Mohon tunggu...
Anjrah Lelono Broto
Anjrah Lelono Broto Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Penulis freelance

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Politisasi Sastra

14 Maret 2014   06:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:57 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13947270682016045999

Politisasi Sastra

Oleh Anjrah Lelono Broto *)

Terlalu banyak hal menggelisahkan untuk membincangkan relasi sastra dengan elemen-elemen non artistik maupun linguistik. Ketika nama Denny JA mendadak masuk dalam 33 sastrawan yang berpengaruh di Indonesia, publik kesusastraan tanah air lebih suka menyikapinya sebagai sebuah manuver politik sastra ketimbang membestarikan diri secara mendalam mengapresiasi puisi esai yang menjadi ikonnya. Terluncurnya buku “33 Tokoh Sastra Indonesia Berpengaruh” besutan Tim 8 yang diterbitkan Pusat Dokumentasi HB Jassin menjadi petanda ke sekian betapa politik masih menjadi panglima dalam sendi-sendi kehidupan berkesenian dan berkebudayaan kita; khususnya apresiasi sastra.

Dalam kesejarahan sastra Indonesia, karya sastra yang menjadi masterpiece sebuah angkatan senantiasa berbanding lurus dengan suhu politik yang sedang menghangat di era tersebut. Jangka Jaya Baya maupun serat-serat yang lahir di era Mataram Islam merupakan karya sastra yang lahir dengan latar politik penguatan hegemoni. Siti Nurbaya-nya Marah Rusli menempatkan tokoh protagonisnya sebagai seorang tentara belanda dan sosok antagonisnya sebagai pejuang perlawanan terhadap kolonialis. Pun begitu dengan riuhnya sastra simbolik di era penjajahan Jepang, spirit akulturalian budaya yang membersit kuat dalam Layar Terkembang-nya STA dan atau Manusia Baru-nya Sanusi Pane.

Genialitas perpolitikan pada suatu era dalam mempengaruhi daya kreatif para sastrawan ini pula yang menjadi muawal kebijakan pemerintah yang sedang berkuasa untuk memenjarakan keliaran imajinasi sastrawan. Usai polemik Manikebu vs Lekra, pemerintah dengan jeli dapat mengkondisikan karya-karya sastra di tanah air sebagai replikasi hegemoni kebudayaan dimana transformasi budaya berjalan dalam kontrol pemerintah secara holistik. Bersama keterpengarahan sastrawan-sastrawan kita pada lompatan perkembangan filsafat dunia, pemerintah cerdas membacanya sebagai peluang untuk mengkondisikan keliaran imajinasi. Hasilnya, karya-karya sastra yang lahir dan membanjir lebih mirip sebagai salah satu media propaganda pemerintah dan atau menjauh dari realitas hingga kini.

Melalui proses pemurnian seperti pembentukan organisasi-organisasi kesenian bersumber dana dari pemerintah, maupun proyek hibah dan penerbitan buku/media yang diadakan pemerintah terbukti sukses menjadikan kesusastraan tanah air sebagai ritus hegemonis. Bak gayung bersambut, proses pemurnian ini di era Reformasi diperkuat dengan fenomena konglomerasi media massa, di mana sastra koran yang sebelumnya bolehlah dibilang sedikit “liar” hari ini pun menyeragamkan diri guna kepentingan kapital. Ironisnya, pemegang tampuk konglomerasi media massa dewasa ini adalah politikus atau politikus yang mendadak menjadi pemegang saham media massa.

Tentu saja, langkah sukses politik mengebiri kesusastraan ini berujung pada kerugian besar berupa kemandulan kreatifitas berkesenian dan berkebudayaan melalui karya sastra. Simbol dan makna dalam karya sastra yang lahir pun banyak yang melompat mundur, bahkan diam di tempat. Hal ini pula sempat mencuat dalam polemik yang menyertai terbitnya buku “33 Tokoh Sastra Indonesia Berpengaruh”. Bukankah puisi esai yang menjadi ikon Denny JA juga bukan hal yang baru di tanah air? Bukankah juga ada gestur sastra serupa dalam Pengakuan Pariyem-nya Linus Suryadi?

Berhadapan dengan politisasi sastra pemegang hegemoni kekuasaan yang menghendaki adanya keseragaman (baca; kebakuan) imajinasi, para sastrawan kita pun bertekuk lutut. Karya sastra yang beredar luas lebih mirip sebuah monolog ketimbang dialog yang memberikan ruang bagi pembacanya untuk berdialektika. Akibatnya, dari generasi ke generasi, karya sastra menjadi menu yang tak menggugah selera dalam perjalanan menciptakan manusia Indonesia seutuhnya sebagaimana yang diamanahkan dalam Pembukaan UUD 1945.

Hitung-menghitung kuantitas apalagi kualitas buku-buku karya sastra di perpustakaan sekolah di tanah air adalah kegiatan yang menguras air mata. Membaca apalagi menulis karya sastra adalah kegiatan yang tidak mendatangkan nilai positif, sementara pemerintah sendiri sibuk membuat gaduh untuk membangun manusia Indonesia yang berkarakter. Padahal, baik Heffner maupun Remperton menyebut bahwa apresiasi seni adalah bangun ruang yang meleluasakan kemanusiaan kita untuk lebih mengenal dirinya sendiri dan menjaganya dari jerat sistem petanda yang membutakan dan mentulikan nurani.

Satu hal yang patut disimak di antara suksesnya politisasi sastra adalah pengebirian daya kreatif para sastrawan besar kemungkinan bermuara pada miskinnya simbol dan makna dalam pola interaksi-komunikasi masyarakat kita. Sementara, fenomena ini pada akhirnya akan menyempitkan ruang kognisi dan kedewasaan kita sebagai masyarakat yang berbudaya. Tak dapat dipungkiri, masyarakat kita hari ini tidak menunjukkan reaksi berlebihan saat melihat seorang koruptor yang berseragam tahanan KPK bisa menebar senyum nir dosadi depan kamera.

Berpijak pada potensi kekuatan yang melekat pada tulang punggung karya seni, termasuk karya sastra, sudah selayaknya para sastrawan merentangkan negasi pada politisasi sastra. Mengingat kedewasaan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara juga dapat diukur dari kedalaman kita menciptakan ruang interaksi-komunikasi yang kaya simbol dan makna. Bukan dengan simbol dan makna yang diseragamkan melalui alat-alat yang dibiayai anggaran negara semata.

********

*)Pemangku Kedai Sastra Gubsur, tinggal di @anjrah_4sasgur

Catatan:

Dimuat di rubrik Apresiasi Sastra Harian Lampung Post edisi 02 Maret 2014, tautan di bawah ini:

http://issuu.com/lampungpost/docs/lampungpost_edisi_2_maret_2014



Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun