AWAS ADA VIRUS DEMAGOGI!!! Virus Demagogi; Sadis Namun Efektif Mendung yang menggayut di atas langit Indonesia memang menjadi habitat nyaman proses mutasi sebuah virus yang bernama Demagogi. Dalam ilmu hukum dan politik, virus Demagogi dipandang sebagai upaya untuk mengeksploitasi perasaan takut, cemas, dan marah kepada pihak lain demi kepentingan politik dan kekuasaan. Virus Demagogi berusaha mereduksi problematika yang tengah dihadapi oleh masyarakat Indonesia menjadi sebuah wacana bahwa kemunculan problematika ini karena kehadiran dan peran pihak-pihak (yang hari ini sedang menjadi lawan politik). Virus Demagogi kemudian menjadi pemicu spirit antipati kepada pihak-pihak lain, sehingga menciptakan atmosfer persaingan yang kurang sehat seperti berebut klaim kebenaran, saling mendiskreditkan, hingga wacana pengelompokan-pengelompokan massa yang berbau SARA. Kesadaran kita hendaknya mampu mewaspadai bahwa virus Demagogi merupakan ancaman serius bagi demokratisasi Indonesia di era baru usia Indonesia yang bernama Reformasi.. Sejatinya, ada benang merah antara virus Demagogi dan Manajemen Konflik. Virus Demagogi lebih fokus pada langkah-langkah sistematis dan intelek pengombang-ambingan perasaan serta kepercayaan masyarakat, menggunakan isu-isu tertentu, semisal agama, kemiskinan, pengangguran, dsb, untuk kepentingan politik dan kekuasaan. Sedangkan Manajemen Konflik, lebih beraroma devide et impera, dengan menciptakan konflik-konflik di tengah kubu kelompok politik lawan, sehingga mencerai-beraikan barisan sehingga mudah untuk diganyang. Keduanya sama-sama menggunakan isu sebagai piranti dalam pencapaian target dan tujuan. Meski hanya sebatas isu, dan validitas kesahihannya dipertanyakan akan tetapi akan menimbulkan efek langsung pada opini dan keyakinan masyarakat, secara umum. Pengidap virus Demagogi enggan melakukan pendidikan politik kepada masyarakat dengan membangun budaya kritisisme dan objektif dalam memandang dan mencari akar permasalahan secara kolektif untuk menemukan solusi. Virus Demagogi akan bermutasi menjadi lebih kuat dan membahayakan jikalau ada media massa yang ikut terinfeksi sehingga menyulap performa tampilan informasi beritanya menjadi berpihak, mendiskreditkan, mengangkat isu-isu rawan tanpa objektifitas, hingga antipati, yang memberikan efek lebih luas kepada masyarakat. Dalam kerasnya rimba perpolitikan, virus Demagogi memang cukup efektif apabila digunakan sebagai mesin politik untuk mendulang suara dan membangun opini di tengah masyarakat karena relatif instant, serta tidak terlalu memerlukan curahan waktu, tenaga, dan biaya. Pertama, pengidap virus Demagogis senantiasa mencari-cari kesalahan kelompok lain atas beragam problematika yang tengah melanda. Dirinya tidak perlu melakukan pengkajian atau riset mendetail dan menyeluruh untuk mencari latar belakang dan penawaran solusi terhadap suatu permasalahan. Cukup dengan mencari kambing hitam maka suatu permasalahan akan ‘terseleseikan’ dan opini masyarakat akan memberikan penilaian negatif pada kelompok lain. Antipati terhadap kelompok lain ditumbuhkembangkan, dirawat dan jika perlu intensitasnya diperkuat agar semakin mematikan kelompok tersebut. Di sisi lain, antipati terhadap kelompok lain dan penciptaan anasir ‘musuh-musuh imajiner’ akan semakin mempererat ikatan internal kelompok, terutama di lapisan bawah. Fanatisme kelompok berpotensi untuk berkembang menjadi chauvinisme sehingga pertaruang antar kelompok politik akan lebih mudah, karena beragam permasalahan yang muncul dari kelompok lain akan diseleseikan dengan pendekatan non-kompromistis (destruction movement). Apabila kepentingan politik memerlukan sebuah aksi riil maka antipati tersebut akan dengan mudah dipicu menjadi konflik terbuka yang menguntungkan para provokator. Kedua, pengidap virus Demagogi senantiasa bersenjata wacana ad hominem (menyerang pribadi seseorang) dan wacana antipati kelas. Dengan wacana ini, pengidap virus Demagogis berupaya membangun opini publik bahwa seorang figur politisi tidak bisa lepas dari lingkungan dan kelas di mana berada dan dari mana dirinya berasal. Dengan kata lain, pengidap virus Demagogi cenderung mudah menyeragamkan identitas paradigma seseorang atau kelompok menjadi sesuatu yang mutlak. Padahal dalam kenyataannya, tidak mungkin ada keseragaman paradigma individu yang berlaku mutlak dan tidak berubah (berkembang). Pembangunan wacana seperti ini sangat potensial untuk berkembang menjadi konflik-konflik SARA, menciptakan kebencian tanpa alasan spesifik, bahkan cenderung mengalihkan perhatian dari substansi permasalahan, tetapi sangat efektif apabila digunakan untuk menjatuhkan lawan dan memuluskan jalan ke singgasana kekuasaan. Pendiskreditan seseorang atau kelompok pada latar belakang agama, partai, atau etnis tertentu, diupayakan oleh pengidap-pengidap virus Demagogi untuk mengkarantina kelompok lain dari bentuk-bentuk simpati dan solidaritas karena kelompok lain tersebut akan selalu dicurigai dan diharamkan untuk berkembang atau menjadi pemenang oleh masyarakat. Ketiga, pengidap virus Demagogi biasanya juga piawai dalam membuat rancang bangun dan rekayasa skematisasi. Mekanisme yang disebut skematisasi adalah upaya menyederhanakan suatu gagasan pemikiran agar bisa memiliki efektivitas sosial; maka pemikiran atau gagasan itu harus bisa menjadi opini. Opini inilah yang membentuk keyakinan. Dari keyakinan tinggal satu langkah untuk sampai pada tindakan. Oleh karena itu, pemikiran harus rela kehilangan rigoritasnya menjadi lebih sederhana dan mudah ditangkap khalayak agar menjadi opini. Secara ideologis, skematisasi tidak menjadi sebuah permasalahan. Adalah sebuah kewajaran, apabila dalam proses pemahaman, materi membutuhkan penyederhanaan. Tetapi, resikonya adalah penyederhanaan tersebut sangat mudah untuk diselewengkan menjadi reduksi. Reduksi ketika kompleksitas problematika bangsa Indonesia akan dapat dan mudah diatasi dengan berkuasanya partai tertentu. Reduksi ketika media-media massa ikut mengambil peran dengan menampilkan berita beraroma opini bahkan fiksi. Deliberatifisasi Demokrasi; Harus Bagi bangsa Indonesia yang kenyang dengan kehidupan demokrasi dari rezim ke rezim maka virus Demagogi merupakan ancaman berbahaya. Provokasi dan eksploitasi opini masyarakat yang bermuara pada dis-integrasi dapat dibendung melalui komunikasi politik yang sehat. Masyarakat akan belajar dari keteladanan politisi dan mampu berperan aktif dalam proses legislasi hukum, termotivasi untuk memobilisasi solidaritas sosial (tanpa pengantagonisan figur atau kelompok). Sehingga dapat menanggalkan perspektif etnosentris para anggota legislatif yang bersemayam di gedung perwakilan rakyat. Dalam komunikasi politik yang sehat, keautentikan bahasa dan tema komunikasi akan mendorong komunikan dan komunikator mencapai kesepahaman berpijak pada perspektif communication partnership sehingga menjadi pendidikan politik bagi masyarakat.. Komunikasi politik yang sehat antar politisi akan bermuara pada urgensi pemahaman bangsa Indonesia kepada Demokrasi Deliberatif sebagai langkah riil merekonstruksi proses komunikasi. Demokrasi memenuhi kriterium deliberatif jikalau proses penentuan kebijakan publik diuji terlebih dahulu melalui konsultasi publik. Demokrasi deliberatif akan menumbuhkembangkan intensitas partisipasi masyarakat (warganegara) dalam proses pembentukan aspirasi dan opini agar kebijakan-kebijakan dan undang-undang yang dihasilkan oleh pemerintah semakin mendekati harapan warganegara. Kebijakan publik yang berimbas langsung kepada masyarakat tidak lagi muncul dan diputuskan sepihak oleh wakil-wakil rakyat di legislative karena ada komunikasi intens antara wakil dan yang diwakili. Pada bagian ini, hubungan partai dan konstituennya tidak lagi bersifat insidental sebagai ritual lima tahunan yang putus-nyambung, melainkan akan terus terjaga. Partai dapat menjalankan fungsi dan perannya sebagai wahana pendidikan politik kepada warganegara, sedangkan warganegara akan merasa memiliki bangsa dan negaranya melalui peran aktifnya dalam intensitas komunikasi menentukan kebijakan publik. Demokrasi deliberatif memposisikan pengambilan keputusan partai tidak berdasarkan jumlah minoritas-mayoritas atau bahkan survey-survey un-real, melainkan terikat pada proses pengambilan keputusan yang open minded terhadap kritik, saran, dan revisi secara transparan, penuh pertimbangan, diskursif dan argumentatif. Jadi, faktor yang dominan adalah prosedur bagaimana memperoleh opini masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, legitimasi bukan bergantung pada fakta mayoritas suara yang telah diraih, melainkan pada fakta bahwa cara meraihnya jujur dan adil. Di sisi lain, wacana kerjasama atau koalisi partai politik berangkat dari platform pemikiran dan harapan konstituennya yang ditampung dari komunikasi yang sehat. Bukan pemikiran dan harapan politisi di level pusat partai yang berakhir pada bagi-bagi kekuasaan semata (politik dagang sapi). Gerutu konstituen miskin perwadahan ini akan mudah terjangkiti apatisme akut sehingga golput adalah fenomena akibat, bukan sebab. Masyarakat yang sehat akan menjadi lokus konsteslasi kuasa setiap kelompok masyarakat melalui mekanisme yang adil, manusiawi dan demokratis, bukan dengan anarkhisme dan pemaksaan kehendak, pendewaan hasil survey-survey un-real, bahkan de-aktifasi peran masyarakat. Eisenstadt (2002) mengungkapkan bahwa masyarakat yang sehat setidaknya memiliki empat komponen. Pertama, peran aktif seluruh elemen masyarakat, baik yang di pinggir atau yang di tengah kursi kekuasaan, dalam sebuah proses interaksi dan komunikasi yang sehat serta menjunjung tinggi hak asasi. Kelompok mayoritas tidak mengkultuskan diri atau tidak memperhatikan suara kelompok minoritas, dan kelompok minoritas seyogyanya tahu diri dengan menjaga keseimbangan harmonisasi di mata publik. Kedua, adanya proses interaksi dalam bentuk wacana publik yang sehat di antara elemen-elemen masyarakat tersebut. Proses interaksi sosial bisa berupa negosiasi, kontestasi kuasa, bahkan konfrontasi yang berpijak pada kesepakatan mekanisme normatif, seperti undang-undang, adat lokal, dan sebagainya. Ketika salah satu elemen masyarakat mengingkari aturan bersama itu, konsekuensinya adalah munculnya ketidakpercayaan, prasangka, bahkan disensus yang mengarah konflik terbuka berbau anarkhis. Ketiga, isu yang dikembangkan dalam wacana publik senantiasa terkait dengan kepentingan segenap warga masyarakat, bukan sekadar representasi dari kepentingan sekelompok atau segelintir masyarakat, dalam mendefinisikan apa yang terbaik bagi mereka secara keseluruhan (common good). Mengingat yang menjadi tolok ukur adalah kolektivitas, maka harus ada kerendahhatian dari masing-masing elemen masyarakat untuk tidak memaksakan diterapkannya nilai-nilai tertentu yang tidak mewakili kebersamaan. Keempat, faktor otoritas sebagai arbitrer legitimate dalam proses kontestasi kuasa yang diperankan oleh agen-agen pemerintah. Seharusnya peran arbiter di sini tidak lebih dari sekadar mengatur lalu lintas public discourse dimaksud, tidak lebih dari itu. Kenyataannya, pemerintah sering tidak bisa bertindak netral. Ia sering terjebak derasnya arus kepentingan di antara elemen-elemen masyarakat yang bertikai. Di tengah-tengah kebebasan beropini dan menyuguhkan fakta, kesadaran besar bahwa kita adalah orang Indonesia seyogyanya menjadi landasan berpikir dan bertindak masyarakat, terlebih politisikus yang mampu berdiri di depan kamera televisi karena suara titipan kita. Kesadaran ini akan menuntun jalan pemikiran dan langkah nyata kita ke arah Indonesia yang lebih baik. ************
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H