# 1
Ku Tulis Namamu, Egydia
Desing udara perempatan ini tulis namamu, Egydia
nama perempuan ke sekian yang panjatkan doa
sederhana tentang berusainya kisah purba;
dari pinangan ke pinangan
Egydia, di perempatan ini juga
engkau taut kembali bibir hatimu yang terluka
tatkala pagi yang dinanti tiada jua
bersimpuh di haribaan harap jiwa
“Aku Egydia, Kakak. Belati asmara yang mengoyak
bibir hatiku tiada setenang yang berkilau di genggamanmu,
duhai, lelaki bermata belati.”
tentangmu, Egydia, di perempatan ini
kelabu udaranya sering beritakan tentang belati yang tajam
hingga engkau senantiasa bertangkup doa sederhana
kan ku simpan mata belati dan surat-surat pinangan, dalam.
sebelum kau hela nafas kelegaan, Egydia
udara murung perempatan ini akan pudar jelma kenang
kenangan tentang doa sederhana, tentang
luka belati bibir hati, tentang
lelaki bermata belati
dan pinangan-pinangannya.
Jombang, 15 Desember 2010
# 2
--- Egydia, Senja Ku Kenalmu ---
Jangkah lelah kaki remah berkisah;
mungkin aku umat-Nya yang lemah
sebelum aku mengenal namamu, Egydia.
Keratan lawat yang berat tinggalkan karat
di telapak kaki, di lapak pinggul, di gelepak rangka tubuh.
Egydia, ku kenal namamu t’tkala kemarau memanjang
di pematang perjalanan lakon tumbuh.
“I am a old poem. Sometimes I wonder,
why are you the way you are?
But I know, I am as I am, a old poem beginning.”
Resah yang kau tuang di cawan salam senja itu, Egydia.
Ku teguk tanpa tanda baca titik dan koma
hanya yakin tentang ilalang yang suburkan ladang yang
paksa henti jangkah lelahku tanpa
detak syahwat.
“That's me... cause I wanna be love you.”
17 Desember 2010, 02:36 WIB
# 3
-------- Egydia, Bidadari Penariku --------
Panggung berumur seduhkan secawan anggur
untuk sampur
(pernah kau kata Egydia, Kakak terlalu menyanjungku
dengan bidadari. “Aku hanya perempuan yang mau
menari.”)
lentik jemarimu berkali menggamit brangta lama
bersama pusaran gerak tanpa
gemerincing gelang kaki
(“Aku mau menari meski panggung ini
bukan milikku lagi,” tandasmu, Egydia, di ufuk dini
saat sadari kemudaan bisa datang, juga pergi)
Egydia, nafasmu, nafas penari
liringmu, liring penari
asoka tubuhmu, asoka tubuh penari
kelepak rambutmu yang ngambar-arum itu menari, Egydia.
(berbusa keringat perjalanan yang tak kau seka, bibirmu
mengaduh, “Aku satu, dua, tiga, dan empat aku kala itu.
Kala pernikahan langit dan bumi dipintal dalam tarianku.”)
samar namun mengalun, tarianmu terkubur udzur
adalah sandyakalaning lakon menarimu, Egydia
saat kupapah masai dirimu
menuruni tangga panggung berumur itu.
(“Mungkin telah tiba waktuku?” Kubekap s’gra
agar kata putus terputus. Kukalungkan kembali sampur perkasa
di leher bidadari penariku, Egydia. “Pulanglah,
Kak, putrimu berkali sebut namamu. Aku akan menari lagi,
meski sendiri.)
Padhepokan Girilusi, 21 Desember 2010
# 4
==== Hidup Belati Egydia ====
Benderang gerimis malam ini. Tengadah beri isyarah, adalah api, yang melakoni gerimis di malam ini. Kulit kaki bumi membara biarkan ngangah, iringan kecapi ajal dentingkan pekabaran tentangmu, Egydia.
Kakimu masih terbelenggu waltz jengah di ayunan mendung merah. Rinai gerimis api bundari kisah dengan requiem tanpa refrain, tanpa koda. Egydia, malam ini ku lihat di genggammu ada kehidupan belati.
Burung-burung hentikan kicau-siulannya k’tika anggrek juga anyelir tetapkan tutup hidung pilihan selamat. Para lelaki tua menggali lahatnya sendiri. Lelaki-lelaki muda segerakan bunuh diri. Kaum ibu membuka kainnya tinggi-tinggi. Sedang, perawan-perawan menjajakan tiaranya pagi sekali. Ku patahkan seg’ra ranting mega, agar ku mampu tukikkan jangkar di sisimu, Egydia.
Bukan senyum atau kerling santun yang biasa mengalun, sambutku. Namun dendam berjuta perempuan sakit meraung kelu, kau bentang di depanku. Egydia, aku mencintaimu.
Kau lesakkan belati di jantung hati. Tak ada darah putih yang mengalir karena Yudistiraku juga tak pernah lahir. Pun begitu, darah yang keluar adalah darahku. Darah lelakimu, Egydia. Lelaki yang pernah meminangmu dalam-dalam. Lelaki yang pernah senandungkan kidung mentah diam-diam. Lelaki yang pernah membasuh dadamu suam-suam.
Tidak kematian yang ku sesali. Tapi pendeknya waktu menanti usainya kau membaca cintaku adalah duka menyendiri, Egydia.
Malang, 22 Desember 2010
# 5
------- Egydia, Kau Bukan Matahari -------
memimpi Matahari, bangunmu pagi ini
bangunkan juga catatan-catatan pandang mata dan debar hati
Egydia, laksana Matahari
kau sembunyikan belati di punggungmu
laki-laki Jawa yang membuahi Matahari melakukan itu
perempuan memang suka bermimpi
kau pernah taburkan racun asmara
‘tika rebahkan angga di dadaku
dan jemariku menari belai di garis-garis rambutmu
satu dawai kataku; “Egydia, kau bukan Matahari”
duka Matahari mungkin
duka sejujurnya tentang perempuan
duka itu melambai-menggayut di bahu perempuannya
duka itu pula yang kau nobatkan, Egydia, meski
duka itu bagi ku terlalu ungu untuk menghiasi jambanganmu.
dukaku, saat udara lembab datang lalu pergi ku sua,
duka itu juga bercermin di kamar ranjangmu, Egydia.”
kucumbu lagi puntung rokok keemasan
tanpa angluh bersendu, sedan
kukatakan; “Kau bukan Matahari, Egydia.”
ku bukan MacLeod, dia hanya lelaki yang enggan ingkar janji.
dan aku? terkapar tubuhku di sudut meja ini
bersaksi
aku hanya lelaki
yang salah, di tempat juga waktu yang salah.
mesiu di senyummu yang katakan itu, Egydia.
di pusara doaku kau kata; “Mungkin aku bukan Matahari
tapi denyut nadi kami
senandungkan puja-puji
seikat, kami mati besok atau hari ini
itu karena laki-laki.”
Mojokerto, 28 Desember 2010
# 6
Amore Rama-Shinta Egydia
muara era yang riuh b’rmandi benderang
samar menjadi saksi, lingkar lenganmu menjuntai
geliat sintal Manyar Kertoarjo kita susuri
tanpa dendam melenggang
Egydia, jantung waktu tak pernah mati
namun sadari
cinta gelato sejujurnya datang dan pergi.
(Amore, Kakak. Bukan masa semanggi Surabaya.
Bersamamu, beef quesadillas akan hangatkan
sisa waktu kita
di tahun ini.)
lelaki berlayar atau menyimpan jangkar
atas nama cinta, Egydia. rum raisin di bibir pun mengantar
keranda. belgian choc di lidah lempar
lara. bahkan, masara wine akhirnya membakar
jiwa.
(Amore, Kakak. Pernahku melayang terpedaya.
Bersamamu, terulang kembali bukan pinta
malam ini.)
Egydia, fourgere tubuhmu meruap ke udara namun hasrat tetap bertahta
hingga dunia meminjam milik kita
saat aku pengantinmu, dan
kamu adalah pengantinku.
(Amore, Kakak. Bawa aku pergi.
Di ranjang berbusa suite nirwana,
berhentilah bertanya tentang cinta Ken Uma.
Karena hanya gelegak hasrat purbani Rama-Shinta
yang menggenangi muara era ini.)
t’rsibak deras air mata di telanjang dada, Egydia.
pinggang basah penuh peluh, di pelukan bumi Junggaluh
rambutmu masai sungging senyum penuh.
t’ersampai salam lupa Rama lumpuh
saksikan Anjani susuri sungai, mengaduh.
(Amore, Kakak. Tahun depan kita kembali.)
00.01 WIB -- 31 Desember 2010
# 7
Egydia, Patah Hati
air matamu kularung tanpa dendam, Egydia.
sembari merajam mimpi tentang pangeran, putri,
dan kuda sembrani, ku buka kembali
larik-larik puisi
pertama yang ku tulis di dadamu.
; “Ku kejar cintamu bagai kutukan Burisrawa
pada Sembadra. Birunya kuperam dalam hati
dan kusampaikan pada awan, esok pagi.”
Egydia, kau berlabuh ketika tubuh belum utuh
remah-remahnya masih menjadi penggalan petik dawai
di tanah gersang tanpa andai
--- too far, you count the stars.
look at your feet, the sand is too arrogant for you to forget.
do not say love, if love is only a set of signs,
for you.
dalam sekian kali jalinan bunga-bunga, Egydia,
patah hatiku, sekali lagi.
lelakiku bukan lelaki Arjuna,
memang, sang lelananging jagad yang
bisa memetik rembulan dan persembahkannya di pangkuan
perempuan, Egydia.
tapi sakit jika nisanku nanti, bertatahkan kata-kata mati
; “Here were buried,
who loves Sembadra to turn blue.”
11.53 - 05 Januari 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H