st1:*{behavior:url(#ieooui) }
<!-- /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-parent:""; margin:0cm; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman";} h1 {mso-style-next:Normal; margin:0cm; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; page-break-after:avoid; mso-outline-level:1; font-size:20.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-font-kerning:0pt; font-weight:normal;} @page Section1 {size:612.0pt 792.0pt; margin:72.0pt 90.0pt 72.0pt 90.0pt; mso-header-margin:36.0pt; mso-footer-margin:36.0pt; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} -->
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin:0cm;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:"Times New Roman";}
Revolusi Sosial, Opsi Final
Oleh : Anjrah Lelono Broto, S.Pd *)
Jadilah seorang muslim sejati. Ini telah cukup untuk mendorongmu berjuang melawan segala bentuk ketidakadilan sosial dengan suatu perjuangan yang dilakukan terus terang, penuh semangat, dan penuh dorongan. Jika kamu tidak melakukan hal itu, periksalah hatimu, mungkin hati itu telah tertipu. Kalau tidak begitu mengapa kamu menjadi demikian teganya untuk tidak berjuang bergerak, melawan pencaplok kezaliman
(Sayid Qutb)
Ketika seorang siswa sekolah menengah mengikuti kegiatan ekstrakurikuler teater di sekolahnya, ia akan menjumpai pertanyaan dari sang instruktur; "Apa yang kamu cari di dalam teater?" Pertanyaan ini tidak pernah menuntut jawaban yang validitas kebenarannya menentukan diterimanya atau tidak si siswa di dalam kelompok tersebut. Sebagaimana pijakan psikologi remaja (pemuda), pertanyaan ini hanyalah prolog dari proses pengenalan jati diri, memahami apa yang lebih-kurang, suka dan tidak disuka, penelusuran minat, bakat, dan kemampuan, dll. Karena pemuda memiliki motivasi besar untuk membangun eksistensi maka pemuda memiliki dorongan kuat untuk menciptakan kebaruan atau pembaruan agar mendapat pengakuan.
Jika kita membaca sejarah, Revolusi Industri di Inggris, Revolusi Sosial di Perancis, atau Revolusi Bolshsevik, merupakan fakta peran dan kekuatan pemuda dalam menciptakan pembaruan bagi sebuah bangsa. Andaikata sebuah masyarakat tidak memiliki pemuda, apa yang akan terjadi? Kemandekan progresivitas kehidupan akan menjangkiti warga masyarakat. Dalam catatan BPS, salah satu faktor penyebab turunnya produktifitas sektor pertanian adalah 'sepi'nya peminat generasi muda dalam sektor pertanian. Wilayah pertanian yang mayoritas berada di lingkungan masyarakat pedesaan, dihadapkan dengan fakta 'hilang'nya pemuda yang ramai-ramai melakukan urbanisasi ke wilayah perkotaan.
Apabila para pemuda-pemuda ngotot yang dipimpin Sukarni tidak menculik Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok, besar kemungkinan kita tidak akan menikmati 17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaan kita. Sehingga Bung Karno pun berujar "Berikan aku 10 orang pemuda untuk membangun negara ini." 10 orang pemuda yang dimaksud oleh Bung Karno, tentu saja tidak kita pahami secara harfiah. Maksudnya, pemuda dengan jumlah yang sedikit namun berkualitas, mumpuni sehingga akan memudahkan proses-proses pembangunan ketatanegaraan Indonesia. Sehiingga tujuan negara yang tercermin dalam Preambule UUD 1945 akan mudah dicapai dalam genggaman.
Generasi muda boleh saja menepuk dada diposisikan sebagai agent of change, akan tetapi mereka mereka harus membekali diri dengan sederet pengetahuan, kemampuan, jaringan, dan secara mental; sejatinya bermoral, berbudi pekerti, berbudaya, dan tentu saja beragama. Mari membaca dan memahami jalan perjuangan Robert Wolter Monginsidi yang memeluk Injil ketika peluru hukuman mati penjajah Belanda menembus jantungnya. Berkaca pada keikhlasan Mohammad Toha yang rela meledakkan dirinya di gudang senjata Belanda di Bandung Selatan. Berguru pada Sosrokartono (kakak R.A. Kartini yang menguasai 27 bahasa di dunia) yang menjadi 'Boemiputra' pertama yang berpidato di parlemen-parlemen Eropa untuk memperkenalkan Indonesia.
Para pemuda yang juga harus mengembangkan jaringan, baik di lingkup lokal, maupun di lingkup internasional. Yang terpenting adalah para pemuda harus mau dan mampu berdiri bersama rakyat secara menyeluruh. Di tahun 1998-1999, gerakan mahasiswa berhasilkan menurunkan rezim-rezim yang berkuasa di tanah air. Gerakan mahasiswa yang berkalobarasi dengan kaum tertindas akan melahirkan kedasyatan gerakan. Sugeng, dalam bukunya "Quo Vadis Kelas Menengah", mengatakan bahwa "gerakan kaum intelektual (salah satunya mahasiswa, pen) berkalaborasi dengan masyarakat kelas bawah akan mengakibatkan kegundahan sosial". Tapi mungkinkah mahasiswa dapat bersatu dengan rakyat?
Gerakan mahasiswa untuk menumbangkan hegemoni kekuasaan Mahathir Muhammad di Malaysia, yang kurang didukung oleh masyarakat kelas bawah, hanya menjadi kerikil-kerikil kecil yang dengan mudah dapat dibersihkan oleh "Raja" Malaysia tersebut. Neil Smelser dalam bukunya "Movement Social and Revolutions" mengatakan, ada enam tahap yang menyatukan gerakan pemuda dengan masyarakat secara menyeluruh, yaitu: (a) struktur birokrasi yang korup, (b) munculnya ketertindasan global, (c) transformasi konsep yang jelas antar elemen yang melahirkan kesepahaman, (d) adanya unsur pemicu, (e) mobilisasi, dan (d) adanya pihak-pihak yang menghambat gerakan tersebut secara represif. Tapi, Sayid Qutb memandang agamalah sebagai faktor pemersatu yang utama. Beliau berujar, "Jadilah seorang muslim sejati. Ini telah cukup untuk mendorongmu berjuang melawan segala bentuk ketidakadilan sosial dengan suatu perjuangan yang dilakukan terus terang, penuh semangat, dan penuh dorongan. Jika kamu tidak melakukan hal itu, periksalah hatimu, mungkin hati itu telah tertipu. Kalau tidak begitu mengapa kamu menjadi demikian teganya untuk tidak berjuang bergerak, melawan pencaplok kezaliman".
Perubahan sosial yang dilakukan oleh pemuda di Indonesia masih jauh dari harapan yang dimpi-impikan. Mengapa? Karena tidak ada kondisi subyektif yang mendukung perubahan sosial, kalaupun ada sifatnya masih parsial, mayoritas pemuda Indonesia bermesra-mesraan dengan hedonisme. Kondisi subyektif merupakan sebuah gambaran umum tentang kejiwaan yang dimiliki oleh pemuda untuk menuntut dan memperjuangkan sebuah perubahan. Andi Arief, dalam bukunya yang berjudul "Melawan Arus", mengatakan bahwa kondisi subyektif berkaitan erat dengan dengan tumbuh berkembangnnya aktifitas gerakan massa. Pemuda yang merasa terhimpit dan termarjinalkan akan lebih mudah digerakan oleh siapapun, oleh kekuatan apapun. Ketika fenomena penetapan RUU BHP yang secara langsung menyentuh wilayah pemuda (mahasiswa, pen) belum atau tidak dianggap sebagai himpitan maka gerakan perlawanannya masih tidak terkoordinasi, berjalan sendiri-sendiri, putus nyambung tanpa orientasi. Lalu bagaimana bisa membangun jaringan atau ikatan dengan masyarakat secara umum, kalau jaringan atau ikatan antar pemuda saja masih karut-marut.
Di sisi lain, faktor yang juga sangat menentukan arah dan kesuksesan gerakan pemuda untuk menciptakan perubahan adalah kondisi obyektif. Kondisi tersebut tercermin dari dukungan masyarakat, yang senasib dengan pemuda. Coba kita lihat fenomena turun ke jalannya ribuan penduduk di Turki untuk memprotes tindakan militer Turki pada Partai Refah. Aksi tindak represif militer Turki tidak hanya dinikmati oleh Partai Refah namun juga secara obyektif dinikmati oleh mayoritas rakyat Turki, sehingga kesamaan nasib ini menciptakan ikatan yang kuat yang dapat disatukan untuk memperjuangkan sebuah kepentingan, yaitu perubahan. Bukankah itu yang terjadi di Indonesia pada tahun 1966 dan 1998?
Saat ini perut rakyat telah ditenangkan oleh SBY melalui BLT, PNPM, tunjangan fungsional, pendidikan gratis, dan gaji ke-13. SBY masih menghibur masyarakat dengan iklan-iklan 'jaim'nya dan klaim-klaim yang berbasis angka-angka, serta mementahkan tudingan bahwa Indonesia makin terjerumus dalam lilitan hutang-hutang luar negeri. Sebagian besar politisi dari partai agamis masih memandang adanya peluang besar me"LANJUTKAN" kenyamanan kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan mendekatkan diri kepada tembok Cikeas. Buktinya, mereka berebut tulang menjadi cawapres, hingga saling menjatuhkan satu sama lain, meskipun harus diakhiri dengan sad ending karena SBY lebih tergiur dengan kemampuan lobi ekonomi luar negeri Boediono.
Satu hal yang pasti, kampaye politik SBY melalui politik 'Jaim' dan Klaim-Mengklaim, sedikit banyak akan tetap melanggengkan kekuasaannya di Istana Merdeka. Apalagi pihak asing seperti IMF, ADB. WTO, World Bank dan "Amerika" masih menaruh harapan terhadap keberlanjutan kekuasaan Jenderal asal Pacitan ini.
Perubahan sosial memang masih bagai menegakkan benang basah. Perubahan sosial yang menjadi mimpi para pejuang kemerdekaan, penghamba keadilan dan kebenaran, harus di wujudkan dengan kerja keras, minimal di mulai dari diri kita sendiri. Ranah budaya memang dapat menjadi oase penghibur lara, namun kebudayaan hari ini kian merana. Meski harus diakui, pendekatan budaya adalah kunci kesuksesan menaklukan suatu bangsa. Mari bercermin kepada Wali Songo? Bukankah beliau-beliau membawa syiar Islam kepada masyarakat Jawa kala itu yang masih mengental ke-Hindhu-annya dalam kemasan budaya?
Haruskan revolusi sosial (berdarah) terjadi lagi? Padahal kita semua adalah anak bangsa yang lahir dan dibesarkan oleh bangsa Indonesia? Lalu dimana nurani kita? Tetapi, perubahan sosial akan menjelma menjadi revolusi, apabila:
(1) Karut-marut mental, spiritual, hukum, demokrasi, kedaulatan negara, dll ini dibiarkan berlarit-larut. Para elit politik lebih asyik memainkan logika angka-angka (termasuk polling) dan memperkuat ketahanan kekuasaannya sembari berdalih mempertahankan dan berlindung dibalik konstitusi dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan. (2) Perseteruan para elit politik yang terus menuju titik nadir, khususnya kaloborasi antara barisan sakit hati, kaum idelisme, dengan jajaran elit politik dalam lingkaran kekuasaan pemerintah. Perseteruan tersebut akan menyeret semuanya dalam perlombaan "Rebut-Simpati Rakyat". (3) Terjadi kerusuhan sosial. Kondisi chaos akan mempermudah jalannya sebuah revolusi sosial. (4) Kepaduan masyarakat dengan elemen penentang rezim, yang akan melahirkan sebuah letupan supernova. (5) Dukungan dari pihak luar. Keberadannya hanya merupakan sebuah stimulus bagi pejuang oposisi agar tetap bersemangat dalam berjuang. Pihak luar bisa saja berasal dari LSM internasional, lembaga keuangan atau negara asing.
Andaikata kelima aspek tersebut terjadi, maka kejatuhan sebuah rezim bukan hal yang mustahil. Sebagaimana pengalaman sejarah sebelum-sebelumnya, kesulitan ekonomi rakyat akan terjadi, dan masyarakat akan menjumpai lagi sebuah masa yang kelam seperti halnya tahun 1966. Fenomena seperti itu merupakan harga yang harus ditebus sebagai demi sebuah perubahan.
Andaikan masih ada jalan yang lebih nyaman, revolusi sosial adalah pilihan yang paling final.
***********
*) Litbang LBTI (Lembaga Baca-Tulis Indonesia) Tinggal di Jombang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H