Saya bukan pelari..
Saya bukan olahragawan..
Tetapi, inilah cerita mengapa olahraga yang satu ini jadi bagian tetap dari jadwal saya setiap minggu.
Belum pernah terpikir bahwa saya bisa sampai finish di jarak 16km. Belum pernah terpikir bahwa total jarak lari saya dalam 3 bulan terakhir sudah mencapai 115 miles atau 185 km. Belum pernah rasanya terpikir bahwa saya akan ikut event half-marathon dalam waktu 1 bulan lagi.Â
Mengapa? Karena saya termasuk individu spesial yang terpilih untuk mengalami masa kecil di kursi roda. Hah? Yap. Kejadian awalnya terjadi saat saya masih di taman kanak-kanak. Saya jatuh dari mainan kanak-kanak yang mungkin tingginya 2-3 kali tubuh saya saat itu. Alhasil, tulang pangkal paha saya mengalami retak dan harus diobati. Bahkan saya sampai harus berobat ke Singapura karena tidak ada dokter ahli untuk di Indonesia pada saat itu. Tapi, menariknya, itulah pengalaman pertama saya pergi ke luar negeri juga, haha. Yap, selalu ambil positifnya saja.Â
Nah, jadi, sampai saya tamat kelas 6 SD lah baru bisa lepas total dari peralatan sejenis tongkat dan kursi roda itu, setelah dokter mengonfirmasikan bahwa tulang kaki saya ini sudah "aman" untuk lari dan lompat. Tapi apa daya, walaupun diperbolehkan untuk berlari dan melompat, tapi 2 kata kerja ini sangat asing di otak saya.Â
Alhasil sampai lulus kuliah S1 pun, saya cuma pernah lari mengitari lapangan bola di Bandung, lapangan Senayan di Jakarta. Dengan catatan, setelah 10-12 menit, saya udah ngos-ngosan saking ngga pernah lari sebelumnya.Â
Singkat cerita..
Kesempatan kuliah di Eropa pun datang. Bayangkan, dengan udara yang se-segar Eropa dan jalan yang tidak dipadati motor, maka tidak jarang terlihat orang bule lari. Lingkungan inilah yang membuat saya sadar bahwa bagi orang Eropa, ngga pagi, ngga siang, ngga malam, ngga ada waktu yang salah untuk lari. Jadilah saya tergerak juga.. karena diajak mereka juga sebenarnya.
Pertama kali lari disana, saya kaget sekali. Tidak ada keringat sedikit pun yang keluar. Padahal, belum sekali putaran lapangan bola saja biasanya sudah basah kuyup. Dan untuk lari berikutnya, saya diajak untuk lari malam, sekitar jam 9 malam. Wah, ini mah namanya cari penyakit, pikir saya. Tapi, karena diajak teman, ya kita ikut-ikut saja, toh larinya ga jauh dari tempat tinggal. Capek atau kedinginan, tinggal putar badan dan pulang. Ternyata memang dingin sekali. Tetapi, setelah 5-10 menit berlari, eh badan terasa hangat dan tak terasa sudah 30 menit lari (tentu saja masih plus jalan).
Sejak saat itulah, saya jadi semakin sering lari, selain diajak teman, saya rasakan bahwa tidur setelah lari itu pulas betul. Dan tentu berat badan pun turun, jadi berasa lebih fit. Dan inilah awal mula cerita mengapa saya mulai berlari. Lingkungan yang cocok serta adanya teman-teman yang berlari di sekitar saya.