Mohon tunggu...
Anjrah Lelono Broto
Anjrah Lelono Broto Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Penulis freelance

Selanjutnya

Tutup

Politik

Otonomi Daerah

11 November 2009   02:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:23 930
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh : Anjrah Lelono Broto, Litbang LBTI

Mewujudkan “good governance” ada beberapa syarat yang menanti untuk diimplementasikan, meliputi: (a) responsive, tanggap terhadap kebutuhan masyarakat secara menyeluruh. (b) participatory, melibatkan seluruh elemen masyarakat, terutama yang terkena dampak langsung kebijakan. (c) transparant; memiliki data informasi yang accesable, (d) equitable; dapat diakses oleh siapapun, dan kapan pun. (e) accountable; dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan sosio-kultural, (f) consensus oriented; mewujudkan kepentingan orang banyak (g) effective dan efficient; pemanfaatan memanfaatkan sumber daya manusia dan alam yang ada secara optimal (Friedman, 2005).

Penyelenggaraan pemerintah daerah di tingkat kota/kabupaten dan provinsi telah diatur dalam mekanisme penyelenggaraan otonomi daerah dengan semangat good governance. Inilah bentuk demokrasi di tingkat lokal, sehingga pemerintah daerah merupakan representasi sejati; dari dan untuk rakyat di daerah tersebut.

Akan tetapi fakta-fakta yang berkembang menunjukkan bahwa penyelenggaraan otonomi daerah cenderung menjadi kanal-kanal kesuksesan kekuatan-kekuatan politik di daerah untuk membangun imperium kekuasaan, menciptakan “Raja-Raja Kecil”, dan rawan konflik. Metamorfosis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menjadi partai-partai politik yang memiliki keleluasaan untuk menerapkan tata perundangan berbasis non-Pancasila dan UUD 1945, tidak berkesudahannya konflik berdarah di bumi Papua, atau terbentuknya dinasti-dinasti kecil di lingkaran kekuasaan pemerintah daerah, merupakan sederet fakta bahwa eksistensi kekuatan sosial-politik di daerah tidak terbantahkan dan kurang ter’sentuh’ oleh pemerintahan pusat. Presiden SBY, dalam menyikapi anarkisme yang merenggut nyawa Ketua DPRD Sumut -Abdul Aziz Angkat-, menilai gagasan pemekaran daerah perlu dihentikan dan dievaluasi ulang agar memiliki nilai strategis bagi kepentingan nasional yang lebih besar. Kita semua mengetahui bahwa pemekaran wilayah merupakan bagian integral dari kebijakan otonomi daerah.

Pertanyaannya, perlukah otonomi daerah yang dijiwai oleh desentralisasi direstrukturisasi?

Otonomi Utopis

Ryaas Rasyid (2002) mengatakan bahwa otonomi daerah membawa spirit untuk membebaskan pemerintahan pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan domestik (lokal), dan daerah mendapat kesempatan untuk mempelajari, memahami, merespon kecenderungan global dan mengambil faedah untuk kepentingan daerah (lokal). Pembagian tugas tersebut lebih nampak sebagai distribusi kekuasaan yang tidak bertanggung jawab, antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemerintah pusat mendapatkan bagian pada wilayah kebijakan-kebijakan makro (nasional), sementara daerah dituntut kreatifitasannya dalam melakukan proses pemberdayaan dalam mengatasi permasalahan mikro (lokal). Dalam perspektif saya, hal ini menggambarkan ketidakmampuan pemerintah pusat untuk mengelola kewilayahan Indonesia secara holistik, termasuk sederet problematika dan pengelolaan sumber daya yang ada.

Tidak kunjung habisnya persebaran ladang ganja di bumi Serambi Mekkah, pemekaran Papua Barat yang diikuti konflik-konflik berdarah, kenyamanan mobilitas jaringan teroris di Jawa Tengah, dan lain-lain, menurut Suryadharma (mantan KaDensus 88), kemungkinan besar tidak lepas dari peran serta aparat dan birokrasi di lingkungan pemerintah daerah (Indo Pos, 24/07).

Sudah menjadi kelaziman di negara ini, bahwa penetapan kebijakan yang dijustifikasi oleh mekanisme perundang-undangan cenderung digunakan sebagai legitimator perselingkuhan wewenang demi kepentingan pribadi dan golongan. Tjipta Lesmana, staf pengajar Lemhanas, menyatakan bahwa disinyalir Otsus dipermainkan oleh oknum pejabat di tingkat daerah (Intelejen, edisi 25 Pebruari-10 Maret 2009). Mantan orang nomor satu di Badan Intelejen Negara (BIN), Hendropriyono, menambahkan bahwa dana Otsus dialihkan oleh oknum-oknum pejabat di jajaran eksekutif Propinsi Papua untuk mendonasi OPM (Organisasi Papua Merdeka). Oknum-oknum pejabat di lingkungan Pemda Papua ini bersimpati pada gerakan OPM namun mereka tidak berani tampil secara eksplisit. Gubernur Lemhanas, Muladi, juga menyatakan bahwa mayoritas masyarakat Papua (terutama petingginya) jika mereka berani jujur, mereka sangat membenci pemerintah pusat di Jakarta. Mereka sangat menginginkan kemerdekaan, lepas dari kesatuan Republik Indonesia.

Idealnya, distribusi kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah merupakan bentuk kepercayaan terhadap nilai-nilai lokal yang menjadi kekuatan daerah, baik dalam aspek ekonomi maupun sosio-kultural. Hal ini menjadi pijakan yang melandasi penerapan otonomi daerah. Proses otonomi daerah diharapkan membawa perubahan secara sistematis, seperti upaya pendewasaan politik warga negara, tuntutan kreatifitas penyelenggara pemerintahan daerah, partisipasi publik secara luas, dan tuntutan kreatif birokrasi dalam meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Di sisi lain, otonomi daerah juga diarahkan sebagai upaya pendekatan pelayanan dan perlindungan pemerintah pada rakyat secara tepat dan terarah, terutama dalam konteks pemenuhan kebutuhan ekonomi, perlindungan kehidupan sosial, hukum, dan fasilitasi pendidikan.

Ternyata, idealitas otonomi daerah hanya menjadi impian utopis yang kian jauh dari realita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun