Oleh Anjrah Lelono Broto *)
Adalah sebuah kemahfuman bersama bagi umat muslim sedunia bahwa ibadah puasa di bulan Ramadhan, salah satunya, mengajarkan kaum muslimin untuk menahan rasa lapar dan haus, sebagaimana yang dirasakan oleh fakir miskin. Dalam konteks sastra, berkarya dan mengapresiasi karya sastra secara holistik komprehensif dengan kedalaman-mendalami kumpulan kata di dalamnya, maka ajaran untuk memahami penderitaan kaum fakir miskin dengan menahan rasa lapar dan haus dapat ditunaikan dengan cara membaca dan menulis karya sastra yang bertema kemiskinan.
Terlepas dari definisi letterlect dalam Al Qur’an, ketika mata batin kita terantuk diksi “fakir”, “miskin”, “kemiskinan”, serta sederet diksi lain yang memiliki kedekatan makna, diksi-diksi tersebut terasa abstrak dan bolehlah kiranya jika hanya diakrabi sebagai metafor. Bagi anggota masyarakat yang telah terlepas dari belenggu kemiskinan, besar kemungkinan memandang kemiskinan itu sendiri sebagai mimpi buruk, kenangan belaka yang harus sesegera mungkin dikubur-dilupa. Sedangkan bagi kalangan elit masyarakat (borjuis), kemiskinan seringkali dipandang sebagai bentuk konsekuensi dari kemalasan dan kekuranggairahan mendapatkan sesuatu yang tidak dimiliki. Dengan kata lain, sebuah fatalistik dari ketidaktepatan pemahaman konsep nrimo ing pandum (menerima takdir, terjemahan). Atau dalam teori Dominan-nya Mac Cleland disebut sebagai ketidakpunyaan Need for Achievement (N.Ach).
Realitanya dalam dunia sastra, kemiskinan dengan sekian atribut yang mengikutinya, seperti lapar, haus, defisiensi, ketiadaan pendidikan, pengangguran, kriminalitas, marjinalisasi, dll, merupakan sumber tema yang melimpah. Rasa lapar yang diangkat oleh pemenang Nobel Sastra, Knut Hansum, dalam novelnya yang berjudul “Lapar”, begitu gamblang menggambarkan kondisi lapar itu sendiri. Dengan berpijak pada parameter kelogisan-humanistis sebuah karya sastra, rasa lapar dalam novel besutan Knut Hansum ini dibagi kepada pembacanya secara detail.
Kemiskinan dengan sekian atributnya juga dapat kita temukan dalam karya-karya satrawan dunia lainnya, seperti Ignazio Silone, Lu Hsun, Octavio Paz, maupun Jhon Steinbeck. Sedangkan nama-nama seperti Ahmad Tohari, Hamsad Rangkuti, Joni Ariadinata, Wiji Thukul, Asep Sambodja, dll juga mensarat-padati khazanah karya sastra tanah air dengan karya-karya mereka yang menempatkan kemiskinan sebagai ruh utama.
Di tanah air, sebelum jenderal-jenderal sastra angkatan Balai Pustaka dan Pujangga Baru mengobok-mengobel benturan tradisi-modernitas atau suara-suara nasionalisme yang sedang berkecambah, sejatinya kemiskinan telah menjadi komoditas tema yang menjanjikan genialitas karya sastra. “Student Hijo”-nya Mas Marco Kartodikromo, ataupun “Hikayat Kadirun”-nya Semaun menjadi petanda tak terpungkiri betapa kemiskinan telah sumber inspirasi proses kreatif lahirnya karya sastra. Sayangnya, kepentingan penguasa kolonialis Belanda yang ditindaklanjuti oleh pemerintahan RI muda, menempatkan proses kreatif dua sastrawan Indonesia tersebut ditunggangi ideologi tertentu.
Periodisasi sastra Indonesia dapat digunakan sebagai penyekat masing-masing kala perkembangan sastra dengan gurat kemiskinan di dalam helaan nafasnya. Lewat cerpen-cerpennya, Idrus di era 1940-an, menggambarkan kemiskinan sebagai buah perang dan pergolakan politik. Sedangkan di era 60-an, ketika para sastrawan tanah air tersekat-sekat dalam dikotomi realisme sosialis dan humanisme universal, kemiskinan dipandang sebagai buah ketidakbecusan para pribadi yang bersemayam dalam lingkar kekuasaan.
Keterbawaan para sastrawan kita dalam kelindan politik tanah air membuahkan trauma berkepanjangan yang jejaknya masih sangat kita rasakan di masa kini. Era 70-an hingga awal 2000-an ini, khazanah karya sastra tanah air bolehlah dibilang menjauhi kemiskinan sebagai tema primadona. Rendra, Arifin C Noer, Wisran Hadi, Putu Wijaya, Oka Rusmini, Danarto, Taufik Ikram Jamil, Benny Arnaz, maupun Sutardji Calzoum Bachri lebih memilih lokalitas ketimbang kemiskinan. Sedangkan Djenar Mahesa Ayu,juga Ayu Utami, lebih memilih mengeksploitir hal-hal tabu seputar seksualitas ketimbang kemiskinan. Di era 2000-an, religiusitas islami yang tidak membumi ala Habiburrahman el Siradzi, dkk menjadi pilihan tema aduhai yang semakin memarjinalkan kemiskinan sebagai sesuatu yang sejatinya ‘dekat’ dengan kesejatian diri masyarakat kita.
Seperti halnya tulisan Agus R. Sarjono dalam “Sosok Petani dan Sastra Kita”, ranah pertanian (pedesaan) menjadi distrik marjinal yang kurang tersentuh oleh sastrawan-satrawan kita. Hingga ada sebuah pemandangan yang tidak lazim ketika Rego S. Ilalang (Nganjuk) melalui antologi puisinya “Balada Lelaki Tua di Pematang Sawah” menempatkan pertanian sebagai komoditas utama tema-tema puisinya. Begitu pun kemiskinan. Sejak kemelut sastrawan tanah air di era 60-an, kemiskinan mengalami marjinalisasi akut sebagai sumber tema, padahal kemiskinan merupakan fenomena yang akrab dengan kedirian masyarakat tanah air.
Ketika Allah SWT saja untuk menuntun umat muslim agar menghargai kemiskinan yang sedang disandang saudara-saudaranya menurunkan perintah berpuasa secara kolektif di bulan Ramadhan, dalam konteks sastra, mengapa kemiskinan justru termarjinalkan?
Meruapnya kuantitas komunitas seni (sastra) di sekitar kita beberapa waktu terakhir ini adalah gerbang tersendiri bagi seniman (sastrawan) untuk lebih khusu’ mengisahkan orang-orang miskin di sekitarnya, memprasasti-mengabarkan apa yang mereka rasakan, serta membagi harapan dan mimpi-mimpi masyarakat miskin pedesaan-perkotaan yang selama ini termarjinalkan.
Mari berpuasa dengan membagi hati dengan kemiskinan di sekitar kita, melalui karya sastra.
*****************
*) anggota Komita Sastra Dekajo dan sutradara repertoar “WISMA PRESIDEN”
NB:
dimuat di rubrik Serambi Budaya Harian Radar Mojokerto, edisi 29 Juli 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H