Mohon tunggu...
Anjrah Lelono Broto
Anjrah Lelono Broto Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Penulis freelance

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Madzab Popularitas Mbah Surip

12 Februari 2010   18:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:57 568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Madzab Popularitas Mbah Surip

Oleh : Anjrah Lelono Broto*)

Ada tanda tanya besar berputar-putar di dalam benak saya, ada apa dengan kesenimanan Mbah Surip sehingga kematian beliau mendapatkan apresiasi yang sedemikian luar biasa? Toh, publik juga baru kemarin secara luas mengenalnya sebagai pelantun tembang “Takgendong”.

Hari ini siapa yang tidak asing dengan idiom-idom seperti ‘Ha...Ha…Ha…’, ‘I love you full’, ‘takgendong ke mana-mana’, ‘bangun lagi, tidur lagi’, atau ‘perbanyak ngopi’. Idiom-idiom yang menjadi ciri khas penyanyi kelahiran Mojokerto 60 tahun lalu ini begitu akrab di telinga masyarakat, baik anak-anak, generasi muda, hingga level bapak-bapak. Di akhir hidupnya, wajah tuwek Mbah Surip juga menghiasi media massa tanah air, baik cetak maupun elektronik. Beliau membawa kemana-mana tembang “Takgendong” ke berbagai acara di layar kaca, dari panggung pertunjukkan musik, talk show, reality show, infotainment, hingga ranah dagelan gendeng-gendengan seperti “Opera Van Java” di Trans 7.

Tanpa membuat-buat sensasi seperti kebanyakan artis seniman tanah air, sosok Mbah Surip begitu dikenal luas. Melalui tembang ciptaannya sendiri yang sederhana dan berbeda dengan corak lagu yang sedang trend dewasa ini, sosok duda beranak empat ini tanpa njawil-njawil wartawan infotaintment pun telah mencuri perhatian publik.

Sekarang coba kita bandingkan dengan wajah-wajah seperti Inul Daratista, Dewi Persik, Luna Maya, Cinta :Laura, Yuni Shara, Ariel Peterpan, Pasha Ungu, dan lain sebagainya. Publik tanah air sangat akrab dengan sederet nama entertainer tersebut karena sensasi-sensasi pribadi yang diblow-up oleh media massa dalam posisi jurnalisme infotaintment. Hasil kerja seni mereka justru tenggelam oleh beragam sensasi yang bersifat pribadi. Lagu-lagu mereka cenderung putus-nyambung di telinga publik, segera tenggelam oleh munculnya lagu-lagu baru dari wajah-wajah baru. Hal ini sempat ditangisi oleh Ariel Peterpan dalam lagunya “Tak Ada Yang Abadi”.

Pelajaran apa yang bisa kita petik dari kesenimanan sosok Mbah Surip?

Aktualisasi Dengan Sensasi

Abraham Masllow, seorang tokoh psikologi aliran Humanistik yang dikenal dunia dengan Teori Hirarki Kebutuhan, mengemukaan bahwa dalam piramida kebutuhan hidup manusia menempatkan aktualisasi diri pada posisi teratas setelah kebutuhan fisiologis, rasa aman, cinta, dan harga diri.

Menurut Masllow, aktualisasi diri merupakan sebuah proses pembuktian potensi yang ada dalam diri manusia kepada manusia manusia lain, dan atau lingkungan di sekitarnya. Potensi dalam diri seorang individu tidak akan mampun menjadi torehan prestasi apabila tidak diaktualisasikan ke dalam konstruksi yang telah dipahami oleh lingkungan di sekitarnya. Dalam proses aktualisasi potensi yang ada dalam diri menjadi prestasi yang diakui oleh lingkungan masyarakat dibutuhkan banyak pengorbanan, baik konsistensi, waktu, biaya, fasilitas, maupun motivasi.

Namun, ketika instanisme telah menjadi budaya yang mapan dan diamini secara luas oleh publik dunia, termasuk Indonesia, seorang individu cenderung enggan untuk melewati sederet pengorbanan tersebut demi aktualisasi potensi diri menjadi torehan prestasi. Secara instan, mayoritas masyarakat kita lebih menyukai segala sesuatu yang cepat, singkat, tanpa melalui kepanjangan proses, dan hanya berorientasi pada hasil. Sederet tayangan pencarian bakat seperti AFI, KDI, Indonesian Idol, API, Dream Band, Dream Girl, hingga The Master merupakan program acara yang sigap membaca menggejalanya budaya instan pada masyarakat. Hasilnya, kurang dari 10 persen artis seniman produk program acara ini yang dapat menorehkan prestasi gemilang dan diakui oleh publik.

Publik bisa menilai bahwa torehan prestasi Ferry AFI, Siti KDI, Dellon, Bajaj, Band Kapten, Topodade, ataupun Limbad masih di bawah seniman yang mengaktualisasikan dirinya melalui proses yang panjang.

Sedangkan bagaimana dengan seniman-seniman instan yang tidak melewati ajang pencarian tersebut? Hobby mereka pada mie instan dan segala sesuatu yang berbau instan memaksa untuk memilih membuat sensasi sebagai langkah cepat dan singkat untuk mendulang popularitas. Lalu, apakah dengan sensasi mereka telah mencapai prestasi?

Prestasi sebagai hasil penggalian potensi diri yang diaktualisasi ternyata memiliki beragam bentuk interpretasi. Bagi seniman yang ingin mensegerakan segala hal, prestasi lebih diterjemahkan sebagai popularitas semata. Suatu misal, dalam blantika musik dangdut tanah air, sederet bintang-bintang dangdut memilih untuk tidak mengaktualisasikan dirinya melalui kemampuan vokal yang menawan, baik cengkok maupun warna suara, namun lebih suka menghadirkan sensasi dalam setiap aksi panggung mereka. Goyang ngebor, goyang patah-patah, goyang gergaji, goyang kayang, dan lain-lain adalah pilihan aksi sensasi di atas panggung untuk menarik perhatian publik.

Bisa dihitung dengan jari, beberapa seniman yang memang menerjemahkan prestasi sebagai hasil kerja keras secara ‘konkret’. Dalam blantika musik pop di tabah air, publik disuguhi fenomena kesuksesan beberapa group band. Meskipun kesuksesan ST 12, J-Rocs, Kangen Band, Ungu, maupun Peterpan, cenderung dilatarbelakangi oleh konsumtifme dan degradasi sense of music pasar di tanah air. Namun, kesungguhan mereka untuk konsisten pada satu genre musik tertentu patut dihargai sebagai torehan prestasi yang melewati proses panjang. Hasilnya, lagu-lagu mereka tidak hanya akrab di telinga penikmat musik Indonesia tetapi juga merambah ke mancanegara seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Korea Selatan, bahkan India. Hanya saja yang patut disayangkan adalah hasrat untuk terus memelihara popularitas tersebut dilakukan dengan strategi menciptakan sensasi bukan menciptakan kebaruan dalam karya-karya seni mereka.

Ironisnya, strategi memelihara popularitas dengan menciptakan sensasi-sensasi justru akan menyebabkan popularitas yang ada dalam genggaman tangan cenderung tidak bertahan lama. Beberapa tahun lalu, Peterpan sempat merajai panggung musik tanah air dengan lagu-lagunya yang easy listening dan tentu saja karena wajah ganteng sang vokalis, yang menjadi objek halusinasi banyak remaja putri. Namun aksi-aksi sensasional sang vokalis dengan sederet selebritis cantik tanah air justru membuat band ini tenggelam dalam konflik internal. Begitu juga dengan band Ungu, konflik rumah tangga sang vokalis dan sederet isu hingga foto-foto mesranya dengan beberapa selebritis muda yang sensasional membuat popularitas band ini seakan-akan segera ditenggelamkan oleh kemunculan band-band lain seperti Alexa, Seventeen, Kuburan, Domino, dan lain sebagainya.

Sebenarnya mereka harus belajar banyak kepada band pendahulunya yang konsisten dengan karya-karya mereka seperti Slank. Band yang digawangi oleh sosok-sosok kontroversial yang jujur pernah tenggelam dalam hitamnya hitam dunia narkoba ini cenderung menjauh dari aksi-aksi menciptakan sensasi, terlebih yang bersifat pribadi. Sehingga publik benar-benar mengenal mereka melalui karya-karya mereka, bukan melalui sensasi-sensasi mereka. Lagu-lagu mereka seperti “Maafkan”, “I Love You But I Hate You”, “Seperti Para Koruptor”, “Orkes Sakit Hati”, dan lain-lain menjadi lagu yang nyaman untuk didengarkan kapan saja, di mana saja, dan oleh siapa saja. Bahkan mereka juga memiliki fans berat setia yang menyebut danmengkoordinasikan diri dalam “Slankers”.

Kembali pada kepiawaian beraktualisasi diri Mbah Surip yang jauh dari sensasi dan juga melewati proses perjuangan yang panjang, mungkinkah nanti fans berat penyanyi berstilistika Bob Marley ini menyebut dan menghimpun diri menjadi“Suripers”?

Perspektif Mbah Surip

Jika kita cermati secara mendalam, aktualisasi diri dalam perspektif Mbah Surip merupakan kesejatian dari lakuan berkesenian dan berkebudayaan. Sebagaimana Marquis De Sade yang berhasrat menulis cerita-cerita porno, meskipun penjara dan hukuman mati menanti, tidak menyurutkan hasratnya untuk menulis. Banyak seniman-seniman tanah air yang juga beraktualisasi diri dengan menorehkan prestasi (yang tidak hanya diterjemahkan sebagai popularitas semata), sebagaimana madzab berkesenian yang diimani oleh Mbah Surip. Madzab berkesenian dan berkebudayaan yang menomorduakan popularitas memberikan ruang bagi tumbuh, kembang, dan menggeliatnya kreatifitas sehingga menghasilkan produk kesenian yang berkualitas.

Sosok paruh baya seperti Iwan Fals, Deddy Mizwar, ataupun generasi yang lebih muda seperti Nicholas Saputra, Lukman Sardi, dan lain sebagainya merupakan sosok seniman yang memang menumpahkan segenap potensi yang ada dalam dirinya untuk seni itu sendiri. Seperti halnya Mbah Surip, seniman-seniman yang tidak memburu popularitas tersebut sungguh-sungguh berhasrat menemukan ekstase dalam lakuan berkesenian dan berkebudayaan. Popularitas hanyalah dianggap sebagai side effect dari kerja yang telah dilakukannya.

Terakhir, pengiman madzab Mbah Surip atau yang bisa jadi menyebut dirinya sebagai “Suripers” sesungguhnya adalah individu cerdas yang menganggap prestasi dan kesuksesan tidak dinilai dengan popularitas. Meskipun publik tanah air tidak akan lagi dapat menikmati persenyawaan fisik secara langsung dengan Mbah Surip, namun madzab berkesenian yang ditinggalkannya patut menjadi kajian mendalam yang juga layak untuk diimankan, dalam konteks kehidupan secara menyeluruh maupun dalam konteks berkesenian dan kebudayaan.

Kematiannya yang diduga karena kelelahan akibat padatnya kegiatan memberikan peringatan bahwa ketika hidup (dan atau berkesenian) hanya untuk memburu popularitas maka konsekuensinya adalah tersitanya waktu, tenaga, perhatian, maupun kemampuan. Dari sisi vitalitas karya seni, ketersitaan ini dapat membunuh kualitas karya seni. Dari sisi vitalitas tubuh, ketersitaan ini dapat membunuh.

Selamat Jalan Mbah Surip. Memang, bukan popularitas yang manusia gendong ketika menghadap-Nya.

************

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun