehabisan bahan pokok untuk kebutuhan sehari-hari. 

Keadaan perekonomian Indonesia khususnya dan dunia pada umumnya yang mulai terganggu karena wabah corona menunjukan lemahnya sistem perekonomian dunia yang bersifat kapitalis. Salah satu bentuk perekonomian kapitalisme yaitu kuatnya sektor ekonomi non real atau tidak nyata seperti sektor jasa,perbankan atau pasar saham.

Untuk negera-negera yang selalu membutuhkan suntikan investasi asing dalam pembangunan strukturalnya, seperti Indonesia, naiknya dolar dan rontoknya IHSG menunjukan lemahnya perekonomian kita oleh serangan corona. Dampak riilnya adalah  PHK oleh perusahaan-perusahaan besar, berkurangnya pendapatan masyarakat, mahalnya barang konsumtif,  hingga (jangan sampai terjadi) mungkin timbul bencana sosial atau kelaparan. Dalam ilmu ekologi keadaan ini dapat dikategorikan kedalam tragedy of the commons.

Secara sederhana definisi tragedy of the commons adalah tragedi yang terjadi karena kebiasaan manusia atau bisa juga kebiasaan manusia yang menjadi tragedi. Tragedy of the commons muncul karena manusia mengambil yang dia inginkan bukan yang dia butuhkan. Dan konon katanya virus corona ini dimulai karena seseorang memakan binatang yang bukan selayaknya dikonsumsi dan bukan juga karena manusia itu lapar, tetapi karena orang itu ingin memakan binatang tersebut. Tragedy of the commons terbentuk karena keserakahan manusia. Keserakahan bisa terjadi secara global dan dilakukan oleh korporasi atau oleh suatu negara, bisa juga karena sifat individu.

Dalam kondisi sekarang, masyarakat di perkotaan yang terbiasa hidup dalam kemudahan dan juga sebagian besar masyarakatnya bermatapencaharian dalam industri jasa, sangat merasakan akibat dari dampak corona. Bila kita bandingkan dengan masyarakat di desa atau daerah pedalaman pada umumnya, walau mungkin secara imunitas mereka sangat rentan terhadap virus corona, tetapi dari segi ekonomi mereka lebih siap menghadapi wabah ini, karena mereka terbiasa hidup dengan keterbatasan.

Masyarakat desa, terutama masyarakat pedalaman yang kebutuhan hidupnya diambil langsung dari alam seperti petani atau nelayan tradisional boleh dikatakan tidak terlalu dipusingkan dengan harga dolar atau saham, panic buying, dan bahkan wabah corona menaikan hasil pertanian yang mereka olah, lihat saja saat rumor tentang jahe merah, bawang putih dan rempah-rempah lainnya yang dapat menangkal corona menyebabkan naiknya komoditas tersebut. 

Selama ini manusia banyak mengeksploitasi alam untuk memenuhi kebutuhan industri, pembangunan infrastruktur hingga eksploitasi dibidang jasa lingkungan seperti wisata alam. Eksploitasi itu seharusnya adalah untuk memenuhi kebutuhan manusia, bukan untuk menutupi keinginan manusia. Contoh sederhana, bagaimana kita dicekoki iklan dan promo barang-barang baru yang bukan kebutuhan dasar seperti gadget, mobil, motor hingga produk fashion, pun eksploitasi lingkungan demi tujuan wisata yang seakan telah menjadi gaya hidup.

Untuk memproduksi barang-barang sekunder dan tersier tersebut pasti membutuhkan sumber daya, yang tentunya diambil dari alam hingga terjadilah eksploitasi. Belum lagi polusi dan limbah dari barang-barang  tadi. Manusia seakan digiring untuk terus membeli dan memproduksi barang-barang sekunder dan tersier melalui paradigma gaya hidup. Padahal sekali lagi, manusia bisa hidup dari apa yang dia butuhkan bukan dari yang diinginkan.

Virus corona seolah menjadi agen ekologi yang bertugas untuk memperbaiki siklus hidup manusia dan alam. Masyarakat diingatkan kembali akan pentingnya kebersihan, dijaga jarak dan pergaulannya, hingga dianjurkan untuk menutup tubuhnya agar terjauh dari dampak corona. Kemunculan virus corona memberi juga waktu bagi lingkungan dan bumi untuk beristirahat dan meregenerasi kondisinya.

Di beberapa negara diberitakan bagaimana hewan-hewan memasuki kota, seperti di Italia mulai sering terlihat lumba-lumba berenang di kanal-kanal kota Venesia dimana sebelumnya hal ini sangat jarang terjadi. Begitu juga kenampakan Pegunungan Himalaya dari kota Punjab yang berjarak 240 km, yang mana kenampakan ini terakhir kali terjadi di 40 tahun yang lalu. Seperti itulah gambaran planet bumi seharusnya, tanpa adanya kebisingan, polusi, limbah dan manusia hidup bersinergi dengan alam.

Infrastruktur, industri berat atau  jasa perbankan yang dibangga-banggakan oleh para industrialis seakan tidak bisa memberikan jawaban menghadapi badai corona ini.

Gedung-gedung yang tinggi, jalan-jalan yang tak berujung, mall-mall yang megah, saat ini sudah bukan lagi solusi pembangunan. Hal yang dirasa paling penting menghadapi wabah ini adalah bagaimana kita bisa tetap makan dihari esok tanpa harus memohon bantuan dari orang lain. Pun setidaknya wabah corona bisa membukakan mata dan hati kita bahwa sebesar apapun keinginan manusia untuk mengeksploitasi alam tidak ada apa-apanya dibandingkan ciptaan Tuhan yang berukuran tak kasat mata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun