Oleh Anjrah Lelono Broto *)
[caption id="attachment_312089" align="alignright" width="300" caption="Anjrah Lelono Broto (kiri) dan Cucuk Espe (kanan) dalam repertoar �Inong, Dongeng Rumah Jalang� di auditorium UNJ (02/11/2011) � Dokumentasi Teater Kopi Hitam Indonesia."][/caption]
Entitas seniman tidak semata lahir dari meja seorang pegawai Dinas Kependudukan yang berbesar hati untuk membubuhkan diksi “seniman” di kartu tanda penduduk (KTP) salah satu warga negara Indonesia. Entitas seniman juga bukanlah sesuatu yang given, karena Tuhan terlalu baik kepada semua umat-Nya sehingga mampu untuk menciptakan-menikmati keindahan. Sementara, keindahan merupakan esensi mendasar dalam sebuah karya seni. Dus, menjadi seniman adalah sebuah pilihan yang ditandai dengan lahirnya karya seni yang dinikmati publik dari rahimnya.
Sayangnya, seiring berayunnya bandul jam dinding, benang merah antara seniman-karyanya-penikmat karya-karyanya menjelma menjadi onggokan benang kusut. Setelah melahirkan sebiji-dua biji karya seni yang dinikmati sendiri, banyak pribadi di antara kita yang menasbihkan dirinya sebagai seniman. Begitu pula dengan pribadi-pribadi yang menepuk dada karena telah merasa layak menyandang entitas “seniman” usai menjadi bidan dari karya-karya seni yang semata lahir saat ada program dari founding (baik made in pemerintah/NGO). Kalau boleh disebut bahwa apa yang mereka hasilkan adalah karya seni maka salah satu buahnya adalah keterasingan karya-karya seni dari (calon) penikmatnya. Mengingat, mereka yang saya sebutkan dalam paragraf ini adalah pribadi yang menterjemahkan keindahan karya-karya seninya seratus persen menurut dirinya sendiri dan atau seratus persen merujuk pada pesan-pesan sponsor founding.
Penyair romantik John Keats (1795-1821) dalam Endymion mengatakan: “A thing of beuty is a joy forever. Its loveliness iscreases; it wil never pass into nothingness.” Sesuatu yang indah adalah keriangan selama lamanya, kemolekannya bertambah, dan tidak pemah berlalu ke ketiadaan. Dalam sajak di atas, Keats merujuk pada teks Endymion yang terdapat dalam mitologi Yunani kuno. Endymion dalam mitos tersebut merupakan penjabaran dari konsep keindahan pada jaman Yunani kuno. Endymion adalah seorang gembala yang oleh dewa-dewa diberi keindahan abadi. Dia selalu muda, selamanya tidur, dan tidak pemah diganggu oleh siapapun. Menurut Keats, orang yang mempunyai konsep keindahan hanya tertentu jurnlahnya. Mereka mempunyai negative capability, yaitu kemampuan untuk selalu dalam keadaan ragu-ragu, tidak menentu dan misterius tanpa mengganggu keseimbangan jiwa dan tindakannya hanya pikiran dan hatinya yang selalu diliputi keresahan.
Pada hakekatnya negative capability adalah suatu proses. Ketidakmenentuan adalah suatu proses. Proses inilah yang membuat seseorang menjadi kreatif. Seniman yang mampu memelihara kegelisahan dalam hatinya, menjaga adanya ketidakmapanan situasi-kondisi, serta menemukan sesuatu yang tidak ideal dalam benaknya adalah seniman kreatif yang mampu menghadirkan keindahan bagi seluruh (calon) penikmat karya-karya seninya. Keindahan yang lahir dari rahim pribadi gelisah seperti ini bersifat holistik, menyeberangi batas-batas geografis juga kultural, serta tak mudah lapuk dimakan usia (apalagi digilas oleh tren populer).
Memelihara kegelisahan adalah sebuah proses yang gampang-gampang susah. Gampang apabila dilakukan dengan meniadakan motif komunitas apalagi motif-motif pribadi yang beraroma profit oriented. Menjadi sebuah proses yang susah ketika diri kita terlalu asyik bermain-bermain dalam kubangan imajinasi ciptaan kita sendiri dan atau imaji yang diciptakan oleh sumbu-sumbu pemegang kebijakan maupun NGO sebagai founding. Kreatifitas menjadi produk langka dan mahal yang susah untuk dilakukan. Sehingga penikmat karya seni tidak menemukan keindahan dalam karya-karya seni yang lahir dari rahim pribadi yang tidak mampu memelihara kegelisahan ini.
Karya seni yang lahir pun menjadi sesuatu yang tidak mengundang empati dan simpati (calon) penikmatnya, apalagi inspirasi. Sementara, salah satu pilar wajib dalam sebuah karya seni selain sebagai tontonan yang disuguhkan untuk dinikmati adalah tuntunan. Karya seni juga menjadi jembatan tersampainya pesan-pesan moral kemanusiaan dan ketuhanan yang mengajarkan penikmatnya untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Melalui idiom-idiom yang ada dalam karya seni, seniman menyelipkan inspirasi bagi (calon) penikmatnya secara holistik untuk lebih peka dan peduli dengan apa yang diberikan Tuhan di hamparan muka bumi (makrokosmos) dan di dalam hati kita (mikrokosmos).
Apabila nabi-rasul mendapatkan wahyu dari Tuhan. Maka atas kebaikan-Nya pula, Beliau memberikan ilham ke dalam diri pribadi yang sudi-sedia memelihara kegelisahan di ruang batinnya untuk dikreasikan menjadi karya seni yang indah juga menginspirasi bagi (calon) penikmatnya. Seiring berayunnya bandul jam dinding, sejenak dialektika antara seniman-karyanya-penikmat karya-karyanya yang telah menjelma menjadi onggokan benang kusut ini semoga sedikit mengurai.
***********
*) berdiam di @anjrah_4Sasgur
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H