Oleh Anjrah Lelono Broto
‘Aku menulis, maka aku ada’, nampaknya pelesetan dari ‘cogito ergo sum’-nya Rene Descartes (1596-1650) ini kiranya patut menggambarkan apa yang menjadi bahan bakar pendorong lahirnya karya-karya dari tangan-hati-logika seorang ST. Sri Emyani, termasuk yang sekarang berada di depan kita; antologi geguritan “Ogal Agel Buntut Kebo” (Sembilan Mutiara Publishing, 2015) ini. Walau, saya sendiri masih meyakini bahwa bukanlah eksistensi pribadi yang menjadi tujuan utama proses kreatifnya dalam dunia kepenulisan yang tak kalah berdarah-darahnya dengan dunia persilatan, mengingat selalu ada pengorbanan dalam setiap perjalanan proses kreatif.
[/caption]
[caption caption="Penulis, pembedah buku, moderator, Bpk Kepala Kantor Arsip dan Perpustakaan Kab. Mojokerto beserta segenap hadirin Terminal Sastra ke-21"
Pun begitu, salah satu efek samping yang tidak boleh dianggap remeh dari proses kreatif di dunia kepenulisan adalah eksistensi pribadi sang penulisnya. Karena Suripan Sadi Hutomo pernah melakukan riset dan menulis tentang seni tradisi Kentrung secara ilmiah, beliau eksis sebagai “Profesor Kentrung”. Sama halnya dengan Chairil Anwar Si Binatang Jalang, Umar Khayam Sang Burung-Burung Manyar, ataupun Rendra dengan burung meraknya.
Keyakinan saya bahwa lahirnya buku kumpulan geguritan “Ogal Agel Buntut Kebo” bukan karena semata eksistensi pribadi dikuatkan oleh pemilihan judul yang dilakukan sdr. ST Sri Emyani yang cenderung kurang menarik jika kemudian diidentikkan dengan dirinya sebagai penulis. Mengingat ‘kebo’ (Kerbau, bhs. Indonesia) adalah nama binatang, serta diikuti dengan pemaknaan yang telah kaprah bahwa ‘kebo’ merupakan binatang yang identik dengan karakter bodoh, dungu, lugu, diam saja menerima nasib, dan berlaksa lainnya, yang semuanya tidaklah ‘mboys’ atau ‘keren’
Sebut saja, salah satu peribahasa dalam bahasa Indonesia; “seperti kerbau dicocok hidungnya”, “kerbau pulang kandang”, ataupun “kalau kerbau dipegang talinya, manusia dipegang janjinya. Juga tengok unen-unen seperti “kebo nyusu gudel”, “kebo kabotan sungu”, maupun “gela-gelo kaya kebo”. Peribahasa maupun unen-unen ini memberikan gambaran betapa ‘kebo’ merupakan simbol subordinasi dalam sistem kultur yang berlaku dalam masyarakat kita. ‘Kebo’ merupakan petanda kelas masyarakat yang lemah, terpinggirkan, tidak berdaya, dan cenderung teraniaya. Meski juga binatang, coba kita bandingkan dengan ‘macan’, ‘singa’, ‘sima’ ataupun yang sama-sama herbivora dan bertanduk seperti halnya ‘kebo’, yaitu ‘bantheng’. Superioritas justru seringkali disimbolkan oleh binatang-binatang ini.
Sdr. Sumono Sandy Asmoro dalam pengantarnya juga menyinggung sedikit tentang diksi dalam judul buku antologi geguritan ini. ‘Buntut’ yang hanya bisa ‘ogal agel’ secara gamblang disebutnya sebagai gambaran konkret betapa mayoritas geguritan dalam buku ini menuturkan kritik-kritik sosial dari sudut pandang wong cilik. Geguritan “Raseksa Ngadeg Raja” menandaskan gambaran tersebut. Raksasa, tokoh antagonis dalam kisah-kisah pewayangan yang senantiasa dibariskan di sisi kiri dhalang, digambarkan mampu berdiri sebagai penguasa.
Tersurat telah di dalamnya betapa sesuatu yang dibawa oleh gelombang modernisasi (ala Barat) hari ini meminggirkan segala sesuatu yang menjadi buah pikir putra-putra terbaik peradaban kita. Sehingga kesejatiandiri kita sebagai manusia Jawa-manusia Indonesia sekarang disamarkan oleh ombak dan buih gelombang modernisasi. Saya sendiri sekarang menyebutnya sebagai hilangnya sekat pembeda antara masyarakat kita dengan masyarakat Korea, Amerika, Eropa, bahkan akhir-akhir ini India dan Turki.
Rendra, Taufik Ismail, Iwan Fals, N. Riantiarno, Putu Wijaya, (maaf, saya tidak menyebut Ratna Sarumpaet, karena bagi saya dia bukan seniman namun aktifis LSM yang mempergunakan karya seni sebagai corongnya) dan sekian banyak seniman negeri ini juga menyuarakan kritik sosial, namun mereka terdengar lantang karena mereka berada di Jakarta dan tidak berbicara sebagai objek yang termarjinalkan (baca ‘wong cilik’). Mereka berbicara sebagai pengamat, kritikus, dewa-dewi yang peduli, dan memandang realitas sosial sebagai komoditas kreatif seperti halnya acara “My Trip, My Adventure” yang memandang alam sebagai komoditas pariwisata bukan sebagai ibu, sahabat, bahkan kawan curhat sebagaimana Soe Hok Gie.