Mohon tunggu...
Anjrah Lelono Broto
Anjrah Lelono Broto Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Penulis freelance

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Memimpikan Perubahan Indonesia

11 Juli 2012   02:45 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:05 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh Anjrah Lelono Broto *)

“Pengalaman mengenai ketidakstabilan kritis yang menuju kemunculan baru (boleh dibaca; keteraturan) biasanya melibatkan emosi-emosi keras, seperti ketakutan, kebingungan, keraguan atau rasa sakit yang menghasilkan krisis eksistensi.”

(The Hidden Connections, Fritjof Capra)

Peradaban Indonesia senantiasa berjalan dalam mimpi akan hadirnya Ratu Adil –sosok imajinatif pemimpin dalam mitologi Jawa yang diimajinasikan dapat membawa perubahan signifikan dalam peri kehidupan masyarakat kita-. Kehadiran sosok pemimpin protagonis dengan berlimpah sisi karakter yang baik dan jauh dari lumuran lumpur kelindan politik ala Machivelian merupakan impian warga republik ini.

Mimpi seperti ini adalah kelaziman kemanusiaan diri warga sebuah bangsa, apalagi jika mengingat bahwa mimpi dan perubahan merupakan dinamisator peradaban bangsa itu sendiri. Andaikata Kundung, raja pertama dari kerajaan pertama di nusantara yaitu Kutai, tidak bermimpi menjadi raja seperti dalam kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana besar kemungkinan lakuannya tidak akan menginspirasi Purnawarman di Tarumanegara, dan atau Ratu Sima di Kadiri. Begitu pula dengan ‘tan amukti palapa’-nya Mahapatih Gajah Mada, mimpi untuk memayungi wilayah Nusantara yang akhirnya menjadi energi utama progresivitas kebijakan politik Kerajaan Majapahit kala itu.

Ternyata tipis batas antara pemimpi dan pemimpin di tanah ini.

Ketegangan dan Krisis

Capra juga menyertai pendapatnya di atas dengan data eksperimen-eksperimen atomik dan sub-atomik dengan para ahli fisika kuantum di tahun 1920. Dalam penelitian tersebut, konsep-konsep dasar dan seluruh jalan pikiran mereka mengalami ketegangan dan krisis yang berkepanjangan, hingga Werner Heinsenberg –salah satu ahli fisika quantum yang terlibat eksperimen tersebut– berujar; mungkinkah alam memang begitu absurdnya?

Akan tetapi Werner Heinsenberg dkk tidak berhenti pada keluh-kesah, mereka terus melanjutkan usahanya dengan menyertakan agenda evaluasi jujur, hingga sukses meretas wawasan mengenai hakikat ruang, waktu dan materi serta garis-garis besar paradigma ilmiah baru. Sebuah pencapaian yang luar biasa luar biasa.

Di sisi lain, gerak perubahan yang merupakan impact dari pengalaman ketegangan dan krisis, tidak serta merta bermuara pada keteraturan sebuah sistem baru sebagaimana dalam eksperimen-eksperimen ahli fisika di atas. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, ketegangan dan krisisnya bermuara pada perceraian sebagaimana Uni Sovyet, Chekoslowakia, Yugoslavia, dan beberapa negara lain merupakan impact yang tidak boleh ada dalam mimpi perubahan Indonesia.

Mengingat akan menumpuknya ketegangan dan krisis yang terjadi di tanah air sebagaimana beruntunnya aksi penembakan di bumi Papua akhir-akhir ini, keberhasilan ormas keagamaan mengintervensi independensi kebijakan pemerintah, atau pun semakin suksesnya aksi menyamarkan proses penyidikan kasus korupsi, dll merupakan ikon jempol keberlanjutan mimpi perubahan Indonesia ke arah yang negatif. Realitas tak terpungkiri yang hari ini telah menjadi pemandangan lazim akan melahirkan sebuah mimpi buruk bahwa tumpukan ketegangan dan krisis yang kita alami sehingga Indonesia besar kemungkinan akan menjadi the next Uni Sovyet, Chekoslowakia, dan Yugoslavia.

Ke-Indonesia-an Kita

Ketika mimpi buruk tersebut kita hitung-hitung prosentase kemungkinannya, penulis ingat filter kebenaran ilmiah-nya Alfin Toefler. Hingga penulis mempertanyakan kembali; “Apa saja karakteristik yang mendefinisikan Indonesia sebagai negara-bangsa yang merdeka dan berdaulat?” Aksioma reflektif ini menemukan urgensinya mengingat Indonesia bukanlah warisan sejarah yang taken for granted dan statis, melainkan sebuah identitas yang dibangun secara sadar.

Dengan kata lain, menyoal tentang Indonesia, dus bicara soal bangsa yang konstruktif dinamis, berkemampuan memfilter, memperbaiki dan memperbaharui sejarahnya dalam kontinuitas kesadaran diskursif. Jauh dari imagined-community (meminjam istilah Ben Anderson yang eksistensi hanya tergantung pada kesudian kita untuk mengimajinasikannya.

Setelah sekian lama kita ber-Indonesia, ternyata ke-Indonesia-an kita masih dalam status yang rapuh. Latar belakang kelahiran bangsa ini yang ‘hanya’ disatukan oleh keadaan berupa kolonialisme Belanda dan Jepang menjadikan pilar ke-Indonesia-an kita jauh dari status mapan, apalagi mandiri dan mengembangkan diri (nation and character building). Sejak pertama diproklamasikan, kecemasan akan ketidakberlanjutan eksistensi bangsa ini telah menggelitik Chairil Anwar dalam “Kerawang Bekasi” sehingga beliau bertanya; “Untuk apakah kematian dalam perjuangan itu? / Apakah untuk sebuah cita-cita / atau tidak untuk apa-apa? //

Jared Diamond (2005) dalam bukunya “Collapse: How Society Choose to Fail or Survive?”, memaparkan bahwa, buruknya penyelesaian krisis melalui kerangka institusi politik, ekonomi, sosial, dan nilai budaya, merupakan satu dari lima faktor yang menyebabkan runtuhnya peradaban sebuah bangsa. Ironisnya, fakta keburukan tersebut telah membudaya di Indonesia. Rendahnya kualitas komunikasi politik para politisi, kisah-kisah tragis TKI, meraksasanya pabrikan dan merk asing yang mengeruk keuntungan dari semua jenis sumber daya nasional, hingga kegalauan pemimpin kita hingga memberikan grasi pada ratu narkoba internasional. Maka kecemasan sebagaimana yang dirasakan Chairil Anwar tersebut adalah serima kelogisan.

Perubahan Positif

Sejatinya, perubahan Indonesia telah menjadi komoditi klasik perpolitikan di tanah air. Terlebih, jelang bergulirnya pesta demokrasi. Biasanya, para petinggi parpol telah menggunakan hal ini sebagai jargon. Begitu juga dengan kelompok-kelompok yang mengaku pro-rakyat yang memilih berdiri di lingkar luar kekuasaan. Bahkan, perubahan sebagai sebuah konsep telah menjadi pesan di baliho depan gedung lembaga pendidikan kita yang menyebut bahwa generasi anak didik kita merupakan generasi emas bangsa ini.

Namun, sebagaimana pepatah jauh panggang dari api, sederet jargon politik, visi-misi kelompok-kelompok di luar lingkar kekuasaan, maupun pesan baliho di depan gedung sekolah, berhenti menjadi konten public show nir implementasi riil yang relevan. Faktanya, perubahan menuju Indonesia Better dikumandangkan oleh politikus yang sedang terjerat kasus korupsi, visi-misi kelompok-kelompok di luar lingkar kekuasaan ini menguap saat kursi kekuasaan dalam genggaman, dan generasi emas bangsa ini juga menikmati pragmatisme pendidikan dengan sekolah yang berkarakter perusahaan.

Artinya, perubahan Indonesia ke arah yang positif tidak mungkin terwujud jika hanya menjadi komoditi orientasi instan. Tindakan nyata yang berdampak positif langsung terhadap masyarakat adalah jawaban terhadap mimpi dan kecemasan bangsa ini. Salah satunya adalah dengan menggali-meneguhkan akar ideologi, politik, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan negara

Penggalian-peneguhan kembali akar ideologi, politik, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan negara akan bermuara pada terwujudnya komitmen nasional bahwa sejatinya kita memiliki kemampuan untuk menciptakan masa depan Indonesia yang lebih baik. Selama ini, faktor penghalang terwujudnya mimpi tersebut di tanah air ini bukanlah minimnya ideal concept bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Melainkan, samarnya komitmen nasional dalam mengambil langkah-langkah progresif evolusioner guna mengatasi problematika bersama.

Sementara, buruknya pengelolaan negara, menuntut untuk disikapi secara bijaksana sebagai panggilan untuk mewujudkan common good sebagai masyarakat bangsa. Caranya adalah dengan melakukan koneksi lintas dimensi sehingga sinergitas energi adalah jawabannya. Sinergitas energi dapat menggerakkan kearifan untuk mengeliminasi perspektif sempit seperti halnya pragmatisme dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia.

Kearifan ini juga akan menjadi gerbang transformasi dari etika kewajiban menuju etika kebajikan. Kearifan ini akan membentuk karakter pemimpi(n) yang benar-benar menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan sehingga Indonesia akan menjadi the next Uni Sovyet, Chekoslowakia, dan Yugoslavia adalah ketidakmungkinan dan akan muncul the next Kundung, Purnawarman, Ratu Sima, bahkan Mahapatih Gajah Mada adalah keniscayaan.

************

*) Sutradara Repertoar Teater WISMA PRESIDEN

Catatan:

Dimuat di rubrik OPINI, Harian Bhirawa, Edisi 11 Juli 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun