KRISIS LISTRIK, KRISIS YANG TIDAK PELIK
Oleh : Anjrah Lelono Broto*)
Laporan BPK mengenai krisis keuangan PLN di Indonesia (16 April 2008) benar-benar menyentak kesadaran kita. Betapa tidak! Di saat negeri ini menjerit kekurangan energi listrik, ternyata kebijakan pemerintah sendiri tidak mendukung tercukupinya energi listrik nasional dengan biaya murah. Alih-alih mendukung program listrik murah, yang terjadi sebaliknya, pemerintah tak peduli terhadap mahalnya bahan bakar untuk pembangkit-pembangkit listrik nasional. Ini semua terjadi karena pembangkit-pembangkit listrik di Indonesia terpaksa masih menggunakan bahan bakar solar, meski pembangkit-pembangkit listrik bersangkutan sebenarnya sudah diplot untuk memakai bahan bakar gas. Langkah ini dilakukan oleh PLN karena pasokan gas sering tidak lancar. Padahal, untuk PLN, mesin pembangkit listrik itu harus hidup sehari 24 jam penuh. Mesin-mesin pembangkit listrik itu tak boleh mati, karena berkaitan dengan kebutuhan rakyat yang amat vital.
Boros Bahan Bakar
BPK melaporkan, akibat sulitnya pasokan gas ke pembangkit listrik, banyak pembangkit listrik yang semula pakai gas, kini terpaksa menggantinya dengan solar. Akibat tersendatnya pasokan gas tersebut, PLN menderita kerugian Rp 11,89 tiliun. Parahnya, menurut auditor BPK, Bambang Widjajanto, kerugian tersebut yang menanggung PLN. Padahal tersendatnya pasokan gas ke pembangkit listrik milik PLN itu akibat belum adanya kontrak pasokan gas dan infrastruktur penyaluran gas ke pembangkit tersebut. Dan kita tahu, persoalan infrastruktur tersebut seharusnya dibuat pemerintah.
Yang jadi soal, di tengah tingginya kenaikan harga minyak dunia dalam lima tahun terakhir, pemakaian bahan bakar minyak (solar) untuk pembangkit listrik PLN justru naik. Sebaliknya, pemakaian gas untuk PLN justru turun. Padahal, harga gas jauh lebih murah ketimbang harga minyak. Dalam laporan BPK tersebut dinyatakan bahwa keterbatasan pasokan gas untuk pembangkit listrik berbahan bakar gas menyebabkan volume pemakaian gas terus menurun. Akibatnya, untuk mengoerasikan mesin-mesin pembangkit listrik tersebut, terpaksa digunakan bahan bakar minyak. Ini karena mesin-mesin pembangkit listrik tersebut harus terus menyala untuk menghasilkan listrik. Yang jadi masalah, mesin-mesin tersebut telah didesain untuk bahan bakar gas, sehingga ketika bahan bakarnya diganti minyak, mesin-mesin tadi cepat rusak. Itulah yang menjelaskan, kenapa belakangan ini banyak mesin pembangkit listrik yang rusak. Kenapa hal itu terjadi? Menurut laporan BPK karena kebijakan energi primer pemerintah, khususnya BP Migas belum mendukung tersedianya pasokan gas yang cukup untuk pembangkitb listrik PLN.
Seperti diketahui, sejak tahun 2006, porsi pembangkit listrik berbahan bakar minyak sebesar 34,37 persen, pembangkit berbahan bakar batu bara 37,88 persen, pembangkit berbahan bakar gas 15,99 persen, pembangkit tenaga panas bumi 3,1 persen, dan pembangkit tenaga air 8,66 persen. Berdasarkan audit BPK, disebutkan bahwa kebutuhan gas untuk pembangkit listrik PLN di Jawa dan Sumatera saja 1,459 juta kaki kubik perhari, sedangkan pasokan gas yang disediakan pemasok hanya 590 juta kaki kubik berhari. Dari data tersebut terlihat kekuarngan pasokan gas sebanyak 869 juta kaki kubik perhari.
Dari gambaran pemakian bahan bakar pembangkit listrik tersebut, ada tiga hal yang sangat ironi. Pertama, kenapa pemakaian gas untuk pembangkit istrik jumlahnya kecil sekali, hanya 15,99 persen padahal Indonesia adalah negara penghasil gas utama di dunia saat ini. Direksi PLN pernah menyatakan niatnya untuk membeli gas kepada pemerintah denga harga 7-8 dolar permmbtu, tapi anehnya pemerintah tak peduli dengan tawaran tersebut. Ironisnya, pemerintah sendiri menjual gas ke pihak luar dengan harga sangat murah. Gas produksi Conoco-Philip di Natuna, misalnya, dijual hanya dengan harga 2 dolar permmbtu ke Petronas, sedangkan gas Lapangan Tangguh Papua, dijual dengan harga 3,5 dolar permmbtu ke Cina. Ini jelas sangat aneh. Ketika industri listrik (PLN) sangat membutuhkan gas untuk mengoperasikan mesinnya dan berniat mau membeli gas dengan harga yang relatif mahal dua kali lipat lebih dari harga gas pemerintah yang dijual ke Cina (baca: gas Lapangan Tangguh dengan harga 3,5 dolar permmbtu) dan empat kali lipat dari gas yang dijual ke Petronas pemerintah malah lebih suka menjual gas ke luar negeri dengan harga murah. Kebijakan pemerintah ini jelas-jelas tidak pro-rakyat. Di saat rakyat diminta untuk membayar listrik lebih mahal agar mengurangi subsidi, pemerintah justru tidak berupaya untuk mengurangi subsidi dengan mengganti pemakaian bahan bakar gas yang bisa menghemat Rp 11,89 Triliun. Ingat sekali lagi, ribut-ribut PLN mau menaikkan harga listrik bulan depan, ini karena kekurangan subsidi Rp 10 Triliun.
Ironi kedua, kenapa di tengah kecenderungan harga minyak yang terus membubung, pemerintah masih terus mempertahankan pembangkit listrik yang berbahan bakar minyak (solar)? Parahnya lagi, seperti dilaporkan auditor BK, pembangkit listrik berbahan bakar gas pun akhirnya kembali ke minyak karena pasokan gasnya tersendat. Akibatnya, seperti disebutkan di atas, PLN defisit Rp 11,89 Triliun. Saat ini, lebih dari 1/3 jumlah pembangkit listrik di Indonesia memakai bahan bakar minyak. Bayangkan, seandainya semua pembangkit listrik berbahan bakar minyak itu dikonversi menjadi bahan bakar gas, maka akan ada penghematan lebih dari Rp 20 Triliun. Tidak hanya itu. PLN pun bisa membeli gas dengan harga kompetitif dibanding gas yang dijual ke Petronas (Malaysia) dan Cina. Ini artinya, pemerintah untung dua kali. PLN bisa menyediakan gas dengan harga murah kepada masyarakat dan tidak perlu minta subsidi. Sedangkan pemerintah mendapat pembeli gas (PLN) yang mau membayar dengan harga cukup mahal sehingga keuntungan negara dari penjualan gas itu bertambah.
Ironi ketiga, kenapa pembangkit listrik tenaga bumi tidak dikembangkan? Sekadar informasi, Indonesia adalah negara yang mempunyai sumber panas bumi terbesar di dunia. Sekitar 40 persen panas bumi di dunia ada di Indonesia. Tapi Indonesia baru memanfaatkannya 3,1 persen. Potensi panas bumi di Indonesia kalau dipakai untuk pembangkit listrik, dapat menghasilkan listrik sebesar 27 Giga Watt (GW). Padahal, jumlah listrik terpasang di Indonesa saat ini masih sekitar 25 GW. Ini artinya, potensi listrik dari panas bumi tersebut jumlahnya amat besar. Seandainya pemerintah memanfaatkan separuhnya saja, nicaya bisa menghemat subsidi puluhan triliun rupiah.
Dari paparan di atas, jelaslah bahwa krisis listrik tersebut sebetulnya bukan melulu karena harga BBM yang mahal, tapi karena kurang tepatnya kebijakan pemerintah dalam mengelola energi yang ada di Indonesia. Karena itu, ke depan, pemerintah harus berani mereformasi kebijakan energi nasional dengan melihat potensi dan peta energi nusantarta. Tanpa itu semua, persoalan krisis energi nasional hanya akan berputar-putar di sekitar permintan PLN akan subsidi dari pemerintah dan PLN menaikkan harga listrik yang memberatkan rakyat.
************
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H