Memperhelatkan agenda secara berkesinambungan tanpa terputus sama sekali merupakan usaha yang tidak kalah berat dengan perjalanan Tong Sam Cong beserta murid-muridnya ke barat mencari kitab suci. Mungkin saya terlalu berlebihan dalam membuat perumpamaan, namun jika anda (pembaca postingan ini yang budiman) mengetahui dapurnya perhelatan Terminal Sastra, mungkin anda akan semua akan mengamininya.Â
Perlu diketahui, Terminal Sastra merupakan perhelatan diskusi sastra bedah buku bulanan yang digawangi Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto (DKKM), dan didukung oleh Serikat Buku Mojokerto, dan beberapa lembaga lainnya (baik birokrasi pemerintahan maupun tidak) yang dalam perjalanannya keluar-masuk seperti kendaraan umum di terminal.
   Sejak pertama kali diperhelatkan, Terminal Sastra setia dengan konsep awalnya yaitu membedah buku-buku karya penulis Mojokerto, terutama yang bergenre sastra. Alhasil, bersama dengan gerak langkah perhelatan tersebut, lahirlah wajah-wajah cerpenis, penyair, dan novelis dari Mojokerto.Â
Di antaranya adalah Dadang Ari Murtono, Fatoni, Suyitno Ethex, Mufa Rizal, Abu Wafa, Aris Rakhman Yusuf, Ira Suyitno, Mulia El Kazama, Rb Abdul Gani, M. Asrori, Yitno Munajat, Annis Muchtarom, Lilik MH, Niken Haidar, Pungki Wardani, dll. Tentang yang saya sebut terakhir ini adalah salah satu yang "istimewa" karena seorang Pungki Wardhani adalah seorang difabel (tuna netra) tegak dengan karya antologi cerpennya Korban Berita Pagi.(tentangnya, akan lebih dalam saya tuliskan dalam artikel yang berbeda).
   Menginjak tahun kedua, konsep ini dikembangkan dengan menghadirkan penulis dan karya-karyanya dari luar Kabupaten Mojokerto. Apresiasi luar biasa terdulang hingga susah kiranya untuk menghitung dengan jari siapa-siapa saja penulis dari luar kota yang namanya telah menghiasi poster berkala Terminal Sastra, hingga susah pula untuk mengenang utuh pernik apa saja yang telah disampaikan oleh mereka dan buku-buku karyanya.Â
Hampir semua nama-nama besar penulis yang berdomisili Jawa Timur pernah sambang Terminal Sastra, dari Tengsoe Tjahjono, Yusri Fajar, W Haryanto, Wina Bojonegoro, Fendi Kaconk, Ardi Susanti, St Emyani, Aming Aminuddin, Rakhmad Giryadi, M. Khoiri, Malkan Junaidi, Anggi Putri W., Andhi Kepix, hingga Binhad Nurrohmad Beruntung pula, Terminal Sastra di penghujung tahun 2017 kemarin kedatangan seorang Jamil Massa dari Gorontalo.
   Minggu, 18 Pebruari 2018 nanti Terminal Sastra ke-44 akan diperhelatkan di Gedung Kesenian Dinas Pariwisata Pemuda dan Olahraga, Jln. Jayanegara No. 4 Kabupaten Mojokerto. Perhelatan bertajuk Surat Cinta Kampung Terapungini mengulas buku Surat Cinta untuk Aimel (sehimpun puisi karya Mohammad Saroni (Mojokerto) dan Kampung Terapung (sehimpun puisi karya Mahendra (Sumenep). Setia dengan moderator patennya, perhelatan Terminal Sastra ke-44 ini juga masih digawangi dengan pegiat literasi muda yang cethar membahenol bernama Bagus Sambudi.
   Menginjak kali yang ke-44, sebuah perhelatan bulanan berarti telah mencapai usia tiga tahun lebih. Untuk usia manusia mungkin boleh dikata masih balita (di bawah lima tahun), tetapi sebagai sebuah perhelatan sastra secara periodik, pencapaian ini tentu saja sangat layak untuk disyukuri.
 Mengingat, menggelar perhelatan sastra setiap bulannya membutuhkan kuatnya komitmen, kecerdasan membaca situasi dan kondisi, kekompakan tim produksi kreatif, serta satu hal yang tak dapat dipungkiri vitalitasnya di abad ini yaitu pendanaan. Realitanya, bertebaran perhelatan-perhelatan kesenian maupun kebudayaan yang dinaungi institusi pemerintah maupun lembaga/komunitas yang patah tumbuh bahkan hilang berganti karena tidak bisa memelihara memelihara nafasnya.
   Terminal Sastra ke-44, semoga bukan episode pamungkas.
--- ooo ---