[caption caption="Poster Kurikulum 2013 (kemdikbud.go.id)"][/caption]Oleh Anjrah Lelono Broto *)
Tiada terasa beberapa hari ke depan adik-adik dan anak-anak kita akan menempuh musim lap terakhir dalam sirkuit MotoGP pendidikan di tanah air yaitu ujian nasional (UN). Tak bijak rasanya jika kita meributkan siapa di antara mereka yang menjelma sebagai Mark Marques ataupun Vallentino Rossi, bahkan hanya menjadi pecundang yang terlempar ke luar sirkuit sebelum perlombaan berakhir. Mengingat Kurikulum 2013 yang konon sekarang telah diperbarui masih dibelit problema mendasar di wilayah kultural.
Dalam pelaksanaan Kurikulum 2013, tidak mudahnya perubahan mindset guru dari pola bank menjadi fasilitator dan motivator (Darmaningtyas, Tempo, 10/07/2014). Tidak mudahnya perubahan ini tentu saja terkait erat dengan paradigm guru dalam pengelolaan pembelajaran yang telah meritus selama berpuluh-puluh tahun. Artinya, tujuan, fungsi, maupun perangkat pengelolaan pembelajaran yang menyertai Kurikulum 2013 akan menemui tantangan besar untuk memwujud ketika terbentur dengan kultur yang telah memwaris dalam lingkungan pendidikan kita.
Sementara, Kurikulum 2013 sendiri membawa spirit pendidikan karakter sebagai jawaban atas terpuruknya moralitas lintas generasi di tanah air. Kurikulum 2013 membentuk siswa melakukan pengamatan/observasi, bertanya dan bernalar terhadap ilmu yang diajarkan. pondasi pribadi tangguh dalam kehidupan sosial serta kreativitas yang lebih baik. Pendidikan karakter mengatur tata kelakuan manusia pada aturan khusus, hukum, norma, adat kebiasaan dalam bidang kehidupan sosial manusia yang memiliki pengaruh sangat kuat pada mental attitude manusia secara individu dalam aktivitas hidup (Nuh dalam Tilaar, 2013).
Sejatinya, problem kultural pendidikan moral di Indonesia terkait-paut dengan resepsi publik terhadap moralitas itu sendiri. Selama ini, publik memaknai pendidikan moral sebagai ritus sakral yang termarjinalkan. Moral menjadi pilihan terakhir ketika pengetahuan dan keterampilan telah dikuasai secara memadai. Pesan-pesan moralitas diinjeksikan dalam maple seperti agama, seni-budaya, ataupun bahasa. Imbasnya, kompetensi memadai di ranah moralitas pun bukan menjadi parameter keberhasilan kegiatan pembelajaran di sekolah.
Budaya (kultur) merupakan ranah yang tak tersentuh oleh reformasi, bahkan semenjak negeri ini berada di atas tungku kekuasaan Orde Baru (Tuhusetya, 2009). Kebudayaan agaknya akan terus tertinggal jika tidak ada “motif politik” untuk melibatkannya ke dalam ranah perubahan. Kebudayaan sendiri pun harus menelan pil pahit ketika dipahami pengambil kebijakan negeri hanya sebagai objek industri pariwisata.
Padahal, Andreas Eppink (2000) telah menyebutkan bahwa kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan, serta keseluruhan struktur sosial, religius, serta pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat. Dalam pandangan J.J. Hoenigman (1992), kebudayaan bisa berwujud gagasan, aktivitas (tindakan), dan artefak (karya). Ketiga wujud ranah kebudayaan inilah yang akan sangat menentukan peradaban sebuah bangsa. Namun, ketika kebudayaan dipahami sebagai bagian dari industri pariwisata, disadari atau tidak, hancurlah basis-basis kebudayaan yang akan menjadi penyangga peradaban bangsa. Semakin tidak intensnya seseorang dalam proses pencarian jatidiri yang bermartabat maka kelatahan, mengejar keberhasilan secara instan, adalah sebuah kelaziman.
Bisa jadi, bangsa ini memang ditakdirkan untuk menjadi bangsa penggemar simbolisme. Sejarah masa silam tidak diingat-dipahami secara esensional namun lebih pada simbol-simbol yang menyertainya. Kebesaran Majapahit di masa silam hanya dihargai kumpulan artefaknya, tidak pada gagasan dan aktifitasnya. Begitu pun dengan sejarah perjuangan bangsa dalam merebut kemerdekaan, bulan Agustus di tanah air pun lebih mirip sebagai bulan gerak jalan dan karnaval ketimbang merefleksikan gagasan para founding fathers. Nyaris, mayoritas para pendidik di tanah air menyerah pada lupa bahwa para founding fathers dulu lebih mengedepankan kebudayaan sebagai inti perubahan. Kebudayaanlah yang menjadi simpul pengikat beragam etnik, suku, maupun ras di tanah air untuk memwujudkan mimpi “Indonesia Baru” yang merdeka dan berdaulat.
Ketika simbol lebih dihargai ketimbang esensi, dehumanisasi (penghilangan harkat dan martabat manusia) adalah keniscayaan. Dehumanisasi adalah suatu kondisi dimana keutuhan diri sebagai manusia sedang dipertanyakan. Pada memonetum seperti ini, manusia kehilangan karakter dasarnya sebagai manusia, tidak menghargai eksistensi manusia lain maupun lingkungan geografis-kultural di sekelilingnya. Seorang kandidat pesta demokrasi hanya memandang manusia lainnya sebagai konstituen, relawan, massa mengambang, lawan politik, serta sederet simbolisasi lainnya. Begitu pun ketika guru hanya memandang anak-anak di kelasnya hanya sebagai siswa, bukan sebagai manusia yang juga memiliki kompleksitas latar belakang, orientasi, maupun lingkungan pendukungnya.
Spirit pendidikan karakter dalam Kurikulum 2013 jauh lebih penting untuk dipahami, diterjemahkan, dan diaplikasikan ketimbang meributkan ketersediaan buku-buku penunjang proses pembelajaran dan atau teknik evaluasinya. Hal ini menjadi urgen, ketika kita semua memang memiliki harapan yang sama terhadap generasi emas Indonesia yang lebih bermoral, bermartabat, dan benar-benar manusia Indonesia seutuhnya sebagaimana yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
********
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H