Untuk generasi melenial mungkin tidak familiar dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD), sebuah partai besutan Budiman Sujatmiko dkk yang menjadi momok bagi penguasa orde baru kala itu. PRD didirikan oleh anak-anak muda yang menginginkan perubahan atas rezim daripada Soeharto yang mirip kediktatoran. PRD dideklarasikan di Jogjakarta pada medio 1996 dengan agenda utama adalah pencabutan paket 5 UU Politik 1985 mengenai monopoli partai serta pencabutan akan dwi fungsi ABRI.
Aktivitas-aktivitas PRD yang bersebrangan dengan rezim orde baru berakibat pengawasan hingga penangkapan para aktivisnya. Sebut saja Budiman Sujatmiko selaku ketua PRD waktu itu yang ditahan dengan tuduhan makar pada peristiwa Kerusuhan 27 Juli 1996. Ada juga Mugiyanto dan Aan Rusdianto yang sempat diculik namun dibebaskan kembali atau Herman Hendrawan yang hingga hari ini tak diketahui rimbanya.
PRD pun berafiliasi dengan organisasi-organisasi kerakyatan lainnya macam Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) yang salah satu aktivisnya yaitu Andi Arif dan Nezar Patria yang juga diculik namun dibebaskan kembali, kemudian ada Komite Nasional Perjuangan Demokrasi (KNDP) yang dimotori oleh Raharjo Waluyo Jati dan Faisol Reza yang memiliki nasib sama dengan Andi Arif serta Nezar Patria. Setelah rezim daripada Soeharto lengser dan keran demokrasi sudah terbuka. PRD sebagai sebuah partai dapat mengikuti Pemilu pertama selepas orde baru ditahun 1999, namun hasilnya tidak menggembirakan dengan tidak lolos ke Senayan.
Setelah lebih dari 20 tahun peristiwa intimidasi dan persekusi pada para aktivis PRD, sekarang mereka telah semakin matang dalam dunia politik. Tidak sedikit para aktivis tersebut bergabung dengan partai-partai besar, bahkan dengan partai yang dibentuk oleh para "terduga" penculiknya. PRD bukanlah partai kaya yang mencari popularitas dengan cara pencitraan penuh kontroversi apalagi dengan mendompleng pada penguasa. Para anak muda ini mendirikan PRD dengan idealisme untuk meruntuhkan sistem yang korup dan bobrok.
Saat ini ada pula partai yang dibentuk dan motori oleh para anak muda, yang paling fenomenal tentu Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang didirikan tahun 2014 dan diketuai Grace Natalie. PSI dengan para tokoh partai yang didominasi anak muda seperti membawa gaya baru dalam berpartai. Gaya politiknya yang diklaim oleh mereka kekinian dengan dalih mengguncang zona nyaman politik, tak pelak menimbulkan kontroversi. Masihlah ingat bagaimana diawal-awal kemunculan PSI, mereka mengkritisi pemerintahan Jokowi-JK, namun sikap itu semakin berubah saat menjelang Pemilu 2014 dan akhirnya bergabung dengan Paslon 01.
Ada juga sikap PSI yang menolak Perda syariah dan injil, yang menurut sebagian tokoh tidaklah sopan, karena sebagai partai yang baru muncul sudah menentang apa yang diperjuangkan oleh partai-partai besar. Lalu pernyataan PSI dalam menolak poligami semakin memberikan garis tegas permusuhan dengan basis massa Islam. Yang terbaru (dan mungkin bukan yang terakhir) adalah bagaimana PSI mengungkit 'dosa partai lama' yang membuat merah kuping koalisi Jokowi.
Pernyataan-pernyataan PSI yang kontroversi bak sekuter (selebriti kurang terkenal) yang mencari panggung agar dikenal publik. Memanfaatkan kekuatan media sosial dan online tentu kontroversi-kontroversi PSI cepat menyebar yang terkadang menimbulkan saling sindir di media sosial bahkan hingga twitwar yang menjadi trending topik.
Dengan dukungan dana yang diisukan berasal dari 9 naga penguasa ekonomi Indonesia, PSI rajin belanja iklan dibandingkan partai-partai lain. Dari mulai iklan lelucon garing ketuanya hingga ajakan lewat dangdut semakin mempertajam cara PSI mencari kontroversi untuk meraih dukungan. Melalui kontroversilah PSI berharap akan dikenal oleh masyarakat, sebagaimana sekuter yang dicela masyarakat tapi ditunggu kehadirannya ditiap acara TV.
Secara umum apa yang dijargonkan PSI dengan PRD tidak berbeda, mencapai Indonesia yang adil dan makmur. Tetapi cara serta risiko yang ditempuh bagai bumi dan langit. Jika PRD harus bertaruh nyawa melawan pemerintahan, maka cukuplah PSI melawan sesama partai saja lewat twitwar. Saat PRD bergerilya berkampanye programnya, PSI tinggal belanja iklan dengan konten garing saja. Dan saat PRD dibubarkan paksa oleh suatu rezim dahulu, PSI dapatlah berlindung pada penguasa sekarang. Namun akhir dari kedua partai ini belum selesai, jika PRD tidak dapat berkembang menjadi partai besar, entah bagaimana dengan PSI.
Bila saja waktu itu PRD diketuai oleh sist Grace, akankah PRD berkoalisi memuji-muji rezim daripada Soeharto? Ataukah akan ada iklan di media cetak tentang PRD yang secara terbuka menentang rezim orde baru?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H