Mohon tunggu...
Anjrah Lelono Broto
Anjrah Lelono Broto Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Penulis freelance

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Birokrat Kita, In Reflectio

27 November 2011   09:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:08 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menatap laju-tersendatnya gerbong mutasi di lingkungan birokrasi di Jawa Timur, baik di ranah sipil maupun militer, seperti halnya sigapnya pergantian pucuk pimpinan korps berseragam coklat di Kabupaten Mojokerto yang ‘konon’ terkait dengan beruntunnya kejadian berupa kecelakaan lalu lintas yang merenggut puluhan nyawa serta kegagalan mem’peties’kan kasus ijazah palsu orang nomor dua di lingkungan DPRD Kabupaten Mojokerto, ataupun banyaknya kursi kepala dinas yang diisi dengan pribadi yang menikmati perpanjangan masa kerja di lingkungan birokrasi Kabupaten Jombang. Ada apa dengan birokrat kita?

Hilang Sejati

Adalah sebuah kelaziman fenomena bahwa birokrat dalam sebagai pribadi yang tengah membangun eksistensinya dalam gerbong birokrasi merupakan elemen publik yang sangat menggoda untuk di’dayaguna’kan dalam agenda pesta demokrasi, baik dalam skup lokal, regional, bahkan nasional. Kemenggodaan eksistensi birokrat tidak hanya sebagai lumbung perolehan suara, namun pendayagunaan eksistensi mereka sebagai ‘mesin politik’ tidak kalah efektif dan efisiennya dibandingkan organisasi massa bahkan partai politik itu sendiri.

Padahal, birokrat merupakan elemen pemegang pe­ran vital dalam pendewasaan kehidupan berbangsa dan bernegara. Birokrat menjadi dinamisator, stabilisator, dan fasilitator dalam perjalanan pem­bangunan di suatu negara. Eksistensinya yang begitu berharga menjelmakan birokrat sebagai primadona pemegang kunci untuk meraih, bahkan mempertahankan kursi kekuasaan. Akibatnya, birokrat pun terjebak dalam rentanitas ketidaknetralan, bahkan menipiskan batas antara pela­ya­nan publik bukan pelayan pe­nguasa.

Ketika birokrat telah kehilangan batas seperti di atas, maka birok­rat pun kehilangan kesejatiannya sebagai Social Eq­ui­ty Agent (agen keadilan sosial). Birokrat yang benar-benar menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi maupun golongan merupakan jantung kehidupan agen keadilan sosial. Dalam kesejatian entitasnya, birokrat menjadi pelayan publik, dimana publik sebagai citizen (warga negara) adalah tujuan utama eksistensinya. Bukan lebih menomorsatukan kepentingan penguasa atau pi­hak lain yang ternyata justru kesejatian eksistensi biro­krat itu sendiri.

Mungkinkah lajunya gerbong mutasi di Kabupaten Mojokerto terkait dengan aksi ‘pembersihan’ yang dilakukan oleh hegemoni kekuasaan baru di lingkungan birokrasi? Dan atau mungkinkah tersendatnya gerbong mutasi di Kabupaten Jombang bertaut dengan masa-masa akhir dua periode pemegang hegemoni kekuasaan? Kemungkinan-kemungkinan tersebut bisa saja menjadi fakta, atau mungkin hanya berhenti menjadi imajinasi ketika kanal-kanal informasi seperti media massa maupun jejaring sosial pun telah kehilangan kesejatiannya sebagaimana para birokrat.

Konsep Governance

Kehadiran konsep governance begitu me­narik untuk dicoba-dekati, bahkan dicoba-terapkan di beberapa negara berkembang. Meski, hingga saat ini banyak praktisi dunia administrasi negara masih mempertanyakan kemungkinan adanya ‘agenda terselubung’ dari pemaksaan peng­gunaan konsep governance  di ne­gara-negara yang sedang ber­kembang.

Konsep gover­nance mengidealkan adanya kesetaraan antar pilar state, civil society, dan swasta. Interaksi kelindan dominasi antar pilar yang selama ini terjadi menunjukkan bahwa libidonomic telah menggantikan logika negara dalam paradigma maupun teluran-teluran kebijakan.

Apabila kita coba menautkan antara birokrat sebagai agen keadilan sosial konsep governance maka akan terjadi pertentangan di antara dua konsep di sini. Kon­sep birokrat yang menjadi pelayan publik (citizen, pen) akan membuang muka dengan konsep governance yang mengidealkan kesetaraan peran antara elemen negara, civil society dan swasta. Jikalau,  birokrat (sebagai alat negara) itu menomorsatukan publik maka terciptalah ketidaksetaraan di antara pilar-pilar, artinya telah terjadi pelanggaran dalam konsep governance. Akan tetapi, andai kita menganut konsep governance maka kesejatian birokrasi sebagai agen keadilan sosial dan pelayan publik akan berhenti menjadi mimpi tanpa implementasi.

Mungkinkan birokrat kita mau dan mampu menemukan kesejatian eksistensinya sebagai agen keadilan sosial?

Hanya jujuran hati nurani mungkin yang bisa menjawab pertanyaan tersebut, apalagi dewasa ini konsep governance telah begitu didewa-dewakan bahkan telah menjadi entitas absolutisme demokrasi. Akan tetapi, sebagaimana ungkapan “Iblis tak pernah mati, namun bukan pula alasan bagi kita untuk berhenti melawan-membunuh Iblis” penulis optimis bahwa birok­rat kita sebenarnya mau dan mampu menemukan kembali kesejatiannya sebagai agen keadilan sosial dan pelayan publik. Revitalisasi tujuan awal dari eksistensi birokrat sebagai pelayan publik dapat kita awali dari jujuran hati nurani masing-masing. Apalagi, birokrat yang lebih menomorsatukan citizen bukanlah sebuah pengkhianatan, justru birokrat yang lebih berpihak pada penguasa (the state) atau pengusaha (swasta) yang akhirnya menjadikan negara terperosok dalam entitas Mafiastaat.

Birokrat memang alat negara, namun kontrak sosial tujuan didirikannya negara adalah kesejahteraan warga negaranya. Pada bagian inilah, media yang digunakan adalah berpihaknya birokrat pada warga negara. Birokrat tidak menomorsatukan negara, tidak pula pengusaha, namun birokrat idealnya menomorsatukan warga negara. Sehingga institusi birokrasi menjadikan pilar keempat dalam governance.

Dalam konteks ini, negara harus didefinisikan sebagai decision makers bukan decision implementation, karena yang menjadi pelaksana kebijakan adalah birokrat. Ketika kita ingin mewujudkan birokrat yang mau dan mampu menjadi agen keadilan sosial maka peran birokrat harus dipisahkan dari agenda pengambilan kebijakan strategis. Birokrat diberikan kewenangan untuk mengambil kebijakan yang sifatnya teknis, sehingga birokrat akan dapat bekerja dengan memperhatikan kepentingan warga negara secara independen.

Independensi Untuk Publik

Birokrat sebagai pribadi yang independen, murni eksistensinya dikonstruksi dari trust untuk menjadi agen keadilan sosial sebagaimana termaktub dalam Sila Ke-5 Pancasila, serta pelayan publik (citizen, pen) sebagai implementasi nyata spirit tersebut akan menjadikan kinerja birokrasi kita menjadi lebih baik, bermakna, dan benar-benar bermanfaat bagi kemaslahatan umat, sebagai entitas mendasar publik itu sendiri. Pada bagian seperti ini, laju-tersendatnya gerbong mutasi di lingkungan birokrasi sebagaimana di awal tulisan ini hanya akan menjadi mitos kelindan perebutan hegemoni kekuasaan, dengan birokrat sebagai ‘lumbung suara’ dan ‘mesin politik’ untuk meraih-mempertahankan hegemoni kekuasaan.

Lalu, sampai kapan birokrat kita sendiri sudi-sedia menjadi ‘lumbung suara’ dan ‘mesin politik? Ataukah memang tidak pernah ada kemauan-kemampuan birokrat kita untuk menemukan kembali kesejatiannya sebagai pelayan publik?

****************

dimuat di harian Surabaya Pagi, Edisi 11 November 2011

tautan:

http://www.surabayapagi.com/index.php?3b1ca0a43b79bdfd9f9305b812982962ecf6c9190f8c1e9ab38b184fffa09964



Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun