Mohon tunggu...
Ankiq Taofiqurohman
Ankiq Taofiqurohman Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Orang gunung penyuka laut dan penganut teori konspirasi. Mencoba menulis untuk terapi kegamangan.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Mungkinkah Cawapres Penentu Kemenangan dan Kekalahan?

26 Maret 2019   09:36 Diperbarui: 27 Maret 2019   18:51 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Calon wakil presiden nomor urut 01 Maruf Amin berjabat tangan dengan calon wakil presiden nomor urut 02 Sandiaga Uno dalam debat ketiga Pilpres 2019 di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (17/3/2019) malam. Peserta debat ketiga kali ini adalah cawapres masing-masing paslon dengan tema yang diangkat adalah pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, sosial, dan budaya. (foto: GARRY ANDREW LOTULUNG)

Pemilu 2019 sudah didepan mata dan sepertinya seluruh rakyat Indonesia sudah tak sabar untuk mengetahui pemenangnya. Walau ramai lembaga survey sudah memberikan gambaran, tetapi jika belum hitungan real, rasanya semua belum bisa dipercaya. 

Dua Paslon saling beradu simpati ditiap daerah, menjual program dan janji. Pemilu kali ini bagai sequel dari pemilu sebelumnya, dengan dua tokoh yang sama namun beda pendamping. 

Lakon Pemilu tentu pada Capresnya tapi bukan berarti Cawapres hanya pemanis belaka. Hitung-hitungan peluang pun akan membawa Cawapres sebagai unsur pengait suara. Pemilu yang lalu layak untuk disimak kembali dengan Cawapres sebagai objek perhatian.

Pemilu 2004

Di Pemilu 2004 terdapat 5 Paslon yaitu Wiranto-Salahudin Wahid, Megawati-Hasyim Muzadi,Amien Rais-Siswono Y Husodo, Susilo Bambang Y-Jusuf Kalla dan Hamzah Haz-Agum Gumelar. Megawati-Hasyim dan SBY-JK harus bertarung kembali diputaran kedua, dan hasilnya SBY-JK lah pemenangnya.

Kemenangan SBY-JK menggunakan strategi playing victim, telah mendapat simpati luas dari rakyat Indonesia. Namun jangan dianggap remeh juga peran Jusuf Kalla. Sebagai orang Bugis, tentu JK mewakili suara dari wilayah timur Indonesia. Selain itu, JK sebagai fungsionaris Partai Golkar membuat suara SBY-JK semakin moncer saat pemilu waktu itu. 

Pemilu 2004 harus mengalami 2 kali putaran dengan Megawati-Hasyim sebagai rival untuk SBY-JK. Walaupun sikap Megawati yang menurunkan simpati masyarakat tetapi majunya beliau ke putaran kedua tidak lepas dari pengaruh KH.Hasyim Muzadi sebagai ketua NU yang pastinya membawa gerbong suara para Nahdiyin. 

Jika boleh mengenyampingkan peran  Megawati dan SBY, maka keuntungan suara ada di JK. Bukan tanpa sebab, JK sebagai wakil dari timur yang dibandingkan dengan Kyai Hasyim dari Jawa tentu akan menjadi keuntungan politik bagi JK untuk meraih simpati dari masyarakat di luar Pulau Jawa. Sementara suara di Pulau Jawa sudah terpecah pada simpati SBY dan Megawati. Perolehan suara SBY-JK adalah sebesar 60,62 %.

Pemilu 2009

Di Pemilu 2009, JK mencoba untuk bersebrangan dengan SBY sebagai petahana. Tetapi pada Pemilu kali ini SBY yang berpasangan dengan Budiono menang dengan telak atas dua lawan politiknya, Megawati-Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto. Cawapres Budiono bukanlah orang politik, beliau adalah seorang dosen yang telah matang di dunia birokrasi dan ekonomi.

 Banyak tudingan yang dituduhkan kepadanya bahwa beliau adalah agen asing yang pro neo-liberal, namun tidak sedikit juga yang membela dan memuji kapasitas beliau sebagai ekonom. 

Peran Budiono pada Pemilu 2009 tidaklah sebesar pengaruh JK pada pemilu sebelumnya. Peran beliau telah tertutup oleh simpati pada SBY dan antipati rakyat pada Megawati dan Jusuf Kalla. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun