--- Liris Sungguhan
Meski pusaran usia menulis sajaknya sendiri-sendiri. Tiada celah bagi kita untuk meronce kelah. Tiada sekuil harap untuk sebuah permintaan yang telah menjadi debur sejarah. Dalam timbang digdayanya ingin tuk menjadi jurai rambut indahnya dunia, dengan ketaksakaan alun yang meratu beribu bulan, sedang di seberang; akar bahar doamu telah takluk. Bersama lindungan restu yang kikis, cinta kita menjadi sasarnya. Hingga seakan tanah yang kita jejak, menari, berputar, di tepi ketukan yang biramanya terbunuh bertahun lalu. Seperti daun yang hijau menanti kuning, kian mekar cinta di masa nanti yang konon hanya bisa nantikan usai. Cinta kita bukan beban, tak harus menanggal semua walau jujurmu telah terhidang di nampan
Perempuanku
Lindungan di payung mendung telah berjanji, hingga sedetik termungil. Kejujuranmu menawannya, meski dirinya tahu cinta kita adalah sasar di paruh malaikat kematian. Tak ada jalan setapak lebih bagi hayati pedih yang arkian adalah ilustrasi, karena di pesan terakhir kisah, bestari akan bertiara. Sayang, di huma tabah nanti akan mengalir episode-episode yang belum terbaca. Kita tahu, akan ada yang indah di pungkasnya.
Perempuanku
Di tiang jatuhnya titah yang buka bilahan manusia terdalam. Jemari kita menaut di beningnya nurani. Masih adakah ragu di peluk dadamu - pun ku sadar ada helai surga di hela-hela nafas. Menyatu kita, sepintal benang yang akan tetap tersulam di namaku-namamu. Nama lelaki dan perempuan dunia yang jatuh cinta dengan sungguhan jujur, sungguhan manusianya, sungguhan yang basah-kerontang oleh hujan-keringan, sungguhan sungguh.
----------------------------
Padepokan Girilusi,
31 Mei 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H