Suara kereyotan kursi singgasana di tanahku
berbisik tanpa tanda jeda. Suaranya ada
di kecipak air yang mengaliri pesawahan. Suaranya
ada di dengus ternak penunjang lemak tubuh. Bahkan, suaranya
terdengar nyaring di kolong-kolong meja kerja birokrat tanahku.
Suara itu penuh tanda tanya. Benak dan hati orang-orang
di tanahku bertanya, siapa yang akan menjadi
empu dari kursi singgasana, usai purna kali
kedua Sang Maharaja. Apakah nanti empunya singgasana
adalah sanak kerabat Sang Maharaja? Ataukah mantan permaisuri
yang bergalau hati? Ataukah dirinya, lelaki yang sedang berendam
di danau Dendam Tak Sudah?
Atau mungkin akan ada ksatria berzirah baru,
berpedang tajam, dan bermata elang?
Tanahku adalah tanah yang hijau namun kemerahan
Siapapun yang akan duduk di singgasananya
Adalah raja yang bijak menanam bunga di tanah hijau
Dan tegas menoreh merah di kanvas
Siapapun itu nanti, suara kereyotan singgasana
di tanahku membising, kini
hingga ku tak bisa mampu memejam mata
serta menenang hati
Jombang, Januari 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H