--- yang tiada hendak hilang dari sejarah
harungan terlewat kebatkan angan bertukas-tukas, tinggali diriku dan bayangmu dengan kesiap mungil-mungil. memoir telentang di ranjang tersenyum menantang-menggelar secarik kisah bergelung dendam. sampurmu yang membelati pernah melukai, Egydia. darah menetes di refrainnya. rambutmu yang menari angin, siang itu, tiada sempat sampaikan isyarah tentang sampur, luka, dan darah di refrain. padaku.
lapang hatimu, Egydia, maknakan jembar teruntuk kesakitan nadi yang membaris di balik bukit dada. daun kemanusiaan mereka terusik kala matahari terhalang sinarnya oleh kibar sampurmu. fotosintesa pun berhenti di ujung gang, telapaknya mengalir merah, pedihnya menyum-sum tak terkilah. sakit nadi mereka butakan stomata.
Egydia, engkau telah meniup sangkakala pertempuran.
pun kuraba, tiada sekali-sekali ujung sampurmu tajam menggunting, Egydia. tetapi, cacing dalam perut mereka perlu sepinggan hidup untuk esok. ‘tika sampurmu menggeletar, t’lah kau punahkan harap hidup itu dengan indah. mereka cemburui takdir tanpa malu-malu. dengan senyum penuh sungguh, kematianmu adalah pemungkas elegi infotosintesa.
tak terbendung. tak teraih. senyum penuh sungguh mereka susul muara tarian-tarianmu, Egydia.
bersandar di tiang titiwanci yang santun. napasku terkapar oleh sapu ngungun. inikah rah’sia kepergianmu, Egydia? sampurmu yang kuperam penuh hasrat, ternyata adalah hulu pedang kematianmu sendiri. sulit ku pintal percaya ini dalam kepenuhan. sukar ku rangkai yakin ini dalam kemekaran.
ach, pada lazuardi semesta yang menggelanggang kuadukan sampur ini. seutas hasrat yang menghidupkanmu dan mematikanmu, Egydia.
doaku malam ini lebih biru padamu, Egydia.
Mojokerto, 07 Juli 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H