Mohon tunggu...
Anjrah Lelono Broto
Anjrah Lelono Broto Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Penulis freelance

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Re, Ketika Musim Duren Datang

4 April 2016   17:34 Diperbarui: 4 April 2016   21:40 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="putus cinta - copyright www.psychoshare.com"][/caption]Kepercayaan tidak hanya hadir dengan sayap-sayap langit, terbang di atas bebukitan dan menyelipkan keajaiban dalam setiap kepakannya. Kepercayaan seperti halnya batang pensil yang sering kita perebutkan sebelum pelajaran diawali, musti diraut, menuntut ditimang, dan memohon untuk disimpan dengan ucapan terima kasih. Jika kau masih memintaku untuk memelihara kepercayaan, sebenarnya kau hanya minta agar matahari itu terbit lagi di ufuk timur dan berpamitan di kaki barat kala senja. Ku merasa, telah kupintal benang kepercayaan tanpa nestapa, apalagi kidung pusara.
      Teman-teman sekantorku setiap hari bercerita tentang kelucuan, juga kenakalan anak-anaknya. Aku semakin tua, Re.
      Kutekan tombol “save”, lalu gadget itu kusimpan di tas pinggangku. Kutarik sekali lagi ransel di pundak. Berat terasa menggayut. Aku yang semakin tua? Atau memang terlalu banyak isi tas ransel coklat yang lama hanya teronggok di atas almari kamar kontrakanku. Sejak lulus kuliah, aku tidak lagi naik gunung. Aku takut kutukan Gie, mati di atas gunung karena keudzuran badan yang tidak berkompromi.
      Menghirup udara tanah kelahiranku, segenap khayal meloncat-menari hingga aku kesulitan menangkap cuping telinganya. Mataku menumbuk ke arah jalan setapak menuju rumah kakek. Dulu, jalan ini hanya tanah yang licin, terlebih saat musim hujan seperti sekarang. Tetapi, jalan setapak ini sekarang telah dihampari blok-blok paving. Meski juga licin, namun lumpur hitam yang biasanya menghiasi kaki tersurut dan tersudut. Aku melangkah ringan.
      Karena setiap usia memiliki masa, kuncup-kuncup akan bermekaran. Bebaris pohon duren yang dulu hanya beberapa hasta di atas tingkap genting rumah kakek pun semakin menjulang. Di balik daun-daunnya, barisan buah duren yang telah ranum menjuntai menyapa. Aromanya menebar ke empat penjuru mata angin. Ekor mataku menangkap ada salah satu yang kulitnya telah retak. Pantas aromanya genit menggambit hidung. Tak terasa, aku menelan kembali air liur di mulutku.
      Pelataran rumah kakek yang dulu puas dilibas cecaran cahaya matahari kala di puncak terik, kini pun rindang. Telah bertahun, aku tak menyambangi kakek, lelaki jawara pemanjat pohon duren yang begitu kupuja kala kanak. Dulu, aku dan teman-teman sebayaku sering bermain di pelataran ini. Petak umpet, jamuran, gobak sodor, dan patil lele sering kali kita mainkan menjelang senja. Tetapi, Re selalu hanya berdiri di seberang jalan memandang kami. Dia tidak pernah gabung bermain di pelataran ini. Waktu itu, aku terlalu kanak untuk menanyakan sebabnya.
      Pepohonan sebentuk buah dengan duri-duri sebesar ibu jari yang berbaris rapi seperti serdadu-serdadu kahyangan menyelimuti tanah kelahiranku, Wonosalam, sebuah kota kecamatan di ujung timur-selatan Kabupaten Jombang. Dalam bahasa Jawa, “wono” berarti 'hutan' dan “salam” adalah nama sejenis tumbuhan yang buahnya kecil-kecil sebesar kelereng, bahkan lebih kecil. Mungkin dulu hutan di sekitar tanah ini penuh dengan pohon salam. Tapi sekarang, pohon-pohon duren dan cengkeh yang justru menjadi tuan di hutan yang memagari tanah ini.
      Dulu sewaktu kanak, kakek sering cerita kalau orang-orang Belanda yang menjadi awal mula dikembangkannya tanaman duren di Wonosalam. Di masa penjajahan Belanda, kira-kira di abad 18, buah yang memiliki nama latin Durio Zibethinus itu pertama kali ditanam di tanah Wonosalam. Ketika aku belajar sejarah di bangku sekolah, aku kian tahu bahwa orang-orang Belanda, juga Spanyol, dan Portugis (baca; Portugal) yang membuat hutan-hutan alami di Tanah Air kita berubah menjadi hamparan lahan perkebunan, dari teh, tembakau, tebu, kakau, cengkeh, hingga duren.
      “Enaknya… Andai kita tak dijajah bangsa-bangsa Eropa, belum tentu pula kita mengenal tanaman-tanaman itu ya, Pak,” celetukku pada sebuah diskusi kelas. Mendengarnya bapak guru Sejarahku langsung merengut. “Apa pun enaknya, yang namanya dijajah itu tetap tidak enak, Win.”
      Seorang lelaki tua dengan tongkat mengkilap di tangan kanannya berdiri memicing-micingkan mata sepuluh meter di depanku. Kaca matanya dilepas, digosok-gosok, lalu menyinggasana kembali di mata tuanya. Aku segera menubruknya. Kupeluk badan renta itu. Erat. Erat sekali. Aku ingin membunuh rindu dari langit-langit hingga lantai hatiku.
      Kakek adalah lelaki yang disayangi Tuhan. Ingatannya masih utuh. Terbata ia sebut namaku dan mengimbangi pelukanku tak kalah eratnya. Entah berlari ke mana tongkat hitamnya yang mengkilat. Meski terbata, berulang kali bibirnya membisikkan namaku dan mengucap syukur. Tuhan sayang kepada kami.
      Dia lalu berseru keras memanggil-manggil seisi rumah. Seorang perempuan dengan wajah yang mirip sekali dengan ibuku muncul dari samping rumah. Tidak beberapa lama kemudian, seorang laki-laki setengah umur berdiri dari kibaran rumput gajah setinggi dada di sisi kanan rumah kakek. Dia juga berlari menghampiri. Semua tertawa. Semua bahagia. Memang, menyambung sesuatu yang lama tidak tersambung adalah nikmat luar biasa. Melampaui manis gula. Bersanding dengan manis daging buah duren.
      Beriring kami memasuki rumah kakek. Namun, andaikata di antara yang menyambutku siang ini ada dia.

*****

     Pernah ku bermimpi tentang burung merpati yang terbang memutar lalu hinggap di tanganku. Cengkeramannya halus. Bulunya putih. Tatapannya ungu. Dan, saat kukirim email tentang itu padamu. Sebulan kau baru membalasnya. Kau menyebutnya sebagai harap-hasrat setiap insan tentang pernikahan.
      Terlalu naïf rasanya, Re, jika kausebut mimpiku itu sebagai ungkapan menagih janjimu di masa lalu. Sementara aku telah memelihara kepercayaan ini di dada kehidupanku. Sebuah usia pemberian-Nya yang terus menua. Bak pepohonan duren tua tempat kita berteduh kala janjimu itu terucap, pohon-pohon itu telah lanjut, empunya bisa menebangnya karena tak lagi ada buah di ketiak dedahannya.
      Rahimku bisa kering, Re, aku takut Tuhan terburu-buru memanggilku.
      Kulanjutkan menulis di papan elektronik yang sabar menemani. Sudah kuhubungi beberapa kali dia, tapi tak diangkatnya. Sejam lalu, dia hanya mengirim pesan singkat bahwa sedang ada pertemuan yang molor dengan tokoh-tokoh warga di desa dekat air terjun Pengajaran. Kuharap pohon-pohon duren di kebunnya juga sedang ranum-ranum seperti di pelataran rumah kakek.
      “Win, ayo sini, seperti anak pingitan saja. Masak harus dipanggil dulu baru keluar kamar. Ayo makan siang bareng-bareng, Likmu sudah duluan nyendok ini,” suara bulik, perempuan yang memiliki wajah mirip dengan ibuku, terputus. Samar-samar kudengar kakek memarahinya karena menggunakan kata ‘pingitan’ untuk menyebutku.
     “Iya, Bulik. Ini masih pakai baju,” sahutku segera dengan berdusta. Amarah kakek yang kudengar samar kini berhenti.
      Aku keluar kamar. Kamarku dulu saat kanak bersama bapak dan ibu. Saat itu, bapak dan ibu belum memiliki rumah sendiri dan Bulik belum menikah dengan Paman. Dengan bergaya seakan merapikan pakaian aku melangkah ke arah meja makan. Mataku menumbuk pada Bulik yang menyiapkan piring buat Kakek, Paman sudah menyilangkan kaki dengan mulut penuh.
      “Win, sambel bulikmu josss…”
      “Tomatnya segar, Win, dari kebun belakang,” Bulik mengerling ke arahku dengan semangat. “Ibumu juga masih suka nyambel seperti ini? Ulegan-ku tidak kalah dengan ibumu.”
      “Aku nambah ini,” jemari Paman menuding piringnya dengan tertawa lebar.
      Aku tersenyum bahagia.
      Jemari Kakek terasa di pundakku. Tak kudengar langkah kaki atau ketukan tongkatnya di lantai tadi. Dibimbingnya tanganku untuk mengambil piring, menyendok nasi, dan menjumput sambel tomat memerah di cobek lebar. Lalu, dibimbingnya aku pada tumpukan gorengan gurami. “Ambil yang paling besar! Ini tidak beli, Nduk. Dari kebun sendiri.”
      “Sedapppp…,” sahutku.
      “Nikmatilah. Inilah Wonosalam, rumahmu, negeri kakekmu,” seru Kakek sembari tertawa.
      Kami berempat pun tenggelam dalam keriangan gurami goreng berselimut sambel tomat. Di luar gerimis mulai turun. Dedaunan pohon duren terlihat mengkilap basah. Dingin udara pegunungan menelusup malu-malu ke pori kulit. Mengiringi suapan pamungkas, bayangan lelaki berambut ikal menelusup di jendela mata. Susah sekali rasanya melewatkan hari tanpa bayang-bayangnya.
      “Bapakmu kerasan di luar negeri, Win. Tiga hari yang lalu, dia telepon, dia mengabarkan perihal kedatanganmu. Bapakmu ingin agar kamu bisa melupakan…” kakek menghentikan kata-katanya. Meja makan yang telah kosong mendadak kian sunyi. Bulik di dapur. Paman pamit ke mushola selepas mandi tadi.
      “Re bukan embahnya, Kek.”
      “Sesuatu yang pernah terjadi tidak mudah dilupakan begitu saja. Apalagi bagi segelintir orang di sini. Tanah ini kecil. Meski luas, orang-orangnya hanya sedikit. Win, ingatan kami masih kuat,” suara Kakek terdengar berat. “Sulit untuk melupakan siapa mbah anak itu. Dulu dia yang terdepan membubarkan anak-anak ngaji. Itu dosa besar, Nduk. Kakek dan orang-orang sini yakin, mbahe juga yang menunjukkan rumah Kyai Mansur. Hingga sampai sekarang tidak ada kabar beritanya.”
      Tak sadar ada aliran air jatuh di pipiku. Hangat.  
      “Tetapi, bukan Re yang melakukan itu,”
      “Itu pelajaran berharga, Nduk. Seandainya saja mbahe dulu pikiran panjang, pasti dia juga berpikir bahwa kelak anak-cucunya juga akan menuai hasil perbuatannya. Kami pernah bertengkar sebelum peristiwa itu. Kubilang kepadanya tentang Kanjeng Nabi dan Gusti Allah Kang Murbeng Dumadi. Tapi mbahe malah ngotot kalau Gusti Allah telah mati. Sejak dia ketemu saudaranya dari Curahmalang, kelakuan dan omongannya jadi aneh.”
       Kakek kemudian berdiri. Matanya nanar menghadap jendela.
      “Menikahlah, Nduk. Tapi jangan dengan anak itu,” gumamnya nyaris tak terdengar setelah beberapa lama.
      Gerimis di luar telah menjelma menjadi hujan yang lebat.

*****

      Lelaki berambut ikal itu sekarang berdiri di depanku dengan sebilah pedang di mulutnya. Meski matanya berkaca-kaca. Namun, lidahnya tajam seperti sembilu dari batang bambu segar. Pedih menyayat dia katakan tentang janji yang tak bersahabat untuk dipenuhi. Di bawah lindungan maaf, kemaklumanku coba diunduhnya walau tertatih. Aku sendiri masih samar. Benarkah ini Re?
      “Setelah puluhan tahun, ternyata tidak ada yang berubah dengan orang-orang di tanah ini, Win. Bukan aku tak mau, tapi aku tak mampu mendulang restu keluargamu.”
     “Inikah Re yang dulu kukenal dan berjanji?” aku memalingkan wajah. Entah, seakan aku melihat sebuah kepura-puraan dan atau ketakutan yang terpelihara di sorot matanya.
     “Aku tahu, aku mengecewakanmu. Tapi bagi orang-orang di tanah ini, ada sejarah yang tidak bisa diubah. Aku sudah berusaha, Win.”
     “Aku dulu sudah mengajakmu pergi dari sini. Tanah baru, harapan baru. Tanah ini membutuhkanmu, kau bilang begitu. Re, sebenarnya sejarah yang tidak bisa berubah atau dirimu yang enggan mengubah sejarah? Aku sudah menunggumu terlalu lama. Mengapa tidak sejak dulu saja kau putuskan?”
      Tak ada jawaban. Senyap. Hanya suara binatang-binatang kecil mendesing panjang di antara pepohonan duren di kebun Re yang terdengar. Di atas, buah-buah duren yang ranum bersaksi dengan sedu sedan terbata. Selain rumah kayu ini, mereka pula yang menjadi saksi kala janji itu dulu terucap. Janji Re untuk meminangku setelah dapat mengambil hati keluargaku.
      “Jadi semua berakhir di sini, Re?”
      Masih tidak ada jawaban. Kian senyap.
      Lama tak terdengar suara. Aku tak sabar. “Ternyata selama ini aku hanya memuja pecundang.”
      Langkah kuhentak. Aku ingin segera beranjak pergi dari rumah kayu di kebun duren ini. Tanpa menoleh lagi, langkah terus kuhentak. Aku tak ingin Re melihatku menangis. Bagiku, luka ini telah sedemikian dalam, mengapa harus kutambah dengan mempertontonkannya. Lagi pula, itu tak akan mengubah keadaan, putusku. Meski separuh hati ini berharap akan terdengar seruannya memanggil namaku, tapi langkah ini semakin kuhentak ke depan tanpa menoleh lagi.
      Langit di atas tanah ini memang masih biru. Tidak berubah merah, hijau, apalagi kuning. Tetapi, hati manusia bukanlah langit. Ketika musim duren datang, sepanjang ada hasrat menggunung, buah duren yang ranum pun dapat diunduh utuh. Ada tali. Ada betis-betis perkasa pemanjat pohon. Ada pengumpul buah yang membaca doa dan cakap tawa. Re, jika kau sungguh ingin menyuntingku, pasti kau bisa meluluhkan hati keluargaku.
      Sementara, biru langit itu sendiri juga dari biru laut, Re. Pandangan lahir dari pantulan cahaya. Apakah kau sungguh-sungguh saat berjanji dulu? Apakah kau sungguh-sungguh ingin memenuhi janjimu? Apakah kau sungguh-sungguh mencintaiku?
      Air mataku jatuh di atas gadget-ku. Kumatikan segera. Aku tidak ingin menulis lagi. Pohon-pohon duren di tepi jalan seakan bertepuk tangan saat kutinggalkan asap mobilku di belakang.

***** 

Padepokan Girilusi, Januari 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun