Mohon tunggu...
Anjrah Lelono Broto
Anjrah Lelono Broto Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Penulis freelance

Selanjutnya

Tutup

Puisi

7 Sajak Egydia - Anjrah Lelono Broto

10 Januari 2011   16:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:45 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

# 1

Ku Tulis Namamu, Egydia

Desing udara perempatan ini tulis namamu, Egydia

nama perempuan ke sekian yang panjatkan doa

sederhana tentang berusainya kisah purba;

dari pinangan ke pinangan

Egydia, di perempatan ini juga

engkau taut kembali bibir hatimu yang terluka

tatkala pagi yang dinanti tiada jua

bersimpuh di haribaan harap jiwa

“Aku Egydia, Kakak. Belati asmara yang mengoyak

bibir hatiku tiada setenang yang berkilau di genggamanmu,

duhai, lelaki bermata belati.”

tentangmu, Egydia, di perempatan ini

kelabu udaranya sering beritakan tentang belati yang tajam

hingga engkau senantiasa bertangkup doa sederhana

kan ku simpan mata belati dan surat-surat pinangan, dalam.

sebelum kau hela nafas kelegaan, Egydia

udara murung perempatan ini akan pudar jelma kenang

kenangan tentang doa sederhana, tentang

luka belati bibir hati, tentang

lelaki bermata belati

dan pinangan-pinangannya.

Jombang, 15 Desember 2010

# 2

--- Egydia, Senja Ku Kenalmu ---

Jangkah lelah kaki remah berkisah;

mungkin aku umat-Nya yang lemah

sebelum aku mengenal namamu, Egydia.

Keratan lawat yang berat tinggalkan karat

di telapak kaki, di lapak pinggul, di gelepak rangka tubuh.

Egydia, ku kenal namamu t’tkala kemarau memanjang

di pematang perjalanan lakon tumbuh.

“I am a old poem. Sometimes I wonder,

why are you the way you are?

But I know, I am as I am, a old poem beginning.”

Resah yang kau tuang di cawan salam senja itu, Egydia.

Ku teguk tanpa tanda baca titik dan koma

hanya yakin tentang ilalang yang suburkan ladang yang

paksa henti jangkah lelahku tanpa

detak syahwat.

That's me... cause I wanna be love you.”

17 Desember 2010, 02:36 WIB

# 3

-------- Egydia, Bidadari Penariku --------

Panggung berumur seduhkan secawan anggur

untuk sampur

(pernah kau kata Egydia, Kakak terlalu menyanjungku

dengan bidadari. “Aku hanya perempuan yang mau

menari.”)

lentik jemarimu berkali menggamit brangta lama

bersama pusaran gerak tanpa

gemerincing gelang kaki

(“Aku mau menari meski panggung ini

bukan milikku lagi,” tandasmu, Egydia, di ufuk dini

saat sadari kemudaan bisa datang, juga pergi)

Egydia, nafasmu, nafas penari

liringmu, liring penari

asoka tubuhmu, asoka tubuh penari

kelepak rambutmu yang ngambar-arum itu menari, Egydia.

(berbusa keringat perjalanan yang tak kau seka, bibirmu

mengaduh, “Aku satu, dua, tiga, dan empat aku kala itu.

Kala pernikahan langit dan bumi dipintal dalam tarianku.”)

samar namun mengalun, tarianmu terkubur udzur

adalah sandyakalaning lakon menarimu, Egydia

saat kupapah masai dirimu

menuruni tangga panggung berumur itu.

(“Mungkin telah tiba waktuku?” Kubekap s’gra

agar kata putus terputus. Kukalungkan kembali sampur perkasa

di leher bidadari penariku, Egydia. “Pulanglah,

Kak, putrimu berkali sebut namamu. Aku akan menari lagi,

meski sendiri.)

Padhepokan Girilusi, 21 Desember 2010

# 4

====  Hidup Belati Egydia ====

Benderang gerimis malam ini. Tengadah beri isyarah, adalah api, yang melakoni gerimis di malam ini. Kulit kaki bumi membara biarkan ngangah, iringan kecapi ajal dentingkan pekabaran tentangmu, Egydia.

Kakimu masih terbelenggu waltz jengah di ayunan mendung merah. Rinai gerimis api bundari kisah dengan requiem tanpa refrain, tanpa koda. Egydia, malam ini ku lihat di genggammu ada kehidupan belati.

Burung-burung hentikan kicau-siulannya k’tika anggrek juga anyelir tetapkan tutup hidung pilihan selamat. Para lelaki tua menggali lahatnya sendiri. Lelaki-lelaki muda segerakan bunuh diri. Kaum ibu membuka kainnya tinggi-tinggi. Sedang, perawan-perawan menjajakan tiaranya pagi sekali. Ku patahkan seg’ra ranting mega, agar ku mampu tukikkan jangkar di sisimu, Egydia.

Bukan senyum atau kerling santun yang biasa mengalun, sambutku. Namun dendam berjuta perempuan sakit meraung kelu, kau bentang di depanku. Egydia, aku mencintaimu.

Kau lesakkan belati di jantung hati. Tak ada darah putih yang mengalir karena Yudistiraku juga tak pernah lahir. Pun begitu, darah yang keluar adalah darahku. Darah lelakimu, Egydia. Lelaki yang pernah meminangmu dalam-dalam. Lelaki yang pernah senandungkan kidung mentah diam-diam. Lelaki yang pernah membasuh dadamu suam-suam.

Tidak kematian yang ku sesali. Tapi pendeknya waktu menanti usainya kau membaca cintaku adalah duka menyendiri, Egydia.

Malang, 22 Desember 2010

# 5

-------    Egydia, Kau Bukan Matahari    -------

memimpi Matahari, bangunmu pagi ini

bangunkan juga catatan-catatan pandang mata dan debar hati

Egydia, laksana Matahari

kau sembunyikan belati di punggungmu

laki-laki Jawa yang membuahi Matahari melakukan itu

perempuan memang suka bermimpi

kau pernah taburkan racun asmara

‘tika rebahkan angga di dadaku

dan jemariku menari belai di garis-garis rambutmu

satu dawai kataku; “Egydia, kau bukan Matahari”

duka Matahari mungkin

duka sejujurnya tentang perempuan

duka itu melambai-menggayut di bahu perempuannya

duka itu pula yang kau nobatkan, Egydia, meski

duka itu bagi ku terlalu ungu untuk menghiasi jambanganmu.

dukaku, saat udara lembab datang lalu pergi ku sua,

duka itu juga bercermin di kamar ranjangmu, Egydia.”

kucumbu lagi puntung rokok keemasan

tanpa angluh bersendu, sedan

kukatakan; “Kau bukan Matahari, Egydia.”

ku bukan MacLeod, dia hanya lelaki yang enggan ingkar janji.

dan aku? terkapar tubuhku di sudut meja ini

bersaksi

aku hanya lelaki

yang salah, di tempat juga waktu yang salah.

mesiu di senyummu yang katakan itu, Egydia.

di pusara doaku kau kata; “Mungkin aku bukan Matahari

tapi denyut nadi kami

senandungkan puja-puji

seikat, kami mati besok atau hari ini

itu karena laki-laki.”

Mojokerto, 28 Desember 2010

# 6

Amore Rama-Shinta Egydia

muara era yang riuh b’rmandi benderang

samar menjadi saksi, lingkar lenganmu menjuntai

geliat sintal Manyar Kertoarjo kita susuri

tanpa dendam melenggang

Egydia, jantung waktu tak pernah mati

namun sadari

cinta gelato sejujurnya datang dan pergi.

(Amore, Kakak. Bukan masa semanggi Surabaya.

Bersamamu, beef quesadillas akan hangatkan

sisa waktu kita

di tahun ini.)

lelaki berlayar atau menyimpan jangkar

atas nama cinta, Egydia. rum raisin di bibir pun mengantar

keranda. belgian choc di lidah lempar

lara. bahkan, masara wine akhirnya membakar

jiwa.

(Amore, Kakak. Pernahku melayang terpedaya.

Bersamamu, terulang kembali bukan pinta

malam ini.)

Egydia, fourgere tubuhmu meruap ke udara namun hasrat tetap bertahta

hingga dunia meminjam milik kita

saat aku pengantinmu, dan

kamu adalah pengantinku.

(Amore, Kakak. Bawa aku pergi.

Di ranjang berbusa suite nirwana,

berhentilah bertanya tentang cinta Ken Uma.

Karena hanya gelegak hasrat purbani Rama-Shinta

yang menggenangi muara era ini.)

t’rsibak deras air mata di telanjang dada, Egydia.

pinggang basah penuh peluh, di pelukan bumi Junggaluh

rambutmu masai sungging senyum penuh.

t’ersampai salam lupa Rama lumpuh

saksikan Anjani susuri sungai, mengaduh.

(Amore, Kakak. Tahun depan kita kembali.)

00.01 WIB -- 31 Desember 2010

# 7

Egydia, Patah Hati

air matamu kularung tanpa dendam, Egydia.

sembari merajam mimpi tentang pangeran, putri,

dan kuda sembrani, ku buka kembali

larik-larik puisi

pertama yang ku tulis di dadamu.

; “Ku kejar cintamu bagai kutukan Burisrawa

pada Sembadra. Birunya kuperam dalam hati

dan kusampaikan pada awan, esok pagi.”

Egydia, kau berlabuh ketika tubuh belum utuh

remah-remahnya masih menjadi penggalan petik dawai

di tanah gersang tanpa andai

--- too far, you count the stars.

look at your feet, the sand is too arrogant for you to forget.

do not say love, if love is only a set of signs,

for you.

dalam sekian kali jalinan bunga-bunga, Egydia,

patah hatiku, sekali lagi.

lelakiku bukan lelaki Arjuna,

memang, sang lelananging jagad yang

bisa memetik rembulan dan persembahkannya di pangkuan

perempuan, Egydia.

tapi sakit jika nisanku nanti, bertatahkan kata-kata mati

; “Here were buried,

who loves Sembadra to turn blue.”

11.53 - 05 Januari 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun