puisi berkali aliri, ribu-ribu angkat jemari,
bukan imajinari ada yang tenggelam, hanyut, juga bunuhan diri.
di lelahan bait, sebutir jemari bercincin di samping kelingking
mengacung
; ku tahu itu kamu.
saat tubuhmu berpendar di alir kalian puisi
(ku) tahu setiap huruf adalah tetesan alir, setiap kata
adalah deburan aur, dan tanda baca adalah basah yang enggan
diusap di pipi.
senyummu di tepian telaga manusia,
kala itu, tebalkan kuasa-Nya di kuasaku
murahkan ingin membiar puisi berkali
tenggelamkan debar dada,
debaran dada,
di pundak telaga bertepi manusia,
kala itu.
aku dan senyummu dipisahkan tepian telaga
manusia
belum kubaca resumit darimu
meski puisi berkali akan bermuara pula, nanti.
kita adalah lelaki dan perempuan perunggu
sadaran tentang tingkap-tingkat medalion itu kudekap erat
di ranjang sesal perabuan masa lalu
yang kaku.
di ricikan puisi berkali
medalion perunggu kita sampaikan datar pesan
; tentang emas dan perak yang bukan serpih
kemeja yang kita pakai, saat bersua
haruskah tidak kita gadaikan almari berlaci
yang menyimpan keperungguan kita, meski
puisi berkali akhinya tiba di muara?
jawabanmu dan jawaban puisi berkali
ku yakin akan tiba di telinga hati
bersama, seperti judul dengan bait-bait, seperti
imaji dengan indera, seperti puisi dengan penyairnya,
yang berpegangan tangan namun enggan mengakui
mereka pernah bercumbu.
________________
Mojokerto, 1 September 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H