Oleh AnjrahLelono Broto *)
Konvensi PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) pada tahun 1993 di Wina butir ketiga telah menyebutkan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan kekerasan berbasis gender dan segala bentuknya tidak sesuai dengan martabat dan harga diri manusia serta harus dihapuskan. Namun, faktanya di masyarakat kekerasan terhadap perempuan justru kian jelas dan nyata.
Jika dirunut secara historis, kekerasan terhadap perempuan merupakan perwujudan ketimpangan historis dari hubungan-hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan yang telah mengakibatkan dominasi dan diskriminasi terhadap perempuan oleh laki-laki dan hambatan bagi kemajuan mereka. Berbagai fakta sejarah peradaban dunia telah merekam betapa perempuan seringkali diperlakukan secara tidak manusiawi dan menjadi objek eksploitasi oleh sebagian besar kaum laki-laki.
Dalam sejarah peradaban Hindu, hingga Abad ke 6 Masehi, perempuan dianggap sebagai sesajen bagi para dewa. Begitu juga dengan sejarah peradaban Yahudi, Pra abad ke-6, perempuan diangap sebagai sumber laknat dan malapetaka karena menyebabkan Adam terusir dari surga. Hal yang sama juga pernah terjadi dalam sejarah peradaban besar seperti Arab, Hindu, dan China, perempuan dianggap sebagai makhluk tak berguna, remeh, bahkan mereka berhak dibunuh.
Ringkasnya, fakta tindak kekerasan terhadap perempuan setua dengan lahirnya peradaban manusia. Namun, ironisnya kekerasan terhadap perempuan ternyata berlaku hingga zaman modern. Studi kasus yang dilakukan oleh beberapa lembaga independen menyatakan bahwasanya Abad Modern kekerasan terhadap perempuan baik secara fisik, psikis maupun seksual masih marak terjadi khususnya dalam ranah domestik. Fakta inilah yang kemudian dikenal dengan istilah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Potret Buram KDRT di Indonesia
Berdasarkan studi kasus yang dilakukan oleh Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada tahun 2006, kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia setiap tahunnya tercatat mengalami peningkatan yang cukup tajam. Pada tahun 2005 kasus kekerasan terhadap perempuan sebanyak 20.391, naik 45 persen dari tahun 2004 sebanyak 14.020. Sebelumnya, tahun 2003 sebanyak 5.934 kasus, dan tahun 2002 sebanyak 5.163 kasus.
Dari total 20.391 kasus yang terjadi pada tahun 2005, 82 persen di antaranya merupakan kasus kekerasan dalam rumah tangga. Dari berbagai kasus tersebut, kekerasan terhadap perempuan tidak mengenal latar belakang umur, pekerjaan, dan jenis pendidikan. Korban kekerasan yang berusia 25 hingga 40 tahun dengan jumlah kasus 4.506. Pendidikan tinggi SLTA dengan 2.649 kasus. Sedangkan yang paling banyak menimpa ibu rumah tangga, yakni 9.298 kasus atau 45 persen dari seluruh kasus.
Yang paling menyedihkan, pelaku tindak kekerasan terhadap perempuan ini kebanyakan dilakukan oleh orangorang terdekat korban. Di antaranya adalah suami, mantan suami, pacar, mantan pacar, kakak ipar, adik ipar, mertua, paman, teman dekat ibu, suami tidak sah, dan lain-lain.
Kasus KDRT merupakan ibarat sebuah fenomena gunung es. Artinya, kasus yang terjadi belum bisa mewakili kasus yang sebenarnya. Disinyalir, masih banyak kasus KDRT yang belum terungkap ke permukaan karena berbagai faktor tertentu. Mulai dari faktor takut terhadap pelaku, malu bila aib keluarganya diketahui publik, budaya permisif yang cenderung memaafkan pelaku. Hal inilah yang oleh-Kristi Poerwawandari (2006) dari Yayasan Pulih dan juga Ketua Program Studi Kajian Wanita Universitas Indonesia (UI) mengakibatkan sulit untuk melacak data sebenarnya.
Akar Problematika
Kasus Kekerasan terhadap perempuan merupakan persoalan serius yang disebabkan oleh berbagai hal yang berkait erat satu sama lainnya. Musdah Mulia dalam Muslimah Reformis (Mizan, 2004) berpendapat tentang akar masalah kekerasan terhadap perempuan. Pertama, ketimpangan gender. Laki-laki dianggap sebagai makhluk superior, lebih cakap dan lebih hebat dari pada perempuan yang dianggap makhluk inferior, lemah, kelas dua. Ketidakseimbangan relasi kekuasaan inilah yang menyebabkan perempuan kerap tidak berdaya dihadapan lakli-laki.
Kedua, penegakan hukum yang lemah. Meskipun berbagai peraturan telah dibuat, salah satu contohnya adalah Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), namun dalam praktiknya belum bisa menekan angka kekerasan dalam rumah tangga. UU KDRT memiliki kelemahan di tingkat pelaksanaan karena kurang adanya sosialisi ke seluruh lapisan masyarakat bawah.
Ketiga, dominasi nilai-nilai patriarkhi. Konstruk budaya masyarakat melalui sistem sosial, ekonomi, dan politik yang berlaku secara alamiah dan didukung dengan penilaian agama dan hukum adat yang memberikan otoritas lebih kepada laki-laki daripada perempuan mengakibatkan perempuan terpinggirkan dan menjadi objek kekerasan kaum laki-laki.
Musuh Bersama
Sekali lagi, kekerasan dalam rumah tangga merupakan persoalan kompleks yang diakibatkan ketimpangan gender, hukum yang lemah dan budaya patriarkhi. Untuk mengatasinya butuh kesepakatan dan kesadaran bersama dari seluruh elemen masyarakat, kaum intelektual, praktisi, akademisi, budayawan dan agamawan agar menempatkan kasus KDRT sebagai musuh bersama. Butuh kesepakatan bahwa kekerasan apa pun bentuknya, termasuk KDRT merupakan kejahatan hak asasi manusia yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan dan ketuhanan.
Semoga dalam momentum hari wanita internasional ini dapat memberikan penyadaran bagi kita bersama untuk selalu menyuarakan hak-hak kaum wanita tanpa memandang suku, agama, ras, dan aliran. Sudah saatnya mereka kita diberikan posisi yang setara, adil dan manusiawi sehingga mereka benar-benar bebas dari belenggu kekerasan.
*******
*) Litbang LBTI, tinggal di Jombang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H